Sebagian besar mahasiswa di California merasa gembira bisa kembali belajar secara langsung pada musim gugur lalu. Namun lonjakan kasus COVID varian omicron telah memaksa banyak universitas di negara bagian itu untuk melanjutkan pembelajaran jarak jauh secara daring.
Derek adalah mahasiswa berasal dari China yang tinggal di salah satu gedung perumahan koperasi Universitas California, Los Angeles (UCLA). Tahun ini adalah tahun kedua Derek di UCLA untuk kuliah di jurusan antropologi, tetapi sejauh ini dia mengikuti kuliah dengan tatap muka langsung hanya selama satu semester.
“Saya sangat menikmati berada di kampus dengan semua orang. Saya menikmati kebersamaan. Saya menikmati kehidupan sosial, aspek sosial. Saya merasa senang berada di ruang kuliah, berjalan dari kelas ke kelas. Saya merasa lebih termotivasi untuk belajar ketika berada di kampus. Saya merasa mendapatkan banyak hal yang tidak akan saya dapatkan jika semuanya online," katanya.
Namun kini, Derek – seperti ribuan teman kuliahnya – akan kembali ke kamar pribadinya untuk duduk di depan layar komputer.
“Jika musim dingin ini dan musim semi nanti kuliah berlangsung online, maka pada saat saya lulus, saya hanya akan menghabiskan seperempat waktu kuliah di kampus. Jadi… saya benar-benar berpikir itu cukup menyedihkan.”
John, 21 tahun, tinggal di asrama mahasiswa usaha asosiasi persaudaraan mahasiswa laki-laki di kampus UCLA. Dia mengatakan ketika dia dan sesama anggota persaudaraan itu mengetahui tentang kembalinya kuliah online, mereka semua merasa sangat stres.
“Tidak ada yang bisa mempelajari apa pun. Kita tidak belajar apa-apa. Mungkin setengah dari waktu itu, kita dapat mengaktifkan Zoom, dan kita hanya akan berjalan-jalan ke sana ke mari dan melakukan apa saja.”
Sejauh ini, tujuh universitas di California – Stanford dan University of Southern California di antaranya – telah mengumumkan akan beralih ke kuliah online. Selain itu, universitas-universitas akan memerlukan bukti suntikan booster COVID dari semua mahasiswa yang kembali ke kelas.
Namun persyaratan suntikan booster itu bukan merupakan masalah bagi sebagian mahasiswa dibandingkan dengan biaya kuliah yang mereka tanggung. Sebagai mahasiswa internasional, Derek membayar sekitar 40.000 dolar setahun untuk kuliahnya di UCLA. Tetapi, dia percaya bahwa belajar online seharusnya tidak menghabiskan biaya sebesar itu.
“Tapi tentu saja, sebagai seorang mahasiswa, saya kira tidak sepenuhnya adil bahwa kita membayar sebesar kalau kelas tatap muka," ujar Derek.
VOA telah mengirimkan pertanyaan ke pihak berwenang di UCLA dan University of Southern California perihal apakah mereka telah mempertimbangkan untuk menurunkan biaya kuliah bagi mahasiswa yang belajar secara online, tetapi sejauh ini belum mendapat tanggapan.
Untuk saat ini, universitas-universitas itu hanya berencana untuk mengadakan kuliah online selama beberapa minggu. Kemungkinan itu merupakan kabar gembira bagi banyak mahasiswa, seperti John, mahasiswa UCLA.
“Bahkan jika kita sangat perhatian dan termotivasi, itu tidak sama dengan berada dalam ruang kuliah," katanya.
Banyak mahasiswa di UCLA yang ditemui VOA menyatakan ingin kembali kuliah dengan tatap muka langsung. [lt/ka]