Banyak tradisi di masyarakat yang dipraktikkan berdasar solidaritas sosial. Brandu adalah salah satunya. Namun, ketika berbalut serangan bakteri antraks, tradisi itu menjadi bumerang yang menimbulkan korban jiwa.
Brandu khususnya dikenal di kawasan Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam tradisi tersebut, warga masyarakat di satu desa mengumpulkan uang dalam jumlah tertent ketika ada ternak salah satu warga yang sakit atau mati tiba-tiba. Uang yang terkumpul itu diserahkan kepada pemilik ternak, yang kemudian membagikan daging ternaknya secara merata
“Padahal itu daging bangkai. Warga urunan (memberikan sumbangan-red) mengganti karena kasihan dengan pemilik ternak,” kata dosen Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Nanung Danar Dono Ph.D.
Sejumlah wilayah di Gunungkidul dikenal sebagai kawasan endemi antraks. Serangan bakteri yang mematikan bagi ternak itu sudah terjadi berkali-kali. Bahkan kadang disertai dengan korban manusia. Kasus yang terjadi saat ini menelan satu korban jiwa, dan 87 dari 143 warga yang menjalani tes antraks dinyatakan positif terjangkit. Sebenarnya ada dua warga lain yang tewas dalam periode serangan antraks, tetapi mereka tidak diperiksa di rumah sakit, sehingga pemerintah daerah tidak mengkategorikan mereka sebagai korban.
Penyebab terjangkitnya antraks secara massal tersebut adalah tradisi brandu. Dalam kasus tersebut, warga membayar satu paket daging sapi yang ternyata terjangkit antraks seharga Rp45 ribu.
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan (DPKH) Gunungkidul mencatat pada kasus tersebut, terdapat enam sapi dan enam kambing yang mati di satu desa. Kepala DPKH setempat, Wibawa Wulandari, menyebut proses penanganan sudah dilakukan, yaitu dengan mengubur ternak yang mati.
“Sapi yang sakit mati, kemudian disuruh dikubur melalui SOP (standard operating procedure -red). Sudah kita kuburkan, tapi oleh masyarakat ada satu yang digali lagi dan dikonsumsi,” ujarnya.
DPKH Gunungkidul sebenarnya telah mencatat kasus antraks di desa ini pada November 2022. Penanganan telah dilakukan, seperti mengubur ternak dan melakukan penyiraman formalin untuk area penyembelihan sapi oleh warga. Tujuannya adalah mencegah spora bakteri antraks terus berkembang. Sebanyak 77 ekor sapi dan 289 ekor kambing di area yang sama telah menerima upaya pencegahan dengan antibiotik.
Gubernur DI Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X, juga memberikan perhatian khusus terkait kasus tersebut. Dia meminta pemeriksaan ternak di kawasan endemi antraks dilakukan secara lebih ketat. Ternak mati, apalagi karena sakit, juga harus dilarang untuk dikonsumsi. Petugas di lapangan, kata Sultan, harus tegas menerapkan aturan, sementara masyarakat juga diminta punya kesadaran. Sultan menegaskan, alasan masyarkaat tidak memahami soal antraks tidak bisa lagi dia terima.
“Sebetulnya alasan tidak tahu itu, bagi saya alasan yang selalu dibikin. Pokoknya karena eman-eman (merasa sayang -red) saja, karena ada daging,” ujar Sultan.
Nanung Danar Dono juga menekankan bahaya brandu bagi ternak mati jika terus dilakukan.
“Cukup ini yang terakhir, dan kebiasan brandu itu jangan diulangi lagi, selamanya. Kalau ada hewan mati mendadak, jangan di-brandu. Itu membagikan penyakit,” tegasnya.
Tidak Mudah Dimusnahkan
Antraks adalah bakteri dengan daya tahan luar biasa dan sporanya bahkan bisa bertahan ratusan tahun di dalam tanah.
“Sporanya bisa nempel di mana-mana. Tidak mudah untuk mencegah supaya spora ini tidak menyebar,” kata Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan UGM, Profesor Agnesia Endang Tri Hastuti Wahyuni.
Endang mengatakan, menyembelih bangkai ternak yang mati karena penyakit berbahaya dapat memicu penyebaran penyakit yang disebabkan bakteri. Khusus untuk antraks, bakteri ini tidak hanya menjangkiti ternak, tetapi juga bisa menular ke manusia dan bahkan bisa berakibat kematian.
