Yogyakarta mengalami lonjakan kasus corona cukup signifikan di bulan ketujuh pandemi. Sebagai perbandingan, provinsi ini hanya memiliki 77 kasus positif pada Juni 2020 lalu. Namun, di akhir September, menurut data yang ada, jumlah kasus dalam satu bulan mencapai 1.218.
Lonjakan dalam bulan-bulan terakhir disumbang oleh hampir seluruh sektor kehidupan. Di sektor ekonomi, sejumlah pasar seperti Beringharjo dan Cebongan mencatatkan kasus, begitu pula dengan sejumlah warung makan. Perkantoran seperti Dinas Kesehatan DIY, Dinas Perhubungan DIY dan DPRD DIY tak mau ketinggalan. Sektor pariwisata sempat menyumbang pula, ketika pedagang suvenir di pusat turis Jalan Malioboro, meninggal dunia akibat corona.
Sektor pendidikan juga tidak mau ketinggalan, khususnya di lingkungan pondok pesantren. Tidak seperti sekolah reguler yang masih diliburkan, pondok pesantren diijinkan pemerintah menyelenggarakan pendidikan. Meski melalui skema yang ketat, upaya itu jebol juga. Di Kabupaten Sleman, seperti dipaparkan Kepala Dinas Kesehatan, Joko Hastaryo, salah satu pesantren mencatatkan hingga 93 kasus positif sejauh ini, diduga karena santri yang baru datang.
Menurut Joko, seorang santri mengalami sakit awal September dan memeriksakan diri ke klinik. Setelah dokter memberikan pengobatan, kondisinya cukup membaik, tetapi hanya sementara.
“Kemudian pada tanggal 22 September, dia merasakan gejala anasmia atau tidak bisa mencium, kehilangan indra penciuman maupun pengecapan. Dia kemudian periksa lagi dan oleh dokter di klinik tersebut, dicurigai jangan-jangan Covid,” ujar Joko.
Karena kecurigaan itu, dilakukan pemeriksaan lebih jauh untuk mencari santri yang mengalami gejala serupa. Setidaknya hingga saat ini ditemukan 93 santri positif di pondok pesantren tersebut. Di dua pesantren yang lain juga tercatat kasus, meski jumlahnya sedikit yaitu 11 kasus dan satu kasus.
Buah Pilihan Kebijakan
Apa yang terjadi di Yogyakarta saat ini adalah buah pilihan kebijakan yang diambil. Sejak awal, Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono X memilih menetapkan status tanggap darurat menghadapi pandemi, yang bermakna, pendekatan situasi kebencanaan. Empat bulan terakhir, kehidupan kembali normal seolah tidak berada di tengah pandemi penyakit yang mengancam nyawa.
Pilihan itu diamini oleh Wakil Ketua DPRD DIY, Huda Tri Yudiana. Yogya, kata Huda, tidak sekalipun menerapkan pembatasan sosial seperti yang dilakukan Jakarta dan sejumlah wilayah lain. Praktis, dampaknya hanya dirasakan sektor pendidikan yaitu penerapan Pembelajaran Jarak Jauh atau daring.
Di luar itu, kehidupan berjalan seperti biasa. Pasar ramai, jalan penuh pengguna, wisatawan bebas datang ke obyek yang sudah dibuka. Pendeknya, kegiatan ekonomi tidak mengalami perubahan. Apa yang terjadi di masa awal pandemi, dimana wilayah relatif sepi karena kegiatan masyarakat menurun drastis, adalah karena kesadaran warga, bukan aturan Pemda. Namun kesadaran itu ada batasnya, karena menurut Huda, kini kehidupan kembali seperti semula.
“Masalahnya, semakin lama, semakin hari kesadaran masyarakat semakin berkurang, karena tekanan ekonomi, kebosanan dan lain lain. Kota Yogya sudah ramai seperti biasa meskipun mahasiswa sebagian besar belum masuk, wisatawan belum masuk, tetapi penduduk lokal sudah beraktifitas hampir seperti biasa. Ini yang mendorong penularan sangat cepat,” papar Huda.
