Presiden Joko Widodo, Selasa (26/9), secara resmi meluncurkan dan membuka perdagangan Bursa Karbon Indonesia atau IDX Carbon Exchange (IDXCarbon) sebagai salah satu upaya mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) melalui jual-beli unit karbon. Peluncuran IDXCarbon menandai jual-beli karbon melalui bursa yang pertama di Indonesia.
Dalam pidatonya, Presiden Jokowi berharap perdagangan karbon bisa berkontribusi melawan perubahan iklim.
“Hasil dari perdagangan ini akan direinvestasikan kembali pada upaya menjaga lingkungan, khususnya melalui pengurangan emisi karbon,” ujar Jokowi dalam acara peluncuran IDXCarbon di Main Hall Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta.
Jokowi mengatakan Indonesia memiliki potensi yang luar biasa dalam nature-based solutions dan menjadi satu-satunya negara yang sekitar 60 persen pemenuhan pengurangan emisi karbonnya berasal dari sektor alam.
Menurut Jokowi, Indonesia memiliki kurang lebih satu gigaton karbondioksida (CO2) potensi kredit karbon yang bisa ditangkap atau setara 3.000 triliun rupiah jika dikonversikan menjadi uang.
“Sebuah angka yang sangat besar, yang tentu ini akan menjadi sebuah kesempatan ekonomi baru yang berkelanjutan dan ramah lingkungan, sejalan dengan arah dunia yang sedang menuju kepada ekonomi hijau,” ujarnya.
Seperti diketahui, perdagangan karbon melalui bursa adalah salah satu strategi pemerintah untuk mencapai target pengurangan emisi menjadi 31,89 persen pada 2030 dengan upaya sendiri dan 43,20 persen dengan dukungan internasional.
Secara sederhana, perdagangan karbon adalah jual-beli sertifikasi atau izin untuk menghasilkan emisi karbon dioksida atau CO2 dalam jumlah tertentu. Peserta pasar karbon bisa negara atau entitas bisnis.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah merilis dua beleid untuk mengatur perdagangan karbon melalui bursa, yaitu Peraturan OJK Nomor 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon melalui Bursa Karbon (POJK Bursa Karbon) dan Surat Edaran (SE) Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 12/SEOJK.04/2023 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Perdagangan Karbon Melalui Bursa Karbon.
Bank ramaikan perdagangan perdana
IDXCarbon menerapkan mekanisme Pengimbang Emisi GRK atau carbon offset, yaitu pengurangan emisi GRK dilakukan oleh usaha dan/atau kegiatan untuk mengkompensasi emisi yang dihasilkan di tempat lain. Jadi, perdagangan yang dilakukan masih bersifat sukarela (voluntary).
Direktur Utama BEI Iman Rachman mengatakan perdagangan karbon di IDXCarbon dimulai pukul 09.00 dan berakhir pukul 15.00 setiap hari perdagangan bursa dari Senin hingga Jumat. BEI sudah mengantongi izin penyelenggara bursa karbon dari OJK pada 18 September 2023.
Pada perdagangan perdana, Selasa (26/9), penyedia atau penjual unit karbon adalah Pertamina New and Renewable Energy (PNRE), yang menawarkan Unit Karbon dari pembangkit listrik panas bumi (PLTP) Lahendong Unit 5 dan Unit 6 di Tompaso, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara yang dioperasikan oleh anak perusahaan PT Pertamina Geothermal Energy Tbk.
Antusiasme pasar cukup tinggi yang terlihat dari sejumlah bank nasional yang ikut meramaikan perdagangan unit karbon yang ditawarkan oleh PNRE. Bank-bank yang menjadi pembeli dalam perdagangan perdana adalah PT Bank Central Asia Tbk, PT Bank CIMB Niaga Tbk, PT Bank DBS Indonesia, dan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk.
Pembeli lainnya adalah PT BNI Sekuritas, PT BRI Danareksa Sekuritas (bagian dari PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk), PT CarbonX Bumi Harmoni, PT MMS Group Indonesia, PT Multi Optimal Riset dan Edukasi, PT Pamapersada Nusantara, PT Pelita Air Service, PT Pertamina Hulu Energi dan PT Pertamina Patra Niaga.
“Kalau dilihat pembelinya adalah perbankan tbk (terbuka). Mereka juga support terhadap ESG (environmental, social, and corporate governance. Jadi mereka merasa ini baik untuk investor mereka yang concern terhadap ESG,” kata Iman Rachman kepada para wartawan dalam konferensi pers usai acara peresmian.
Dalam perdagangan perdana, PNRE menawarkan sebanyak 459.495 ton Unit Karbon yang dijual dengan harga Rp69.600 per unit karbon (tCO2e/setara satu ton CO2). Mengacu pada harga penawaran IDXCarbon membukukan total transaksi senilai Rp32,01 miliar, sebelum dikurangi biaya transaksi yang dikenakan BEI, dalam dua jam pertama sesi pembukaan perdagangan.
Jeffrey Hendrik, Direktur Pengembangan BEI mengatakan pada penutupan perdagangan hari pertama, volume transaksi mencapai 459.953 tCO2e dengan harga ditutup lebih tinggi dari harga pembukaan, yaitu Rp77.000 per unit.
Dengan demikian, nilai transaksi bersih — setelah dikurangi biaya transaksi — tercatat Rp29,2 miliar, kata Jeffrey. Tercatat ada 15 pembeli pada hari pertama perdagangan.
Tergantung Sertifikasi
Ditanya mengenai target volume transaksi dan penambahan peserta IDXCarbon, Direktur Utama BEI Iman mengatakan BEI tidak mematok target karena tergantung pada proses registrasi unit karbon pada Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN-PPI) di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
"Kita di pasar sekunder, berbeda dengan IPO bursa efek melakukan primary market (pasar primer), sehingga kita bisa tahu volume. Kami bergantung terhadap SRN-PPI di KLHK,” kata Iman.
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif dan Bursa Karbon OJK Inarno Djajadi menerangkan penjual unit karbon baru bisa menawarkan unit karbonnya setelah proyek-proyek pengurangan emisi gas rumah kaca mereka divalidasi dan diverifikasi serta didaftarkan pada SRN-PPI dan mendapatkan Sertifikasi Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (SPE-GRK).
Saat ini baru dua perusahaan yang mendaftarkan unit karbonnya dalam SRN-PPI, yaitu Pertamina dan Perusahaan Listrik Negara dengan total 1,7 juta tCO2e, termasuk unit karbon yang ditawarkan pada perdagangan perdana.
Iman mengatakan Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) Muara Karang, anak perusahaan Perusahaan Listrik Negara (PLN), juga akan menawarkan unit karbonnya melalui IDXCarbon dalam waktu dekat. Kata Iman, PLTGU Muara berencana menawarkan sekitar 900.000 unit karbon.
Telisa Felianty, profesor ekonomi di Universitas Indonesia, mengatakan adanya bursa karbon akan membuat proyek-proyek hijau menjadi lebih menarik.
"Sekarang mungkin ukurannya masih terbatas, tetapi akan berkembang di masa depan. Selain itu juga akan membantu Indonesia mencapai target net zero emission," kata Telisa dalam diskusi webinar dengan Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB), Rabu (27/9). [ft/rs]
Catatan: Paragraf 20-22 berita ini sudah dikoreksi pada bagian nama narasumber dan kutipan.
Forum