Larangan mudik beberapa kali mengalami perubahan. Selain menimbulkan kebingungan, inkonsistensi aturan dinilai justru turut mendorong warga untuk mudik.
Karena itulah, meski berjanji akan melakukan berbagai upaya menahan laju pemudik, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tetap meminta pemerintah pusat konsisten. Sekretaris Daerah DIY, Kadarmanta Baskara Aji, menyebut konsistensi itu antara lain soal larangan moda transportasi umum beroperasi.
“Kita harapkan pemerintah konsisten akan menutup seluruh jaringan transportasi udara maupun darat, lewat pesawat, bis dan lain lain. Sehingga yang kita jaga itu tinggal yang naik mobil pribadi dan naik motor, ini yang paling berat,” kata Baskara, Minggu (2/5) petang dalam diskusi bersama Sambatan Jogja (SONJO) terkait kebijakan mudik.
Kadarmanta memastikan Satpol PP, Dinas Perhubungan dibantu aparat TNI dan Polri akan berjaga di titik-titik perbatasan. Namun, benteng terakhir mencegah penularan COVID-19 tetap berada di tingkat pemerintahan terkecil, terutama lurah. Jika sudah sampai ke perbatasan DIY, kata Kadarmanta, berarti pemudik yang mayoritas datang dari Jakarta dan Banten itu sudah lolos dari penjagaan di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Artinya, secara psikologis pemudik itu akan melakukan apapun karena sudah dekat sekali dengan rumah.
“Dia sudah lolos dari Jakarta ke Jawa Barat, kemudian ke Jawa Tengah lolos lagi. Masa mau masuk Yogya dia mutung, pasti dia akan cari jalan. Kalau semua jembatan ditutup, dia akan berenang di kali Bogowonto atau Krasak,” kata Kadarmanta memberi kiasan.
Dua sungai yang disebut Kadarmanta, menjadi batas wilayah DIY dengan Jawa Tengah di sisi barat.
Kebijakan mudik memang terasa dinamis. Awalnya pemerintah melarang mudik sepenuhnya, dan kemudian membuat kebijakan pembukaan interaksi di wilayah terikat atau aglomerasi. Kementerian Perhubungan beberapa hari terakhir juga membuat kebijakan baru, dengan membolehkan bus untuk angkutan mudik, asal memiliki stiker khusus.
Banyak kasus penularan sudah terjadi akibat mudik. Di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, misalnya, 39 orang dinyatakan positif COVID-19 setelah seorang pemudik sampai ke desa mereka beberapa hari lalu. Di rumah, dia menggelar hajatan dan didatangi tetangga. Setelah pemilik rumah jatuh sakit, barulah diketahui bahwa pemudik itu telah menimbulkan klaster baru.
Pada pengarahan kepada pemerintah daerah 29 April 2021 lalu, Presiden Jokowi menyebut masih akan ada 18,9 juta orang yang akan nekat mudik Lebaran tahun ini. Dia meminta seluruh elemen pemerintah untuk menggencarkan kampanye larangan mudik.
Di Palembang, Menteri Dalam Negeri Muhammad Tito Karnavian tegas menyebut perlu sikap yang sama terkait pelarangan mudik.
“Perlu keserentakan antara pusat dan daerah,” ujar Mendagri dalam rilis resmi kementerian, Minggu (2/5).
Didorong Inkonsistensi Kebijakan
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Bayu Dardias Kurniadi, mengatakan inkonsistensi pemerintah pusat justru menjadi salah satu pendorong orang tetap mudik.
“Menurut saya, faktor pendorongnya ada dua. Yang pertama terkait kebijakan yang inkonsisten, yang tidak jelas di tingkat pusat. Korbannya adalah di daerah. Yang kedua, inkonsistensi itu tidak hanya terkait dengan boleh atau tidak, tetapi juga faktor pendorong utama, yaitu dana,” ujar Bayu.
Selain dua faktor pendorong, Bayu juga menyebut empat faktor sebagai penarik orang untuk tetap mudik tahun ini, yang pertama adalah karena ada anggapan bahwa setahun tanpa pulang sudah cukup. Apalagi bagi masyarakat yang tahun lalu mengikuti anjuran untuk tidak mudik. Desakan untuk tetap mudik tahun ini akan lebih kuat.
“Yang kedua faktor psikologis. Ini jangan disepelekan. Kangen itu luar biasa dampaknya. Kalau orang ketika kangen itu, apapun akan dilakukan untuk memenuhi dahaga kekangenan itu,” lanjut Bayu.
Faktor ketiga, menurut Bayu adalah vaksin. Rasa aman karena sudah divaksin memberi kepercayaan diri lebih, bahwa mudik akan aman. Selain itu, yang terakhir yang bisa menarik orang untuk tetap mudik adalah promosi pariwisata yang cukup gencar.
Desa Tak Bisa Larang
Meski memiliki kewenangan terbatas, Kalurahan sebagai struktur pemerintahan di bawah tetap melakukan sejumlah upaya. Di Kalurahan Panggungharjo, Bantul, DIY misalnya, ada penandaan baru bagi rumah pemudik, seperti disampaikan Lurah Wahyudi Anggoro Hadi.
“Yang kemudian kita lakukan adalah, mulai tanggal 3 Mei akan kita tambahkan satu tanda di dalam infografis sebaran zonasi RT, yaitu 'Rumah dengan Pelaku Perjalanan.' Harapannya kemudian kita bisa melakukan monitoring,” kata Wayudi.
Tanda rumah dengan pelaku perjalanan diberikan, karena Wahyudi mengakui mereka tidak memiliki kewenangan apapun untuk menolak kehadiran pemudik. Baik yang datang maupun keluarga yang dituju, memiliki keinginan yang sama yaitu mengatasi rasa kangen setelah setahun tak bertemu.
Kelurahan Panggungharjo juga menyediakan shelter isolasi yang representatif. Meskipun Wahyudi tidak optimistis akan terpakai maksimal, karena pemudik nekat datang demi berkumpul dengan keluarga, bukan untuk menjalani isolasi yang terpisah.
“Kita mendorong warga untuk menginformasikan, kira-kira keluarganya siapa saja yang akan datang, durasi berapa lama dan kapan. Data akan terus di-update,” lanjut Wahyudi.
Indra Gunawan, Lurah Tirtomartani, Sleman, DIY , uga mengaku tak akan sanggup jika harus menolak pemudik.
“Mau tidak mau, kita harus menerima ketika sudah sampai di kelurahan. Kita tidak bisa serta merta mengusir mereka,” ujarnya.
Upaya yang dilakukan adalah memberikan pengertian sehingga pemudik memahami kekhawatiran warga setempat terkait penularan COVID-19.
Mudik ini, kata Indra, menjadi fasilitas mengobati rasa rindu warga dari luar atau perantau yang beberapa tahun tidak pulang. Karena itulah, mereka memberi sedikit ruang pemudik untuk melepas kangen bersama keluarganya. Dia hanya berharap, semua pihak bisa menjaga sehingga penularan COVID-19 dapat diminimalkan. [ns/ab]