Huda mengaku menerima keluhan banyak pihak, terutama tenaga kesehatan, karena lonjakan kasus ini. Puskesmas sebagai fasilitas kesehatan pertama yang langsung melayani masyarakat, menerima beban kerja tinggi. Karena itulah, menurut Huda diperlukan tindakan segera, diantaranya memastikan protokol kesehatan diterapkan seluruh masyarakat sampai tingkat terkecil.
“Perlu langkah preventif tingkat kampung seperti di awal kasus Covid. Masyarakat perlu melakukan gotong-royong sehingga ada kepedulian di masyarakat,” kata Huda.
Pujian dari Pusat
Hari Jumat, 2 Oktober 2020, Kepala Staf Presiden, Moeldoko, berkunjung ke Yogyakarta. Salah satu agendanya adalah bertemu dengan Sri Sultan HB X. Usai pertemuan, Moeldoko memuji pilihan Yogyakarta untuk tidak melakukan PSBB sama sekali sampai saat ini.
“Langkah-langah Bapak Gubernur sangat inovatif dalam memberikan penanganan Covid-19, sejalan dengan apa yang pemerintah pusat ambil, yaitu menerapkan micro lockdown atau pembatasan pada zona mikro. PSBB yang semakin mikro itu sangat diperlukan,” ujar Moeldoko.
Dia juga mengatakan, secara kewilayahan konsentrasi penanganan kasus dapat fokus pada tingkat Rukun Warga (RW). Tidak diperlukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dalam satu kawasan yang besar. Menurutnya, Presiden Jokowi pun memandang penting pemberlakukan mikro zonasi untuk skema PSBB. Pembatasan dalam skala wilayah besar, akan menimbulan gangguan pada pihak lain, lanjut Moeldoko.
Sultan sendiri berulangkali menyampaikan sikapnya, bahwa masyarakat seharusnya menjadi subyek dalam upaya menekan penularan corona. Dengan penyadaran, tanpa perlu tekanan dari aparat pemerintah, masyarakat relatif akan mematuhi protokol kesehatan.
Pemerintah, kata Sultan, tidak mungkin membatasi aktivitas datang dan pergi dari warga. Tentu resikonya, penambahan kasus positif mungkin saja akan terjadi. Yang penting, kata Sultan, tracing dilakukan dan mereka yang sakit dirawat di rumah sakit. Perpanjangan status tanggap darurat sudah lima kali dilakukan, dan itu menandakan perlunya adaptasi dari masyarakat terhadap pandemi ini.
“Saya tidak mau terlalu berasumsi corona terlalu membahayakan, sehingga pagi, sore, malam, saya harus berbicara masalah Covid, sehingga orang kecil takut mencari sesuap nasi, sehingga saya khawatir masyarakat Yogya nanti berada di jalan dan mengatakan: Pak Gubernur, saya kelaparan,” papar Sultan.
Pada 3 Oktober, atau sehari setelah Moeldoko mengucapkan pujian itu, Yogyakarta mencatatkan lonjakan kasus harian hingga 72 kasus. Dua hari sebelumnya, ada 37 kasus pada 1 Oktober dan 20 kasus pada 2 Oktober. Sama seperti ketika Jokowi mengucapkan pujian pada Yogyakarta pertengahan Juli lalu, kasus harian bahkan melonjak hampir dua kali lipat setelahnya.
Sikap Sultan saat ini sendiri berbeda dengan masa awal pandemi. Pada Juni lalu misalnya, dia sempat mengancam akan menutup Jalan Malioboro karena masyarakat yang berkerumun ketika menjalani olahraga pagi. Namun, dalam beberapa kesempatan terakhir, dia selalu berprinsip bahwa aktivitas warga tidak mungkin dibatasi karena akan mengganggu ekonomi.
Disadari atau tidak, pilihan inilah yang melipatgandakan kasus positif di DIY seperti tercatat di atas, dari 77 kasus pada Juni, menjadi 1.218 kasus sepanjang September. [ns/ab]