“Hewan yang terjangkit tidak boleh dibuka, kalau disembelih itu kesalahan fatal karena bakteri sebagian besar ada di darah. Ketika darah keluar dan berinteraksi dengan udara, terbentuklah spora yang menjadi momok,” rincinya.
Dokter hewan ini menjelaskan, antraks masuk ke Indonesia sejak 1884, dan wilayah yang diserang semakin luas. Sebenarnya, ternak yang diserang antraks bisa diobati hingga sembuh.
“Karena bakteri masih sensitif dengan antibiotik. Untuk pencegahan ada vaksinasi yang perlu diulang setiap enam bulan,” tambah Endang.
Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (DPKP) DIY Sugeng Purwanto memastikan upaya vaksinasi telah dijalankan. Menurut data, stok vaksin antraks di DI Yogyakarta saat ini mencapai 2.600 dosis.
“Vaksinasi antraks tersebut dilakukan rutin, kami mengajukan lagi ke pusat tambahan vaksin dengan adanya kejadian kasus antraks di Gunungkidul,” kata Sugeng.
Selain itu, larangan keluar masuk ternak sapi dan kambing dari pusat kasus antraks telah diterapkan. Sampai saat ini, pihaknya menjamin daging yang beredar di pasaran tidak berasal dari ternak yang terkena antraks.
“Kami pun tengah menggencarkan langkah antisipasi dengan melakukan sosialisasi agar kejadian serupa tidak terus berulang, kami mengedukasi masyarakat guna mencegah penularan antraks. Edukasi ini dilakukan melalui media sosial maupun konvensional dan kuncinya butuh dukungan dari semua pihak,” tambahnya.
Kawasan Berbahaya
Karena spora antraks begitu kuat, maka daerah di mana kasus ini terjadi sebenarnya harus berada dalam pengawasan ketat. Epidemiolog dari UGM, dr. Citra Indriani, MPH menegaskan lingkungan tersebut sebaiknya tidak didatangi karena berisiko besar terpapar spora antraks.
“Kalau memang area tersebut sudah diberikan informasi ada risiko paparan terhadap spora antraks, perlu kita sangat berhati-hati. Kita mungkin juga menginjak sporanya dan membawa kemana-mana,” ujar Citra.
Kawasan yang menjadi daerah bahaya, sangat tergantung pada tindakan penyembelihan itu sendiri. Bagaimana daging dibawa dari titik sembelih dan apakah ada darah ternak yang menetes selama perjalanan membawa daging itu. Jika darahnya tercecer, maka area dengan potensi spora antraks juga menjadi luas.
Antraks yang menyerang manusia terbagi dalam empat jenis, yaitu antraks kulit, antraks saluran pencernaan, antraks saluran pernafasan, serta antraks injeksi. Citra mencatat, di Yogyakarta yang paling sering ditemukan adalah antraks kulit. Antraks saluran pernafasan dan antraks injeksi hingga kini belum pernah ditemukan di Indonesia.
“Antraks kulit bisa muncul ketika seseorang menyembelih hewan yang terinfeksi, lalu darah yang keluar kontak dengan kulit yang terdapat luka. Gejala awalnya adalah gatal lalu berkembang cepat menjadi luka antraks dan pembengkakan,” terang Citra.
Nanung Danar Dono mengusulkan sejumlah langkah yang seharusnya dilakukan pemerintah Gunungkidul. Antara lain adalah menyediakan alat incinerator bergerak yang bisa dipindah dari satu desa ke desa yang lain. Incinerator digunakan untuk membakar bangkai ternak yang sudah mati untuk memaksimalkan pemusnahan bakteri. Tenaga ahli yang mengoperasikannya juga harus disediakan.
Langkah lain adalah membuat area penguburan bangkai ternak yang tertutup. Pemda seharusnya membeli tanah di sebuah kawasan terpencil, membangun tembok yang kuat mengelilinginya, dan mengubur semua bangkai ternak yang diserang antraks. Kawasan penguburan itu, tidak boleh diakses bahkan selama ratusan tahun, kecuali oleh petugas resmi.
Meski mengakibatkan banyak korban, pemerintah kabupaten Gunungkidul sampai saat ini belum menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB). Status ini diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) 1501/2010 tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu yang Dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangan.
Dalam aturannya, penetapan KLB mengacu sejumlah faktor, seperti lonjakannya yang terjadi dua kali lipat atau lebih dibandingkan tahun atau periode sebelumnya. Faktor kematian yang meningkat 50 persen dalam kurun waktu yang sama diperhitungkan, dan juga proporsi kasus. [ns/ah]
Forum