Kehadiran “Kamp Ramadan” – atau semacam sekolah informal selama satu minggu pada bulan Ramadan – memberi kekayaan ilmu dan pengalaman kepada anak-anak untuk belajar lebih dalam tentang bulan puasa Ramadan.
Berpuasa pada bulan Ramadan di Amerika memberi tantangan tersendiri. Puasa, yang di Amerika kini dilakukan selama 16 jam sehari, tahun ini kebetulan jatuh pada musim panas. Puasa kali ini berlangsung beberapa minggu sebelum tahun ajaran sekolah berakhir dan dimulainya musim libur, sehingga tak heran jika banyak anak dan remaja yang baru pertama kali berpuasa memutuskan untuk berada di dalam rumah saja.
Untuk memperkaya kegiatan anak-anak pada bulan Ramadan, yang sedianya menjadi bulan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan sekaligus melatih dan mendisiplinkan diri sebagai umat Muslim yang taat, kini banyak muncul “Kamp Ramadan.”
Di kamp-kamp ini anak-anak usia 6-9 tahun, atau bahkan yang sudah remaja sekali pun, belajar tentang agama secara informal, lewat prakarya, pentas teater dan sandiwara, nonton film, hingga jalan-jalan atau field trip. Jadi misalnya ketika belajar tentang imsak atau saat berbuka puasa, mereka diminta menggambar matahari terbenam atau matahari terbit dengan cat air, yang dilatarbelakangi mesjid berkubah. Atau diminta mengambil gambar dengan kamera ketika matahari terbenam atau matahari terbit, dan mendiskusikan kebesaran Ilahi.
Pernah pula anak-anak diajak keluar kamp, menuju ke lapangan yang juga dilengkapi gua, dan bermain seakan-akan sedang mengunjungi gua hira di luar kota Mekkah.
“Sebagai pemimpin, siapa yang ingin Anda layani,” ujar seorang anak ketika dalam pentas drama. Seorang anak lain menjawab “saya ingin bisa melayani diri sendiri.” Tetapi ada pula yang menjawab “saya ingin bisa melayani banyak orang.”
“Kamp Ramadan” ini digagas pada tahun 2012 dan awalnya hanya dibuka di satu sudut ibukota Washington DC untuk mengisi aktivitas anak-anak pada bulan puasa.
Mona Eldadah mengatakan kepada suratkabar Washington Post bahwa ketika itu ia merasa anak-anak terisolasi di dalam rumah saja ketika bulan Ramadan dan dengan mudah mereka merasa bosan, bahkan tak jarang merasa ibadah yang harus dijalankan itu sangat berat. “Dengan berada di dalam kamp, anak-anak memiliki aktivitas lain selain membaca buku, main video games atau nonton Netlix,” ujar Mona. Dan tak terasa waktu puasa pun berlalu dengan hal bermanfaat, memiliki lebih banyak teman dan lebih terbuka pemikirannya tentang berbagai isu di sekitarnya.
Setelah beberapa tahun, the Next Wave Muslim Initiative membantu menyewakan ruangan di Washington Waldorf School di Bethesda untuk “Ramadan Camp” ini. Kamp-kamp serupa juga berdiri di Virginia di bawah koordinasi mesjid setempat. [em/jm]