Langkah Suprapti untuk membawa barang-barang di punggungnya tak terhenti meski terik matahari menyengat tubuhnya. Bermodalkan selembar selendang kain dan fisik yang kuat, Suprapti bersama sedikitnya 25 perempuan buruh gendong hilir mudik di Pasar Legi Solo setiap hari mengangkut barang dengan berat puluhan kilogram di punggung mereka.
"Sudah 15 tahun saya jadi buruh gendong di pasar ini. Sekali angkut bisa 60-70 kilogram. Bayaran angkutnya antara Rp7.000-Rp 10 ribu, tergantung yang ngasih. Siang ini baru dapat dua orderan, sekitar Rp20 ribu," ujar Suprapti penuh semangat.
Di sela-sela hiruk pikuknya pasar, Suprapti – yang berasal dari Karanganyar – bersama rekan kerjanya beristirahat di pojok pasar sambil makan minum dan bersenda gurau. Tak ada beban dalam tawanya. Tak ada diskusi panjang soal emansipasi atau pemberdayaan perempuan, karena yang ada dalam benak mereka adalah bagaimana menyambung hidup ke depan.
Suami Suprapti bekerja serabutan, kadang buruh bangunan, kadang buruh tani, atau pekerjaan apapun. Yang penting halal, tegasnya.
Uang hasil bekerja dikumpulkan untuk kebutuhan makan keluarga dan biaya sekolah anaknya.
Kondisi serupa diungkapkan perempuan buruh gendong lainnya, Hartini. Bagi Hartini, pekerjaan ini dapat mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Ia mulai datang ke pasar dan bekerja mulai dari pukul 09.00 hingga 17.00. “Tergantung orderan,” katanya.
"Saya sudah 19 tahun bekerja sebagai buruh gendong. Sejak anak saya usia 2 tahun hingga sekarang ia sudah berusia 21 tahun. Saya sudah tidak punya suami. Jadi saya menjadi tulang punggung keluarga,” ujar Hartini.
Ia mengaku tak lagi merasakan beban berat di punggungnya karena sudah terbiasa. Hartini mengatakan mulai bekerja sebagai buruh gendong karena diajak saudara dan teman-temannya yang sudah lebih dulu memulai pekerjaan ini.
Saling Jaga, Saling Bantu
Ketika beristirahat siang, puluhan perempuan buruh gendong itu meluruhkan segala penat di badan dengan saling memijat dan mengoles balsem. Sesekali mereka tertawa, tak jarang menangis haru bersama. Misalnya ketika bicara soal teman sesama buruh gendong yang jatuh sakit.
Suprapti mengatakan selama ia dan teman-temannya menggunakan kartu kesehatan gratis yang diterbitkan pemerintah, yaitu Kartu Indonesia Sehat atau KIS. Mereka berobat ke puskesmas atau rumah sakit pemerintah yang gratis.
"Ya kalau sakit, berobat ke puskesmas, pakai kartu KIS itu. Gratis. Saya kan tidak punya uang berobat. Buat makan keluarga saja pas-pasan,” ungkap Suprapti.
Kartini Sejati
Pengamat sosial di Universitas Negeri Sebelas Maret UNS Solo Ahmad Romdhon melihat keberadaan perempuan buruh gendong di sejumlah pasar tradisional sebagai potret perempuan tangguh.
"Ada suatu segmen perempuan dalam pekerjaan yang merupakan domain laki-laki. Namun dalam ranah pasar menjadi pilihan realistis bagi perempuan," ujar Romdhon kepada VOA.
Mereka, lanjutnya, tidak punya modal kemampuan non-fisik lainnya, misal berdagang, bersaing bersama ekosistem di pasar. Mereka memilih bekerja sebagai buruh gendong.
"Disebut emansipasi perempuan buruh gendong ini bisa iya, bisa tidak. Iya karena mereka keluar dari ranah domestik dalam rumah, bertanggung jawab pada keluarganya. Kalau kita lihat ibu rumah tangga di rumah, beban kerjanya melebihi beban kerja laki-laki yang harus bekerja di ranah publik," tegasnya.
Lebih jauh ia menyoroti kondisi fisik perempuan buruh gendong yang kurang diperhatikan, misalnya kondisi tulang belakang, siklus haid dan hormonal, hingga dampak ketika memasuki usia lanjut.
Janji Wali Kota Solo
Sementara itu, Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka, saat ditemui di Balaikota Solo, Jumat (30/4), menyatakan akan lebih memperhatikan nasib para buruh gendong di pasar itu.
" Akan kami lebih perhatikan lagi nasib dan kondisi mereka. Kan kami kemarin yang jelas sudah membantu vaksinasi di pasar tradisional, termasuk para buruh gendong. Para buruh non-formal akan lebih kami perhatikan lagi", ujar Gibran. [ys/em]