Pada tanggal 7 November, Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan kepada hadirin di Klub Diskusi Internasional Valdai di Sochi bahwa Kyiv memprovokasi Moskow untuk berperang dengan Ukraina.
Putin mengklaim Rusia berhenti mengakui kedaulatan perbatasan Ukraina hanya setelah Kyiv melanggar perjanjian dengan Rusia dengan mencabut status netral negara tersebut.
“[K]ami selalu mengakui perbatasan Ukraina dalam kerangka perjanjian kami setelah runtuhnya Uni Soviet,” kata Putin, merujuk pada perjanjian yang meresmikan pembubaran Uni Soviet dan dikenal sebagai Perjanjian Belovezha.
“Tetapi saya ingin menarik perhatian Anda pada fakta bahwa Deklarasi Kemerdekaan Ukraina menyatakan — dan Rusia mendukung ini — bahwa Ukraina adalah negara netral. Dan atas dasar ini, kami mengakui perbatasan tersebut,” lanjut Putin.
“Tetapi kemudian, seperti diketahui, pimpinan Ukraina mengubah hukum dasar dan mengumumkan keinginannya untuk bergabung dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), dan kami tidak menyetujuinya.”
Klaim Putin tersebut salah.
Ukraina (selalu) mematuhi perjanjian dengan Rusia dan menjalankan kebijakan nonblok selama beberapa dekade. Kyiv baru menghapus status netral dalam konstitusinya dan menyatakan keinginan untuk bergabung dengan Uni Eropa dan NATO pada tahun 2019 — lima tahun setelah Rusia mencaplok Krimea dan Moskow memberikan dukungan militer, finansial, dan dukungan lainnya bagi separatis pro-Rusia di Ukraina timur.
Sementara hubungan NATO-Ukraina dimulai pada awal 1990-an ketika Ukraina memisahkan diri dari Uni Soviet dan mendeklarasikan kemerdekaannya, aliansi tersebut memutuskan untuk mempertimbangkan keanggotaan Ukraina pada tahun 2008, setelah invasi militer Rusia ke Georgia serta melakukan aneksasi wilayah Ossetia Selatannya. Para pengamat menyebutnya sebagai "awal perang pertama di Eropa pada abad ke-21," dan meramalkan bahwa target Putin berikutnya adalah Ukraina.
Pada bulan Februari-Maret 2014, pasukan Rusia menduduki Krimea, merebut situs-situs penting, dan menggulingkan pemerintah daerah (pro Kyiv). Rusia mengadakan referendum yang dikontrol ketat, setelah itu otoritas yang ditunjuk Kremlin mengklaim suara mayoritas untuk bergabung dengan Rusia. Krimea mendeklarasikan kemerdekaan dari Ukraina pada 17 Maret, dan Kremlin mendeklarasikannya sebagai bagian dari Federasi Rusia keesokan harinya.
Dengan mencaplok Krimea, Rusia melanggar beberapa perjanjian internasional yang menjamin integritas teritorial Ukraina. Selain Perjanjian Belovezha, perjanjian tersebut meliputi Perjanjian Helsinki 1975, Memorandum Budapest 1994, Perjanjian Persahabatan, Kerja Sama, dan Kemitraan antara Rusia dan Ukraina 1997, dan Perjanjian Perbatasan Rusia-Ukraina 2003.
Pada September 2018, Presiden Ukraina saat itu Petro Poroshenko mengusulkan amandemen konstitusional kepada Verkhovna Rada, parlemen Ukraina, yang berupaya untuk mengabadikan komitmen Ukraina terhadap integrasi Eropa dan keanggotaan NATO dalam konstitusi negara tersebut.
Dua bulan kemudian, Mahkamah Konstitusi Ukraina menyetujui RUU tersebut. Verkhovna Rada menyetujui RUU tersebut pada 7 Februari 2019.
Menurut jajak pendapat, sebagian besar warga Ukraina mulai mendukung gagasan negara mereka untuk bergabung dengan NATO hanya setelah Rusia menduduki Krimea Ukraina pada tahun 2014 dan melancarkan perang di Donbas.
NATO dan Ukraina mengintensifkan kerja sama setelah invasi besar-besaran Rusia ke Ukraina pada Februari 2022. Sejak saat itu, Rusia dituduh melakukan kejahatan perang di Ukraina, yang mengakibatkan ratusan ribu orang tewas dan lebih dari selusin kota hancur.
Kremlin juga mengklaim tiga wilayah Ukraina lainnya sebagai bagian dari Federasi Rusia. Iran, Korea Utara, dan China mendukung upaya perang Rusia dengan bantuan militer dan tenaga kerja.
Perserikatan Bangsa-Bangsa, bersama dengan badan dan pemerintah internasional lainnya, tidak mengakui klaim Rusia atas Krimea dan wilayah Ukraina lainnya.
Majelis Umum PBB telah memberikan suara beberapa kali untuk menegaskan "integritas teritorial Ukraina dalam batas-batasnya yang diakui secara internasional," mengutuk "pendudukan sementara" Krimea, dan menegaskan kembali "tidak mengakui aneksasi (Rusia)."