Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pemerintah melarang masyarakat mudik ke kampung halaman mereka masing-masing untuk merayakan hari raya Idul Fitri nanti, karena pandemi virus corona belum usai.
Berdasarkan pengalaman tahun 2020, katanya, pasca liburan panjang lebaran terjadi kenaikan kasus harian positif COVID-19 hingga 93 persen. Bahkan, liburan panjang hari kemerdekaan pada Agustus tahun lalu pun menyumbang kenaikan kasus harian sebanyak 119 persen.
“Oleh karena itu, Pak Presiden minta kebijakan pengendalian agar segera dilaksanakan dan pemerintah melalui Kemenko PMK sudah menyampaikan sudah ada larangan mudik dan juga sudah disiapkan Surat Edaran dari Menteri Agama yang mengatur berbagai kegiatan keagamaan selama bulan Ramadhan,”ungkap Airlangga dalam telekonferensi pers usai Sidang Kabinet Paripurna, di Istana Negara, Jakarta, Rabu (7/4).
Langkah pelarangan mudik ini, kata Airlangga, harus diambil mengingat di sejumlah negara-negara di Kawasan Eropa dan Asia, terjadi lagi kenaikan kasus positif corona gelombang ketiga atau third wave. Pemerintah juga mewaspadai penyebaran varian baru virus corona yang sudah masuk ke tanah air.
“Di mana di Inggris terjadi kenaikan di bulan Januari demikian pula di Belanda, