Tautan-tautan Akses

China Batasi Definisi Kematian Akibat COVID dalam Data Resminya


Seorang pasien dibawa keluar dari unit gawat darurat di sebuah rumah sakit di Zhuozhou, provinsi Hebei, China, pada 21 Desember 2022, di tengah lonjakan kasus COVID-19 di China. (Foto: AP/Dake Kang)
Seorang pasien dibawa keluar dari unit gawat darurat di sebuah rumah sakit di Zhuozhou, provinsi Hebei, China, pada 21 Desember 2022, di tengah lonjakan kasus COVID-19 di China. (Foto: AP/Dake Kang)

China hanya menghitung kematian akibat pneumonia atau gagal napas dalam penghitungan resmi jumlah kematian akibat COVID-19, demikian pernyataan seorang pejabat kesehatan China tentang penyempitan definisi yang membatasi jumlah kematian yang dilaporkan akibat COVID-19. Definisi tersebut dikeluarkan seiring melonjaknya kasus virus corona di negara itu setelah pemerintah mulai melonggarkan pembatasan terkait COVID.

Kematian yang terjadi pada pasien dengan penyakit yang sudah diderita sebelumnya tidak akan dihitung sebagai kematian akibat COVID-19, ujar Wang Guiqiang, Kepala Penyakit Menular di sebuah rumah sakit universitas di Peking.

China selalu konservatif dalam menghitung penyakit, baik akibat flu maupun COVID-19. Di sebagian besar negara, termasuk di Amerika Serikat, pedoman yang digunakan adalah setiap kematian di mana COVID-19 menjadi faktor atau kontributornya, maka akan dihitung sebagai kematian terkait COVID-19.

Pernyataan Wang pada Selasa (20/12) mengklarifikasi secara terbuka apa yang dilakukan negara itu selama masa pandemi.

China, pada Rabu (21/12), melaporkan tidak ada kasus kematian baru akibat COVID-19, dan malah mengurangi satu kematian dari data keseluruhan korban, menurunkan angka kematian menjadi 5.241 orang; demikian menurut penghitungan harian yang dikeluarkan Komisi Kesehatan Nasional. Tidak ada penjelasan mengenai penurunan angka kematian itu.

Klarifikasi tentang bagaimana China mencatat kematian akibat COVID-19 secara resmi muncul ketika terjadi lonjakan kasus baru di seluruh negara itu setelah pelonggaran pembatasan. Namun jumlah keseluruhan tetap kabur karena China tidak lagi mewajibkan tes PCR harian dan banyak orang yang melakukan tes di rumah.

Beijing dan Shanghai Alami Lonjakan Kasus

Awal tahun ini Shanghai dilanda wabah COVID-19 varian omicron. Banyak orang ketika itu mengatakan kepada Associated Press bahwa anggota keluarga mereka yang berusia lanjut dan dites positif mengidap COVID-19, ketika meninggal tidak dihitung dalam angka kematian resmi akibat COVID-19. Hal tersebut dikarenakan ketika pasien memiliki penyakit bawaan, maka kematiannya dikaitkan dengan penyakit tersebut.

Investigasi Associated Press menunjukkan angka-angka itu telah dikaburkan oleh cara otoritas kesehatan menghitung angka COVID-19, menerapkan standar yang jauh lebih sempit, kurang transparan dan kadang-kadang berubah karena Shanghai mengubah cara mendefinisikan kasus positif COVID-19.

Kriteria yang lebih sempit berarti jumlah kematian akibat COVID-19 di China akan selalu lebih rendah dibanding negara-negara lain.

Seorang lansia menerima vaksin COVID-19 di Danzhai, provinsi Guizhou, China pada 21 Desember 2022. (Foto: AFP)
Seorang lansia menerima vaksin COVID-19 di Danzhai, provinsi Guizhou, China pada 21 Desember 2022. (Foto: AFP)

Seorang wartawan Associated Press pada minggu lalu melihat sejumlah orang dibawa keluar dari rumah duka di Beijing, dan kerabat mereka mengatakan keluarga mereka itu meninggal setelah dinyatakan positif COVID-19. Namun pekan lalu, China tidak melaporkan kematian akibat COVID-19.

Sumber daya medis di kota-kota kecil dan komunitas pedesaan, yang dihuni sekitar 500 juta warga dari 1,4 miliar penduduk China, jauh tertinggal dibanding kota-kota seperti Beijing dan Shanghai.

Infrastruktur medis di daerah tertinggal mencakup 17.000 rumah sakit level kabupaten – yang kebanyakan bahkan tidak memiliki satu tempat tidur ICU pun, dan 35.000 klinik kesehatan kotapraja dan 599.000 klinik desa.

Jumlah Kematian di Hebei Meningkat

Di barat daya Beijing, rumah sakit darurat di kota-kota kecil mulai kewalahan. Wartawan Associated Press pada Rabu menyaksikan bagaimana puluhan pasien lanjut usia dalam kondisi kritis didorong ke bangsal-bangsal yang penuh sesak di Zhuozhou, di provinsi Hebei.

Dua penjaga toko pemakaman dan satu pekerja krematorium di Zhuozhou mengatakan kepada Associated Press bahwa jumlah kematian telah meningkat sejak pemerintah melonggarkan pembatasan terkait COVID-19. Salah seorang penjaga toko menambahkan krematorium kota itu mengkremasi 20-30 jenazah per hari, atau berarti naik dari 3 menjadi 4 sebelum pembatasan terkait COVID-19 dicabut.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan dalam pedomannya bahwa “kemungkinan” kasus COVID-19 dan kematian di mana COVID-19 menjadi faktornya, juga harus dihitung sebagai kematian akibat COVID-19.

Masalah jumlah kematian itu telah menjadi pertanyaan di negara-negara mulai dari Afrika Selatan hingga Rusia. WHO pada bulan Mei lalu memperkirakan hampir 15 juta orang telah meninggal dunia akibat COVID-19, atau karena kewalahannya sistem kesehatan dalam dua tahun pertama pandemi.

Hal tersebut secara signifikan melebihi angka kematian resmi periode itu yang mencapai enam juta orang. [em/jm]

Forum

Recommended

XS
SM
MD
LG