Wakil Ketua Institute for Democracy and Peace, Bonar Tigor Naipospos dalam keterangan persnya di Jakarta mengatakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia terus terjadi, mulai dari perusakan tempat ibadah, intimidasi, penyegelan, pelarangan mendirikan tempat ibadah dan penghalangan kegiatan beribadah.
Pelanggaran itu dilakukan oleh masyarakat setempat, organisasi keagamaan tertentu, maupun oleh pemerintah daerah yang tidak konsisten menjalankan peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri terkait soal jaminan kebebasan beragama.
Untuk itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diminta segera turun tangan dalam menyelesaikan sejumlah kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan yang terus terjadi di sejumlah daerah di Indonesia. Hal ini penting dilakukan untuk menjaga kebebasan beragama di Indonesia.
“Indikasi terakhir ketika di Parung misalnya ketika gereja Pantekosta itu ditutup oleh Satpol PP, terjadi kekerasan. Kami juga dapat laporan misalnya pembangunan mesjid di pulau Bali, Denpasar itu juga mendapat gangguan, kemudian juga di Riau, kuil Budha dapat gangguan. Kita juga dapat laporan dari NTB, Pura Hindu yang ingin direnovasi mendapatkan gangguan juga,” jelas Bonar Naipospos.
Jadi menurut Bonar Naipospos, tingkat intoleransi ini dikalangan masyarakat Indonesia sedikit laten, terlepas apapun agamanya.
Sementara itu, Ketua Umum Indonesia Conference on Religion and Peace (ICRC), Siti Musdah Mulia mengatakan ancaman kebebasan beragama juga terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang ada. Saat ini, kata Musdah, Indonesia memiliki sekitar 151 peraturan perundang-undangan yang mengancam kebebasan beragama.
Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta itu menjelaskan kebebasan beragama yang ideal adalah kebebasan dimana setiap warga negara berhak menentukan beragama atau tidak beragama, kebebasan untuk berpindah agama, kebebasan untuk mendapatkan pendidikan yang berbeda dengan agama yang dianut, serta kebebasan untuk berdakwah sepanjang tidak mengeksploitasi masyarakat tertentu karena kebodohan dan kemiskinannya.
“Ketidakkonsistenan pemerintah Indonesia bahwa negara kita adalah negara demokrasi tapi juga kok meng-create dan membiarkan undang-undang yang tidak demokratis, ini kan problem,” kata Musdah.
Pengamat Sosial, Yohanes Harianto mengatakan undang-undang maupun peraturan daerah yang mengancam kebebasan beragama harus segera ditinjau kembali oleh pemerintah. Karena jika hal ini terus dibiarkan maka, kata Yohanes, akan menyebabkan terjadinya perang horizontal antar masyarakat. Selain itu Yohanes mengatakan kebebasan beragama yang sudah ada di Indonesia perlu diteguhkan lagi oleh semua pihak.
“Kebebasan beragama di Indonesia sudah ada hanya ada banyak masalah sehingga itu perlu diteguhkan,” ujar Yohanes Harianto.
Sementara itu Dosen Program Magister untuk Resolusi Konflik, Universitas Gadjah Mada, Syamsu Rizal Panggabean mengatakan konflik agama antar masyarakat dapat diatasi jika polisi yang merupakan salah satu unsur yang penting dalam melindungi kebebasan beragama, memiliki pengetahuan dan keterampilan yang cukup untuk mengatasi konflik.
Selama ini polisi terkesan tidak tegas dalam menangani para pelaku kriminal yang melakukan pengrusakan dan penyerangan terhadap rumah ibadah.