Bidin, laki-laki asal Bantul, Yogyakarta, sudah membuat wayang kulit sejak 1983. Dia mencatat, ada tiga periode dimana karyanya sepi pembeli. Pertama adalah periode reformasi tahun 1998 dimana gejolak politik memuncak.
Periode kedua adalah ketika peristiwa bom Bali melumpuhkan pariwisata. Gelombang ketiga adalah saat ini, ketika dunia dilanda wabah virus corona. Tidak ada wisatawan asing yang mampir di kiosnya, di kompleks Museum Sonobudaya, Alun-Alun Utara Keraton Yogyakarta sepanjang Maret ini.
“Terasa sekali dampaknya, karena perajin tergantung pada wisatawan asing. Apalagi ada kasus corona, otomatis pengunjung asing sangat minim. Kalau dulu itu seminggu bisa laku dua atau tiga, sekarang satu bijipun enggak laku,” kata Bidin.
Bidin menjual wayang kulit untuk souvenir seharga Rp 500 ribu per biji. Perlu waktu satu minggu baginya untuk memahat kulit dan mewarnainya sampai siap dipajang. Untuk wayang berukuran normal, harganya lebih tinggi. Karena itulah, pembeli wayang produksi Bidin rata-rata adalah wisatawan asing.
Bidin berharap, badai virus corona ini segera berlalu. Apalagi bulan Mei hingga Agustus adalah puncak musim liburan bagi wisatawan asing. Jika bulan-bulan itu dampak corona belum hilang, dia khawatir tumpukan karyanya yang disiapkan untuk puncak kunjungan itu, akan teronggok sampai tahun depan.
"Teman-teman yang jualan di tempat lain juga merasakan hal yang sama. Saya masih beruntung karena di rumah bertani dan punya hewan peliharaan, jadi tidak terlalu tergantung pada penjualan wayang,” tambahnya.
Hotel Catat Kerugian Besar
Sektor perhotelan di Yogyakarta sudah terimbas corona dan dampaknya terus memburuk. Data yang dikumpulkan oleh pelaku industri ini di Yogyakarta hingga 17 Maret 2020, telah terjadi pembatalan pemesanan hingga lebih dari 36 ribu kamar.
Ketua Indonesian Hotel General Manager Association (IHGMA) Yogyakarta, Herryadi Baiin menyatakan, data ini telah disampaikan ke pengurus pusat. Asosiasi berharap ada langkah nyata dari pemerintah untuk membantu hotel menghadapi dampak corona. Hingga pekan ini, penurunan masih berkisar di angka 20 persen, dan dikhawatirkan terus naik.
“Mulai ada penurunan setelah ada infomasi bahwa ada pasien yang positif di Yogyakarta. Dari situ surat-surat pembatalan sudah mulai datang. Kalau menurut data, sampai 17 Maret, ada loss yang kalau secara rupiah adalah Rp 33,6 miliar,” ujar Herryadi Baiin dalam pertemuan IHGMA Yogyakarta 17 Maret lalu.
Komunitas hotel di Yogyakarta telah bertemu dan mengundang pakar terkait virus corona dari RSUP dr. Sardjito. Peningkatan kapasitas ini diharapkan mampu mempersiapkan pelaku industri, menghadapi serangan virus corona. Termasuk memastikan seluruh properti hotel aman bagi tamu. Komunitas hotel di Yogyakarta juga telah berbagi pengalaman menghadapi penurunan okupansi tajam, agar semua dapat bertahan dengan mengurangi biaya operasional tanpa pemutusan hubungan kerja.
Sejumlah kawasan di Yogyakarta yang biasanya dipenuhi wisatawan, baik lokal maupun mancanegara, memang terlihat sepi dalam beberapa hari terakhir. Selain itu, mayoritas tempat wisata memang ditutup oleh pengelola, sesuai anjuran pemerintah daerah untuk mengurangi kerumunan orang.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Yogyakarta, Deddy Pranowo Eryono mengatakan, pelaku industri ini kini membutuhkan dukungan dari pemerintah. Salah satunya ada paket stimulus yang dijanjikan, tetapi belum terlaksana karena kendala di petunjuk teknis.
Deddy berharap, pemerintah tidak mengambil opsi lockdown dalam penanganan virus corona. Sebagai konsekuensinya, pengelola hotel dan restoran telah berkomitmen untuk melakukan pembersihan area mereka masing-masing. Kegiatan pembersihan ini diseut sebagai Merti Jogja. PHRI berharap pemerintah terus melakukan pembersihan di area publik dan kawasan tujuan wisata. Dengan gerakan ini, diharapkan wisatawan tidak terus membatalkan rencana kunjungan ke Yogyakata.
“Penurunan ini akan terjadi dan akan terus terjadi jika kita tidak melakukan sesuatu. Oleh karena itu kita mengumpulkan teman-teman. Kita sepakat bahwa Yogya aman dan siap dikunjungi. Salah satu lokomotif perekonomian di Yogyakarta adalah pariwisata,” kata Deddy.
Bali Hadapi Tantangan Serupa
Sebagai daerah tujuan wisata utama di Indonesia, Bali bernasib sama dengan Yogyakarta. I Nyoman Murjana, General Manager obyek wisata Taman Nusa di Bali mengakui, kunjungan wisatawan asing anjlok. Harapan kini tinggal pada wisatawan domestik, tetapi juga penuh tantangan karena pembatasan perjalanan wisata akibat virus corona ini.
Dampak lanjutannya, tentu diterima para pekerja. Menurut Nyoman, sesuai pesan Gubernur Bali, pengelola wisata bertekad untuk tidak melakukan Pemutusan Hubungan Kerja. Meski begitu, karyawan akan diajak untuk memahami situasi yang saat ini berkembang, dan bersama-sama menerima konsekuensinya.
“Saya kira pada saat keterbukaan itu ada, baik pengusaha dan manajemen, menyaksikan kondisi ini, sejauh ini masing-masing karyawan kan mengetahui, kalau hotel okupansinya kamarnya berapa, kalau kami di tempat wisata mengikuti berapapun jumlah kunjungan yang ada, itu kami sampaikan,” kata Nyoman.
Selaku pengelola tempat wisata, Nyoman hanya bisa berharap goncangan akibat virus corona ini segera berakhir. Setelah itu, komunitas wisata bersama pemerintah melakukan upaya bersama untuk bangkit. Bali, kata Nyoman sudah mengalami berbagai peristiwa yang menurunkan tingkat kunjungan wisata secara drastis.
Belajar dari pengalaman, kata Nyoman, situasi semacam ini selalu bersifat sementara. Begitu wisatawan meyakini bahwa Bali sudah aman untuk dikunjungi, kondisi akan kembali seperti semula.
Nyoman menjelaskan, sejak awal virus corona muncul, pariwisata Bali sudah langsung terdampak. Salah satu sebabnya adalah karena Tiongkok menjadi pasar utama mereka. Setelah wisatawan China turun drastis, harapan masih tersemat di pasar Eropa dan Australia. Kini, harapan itu tinggal ada di wisatawan domestik. [ns/em]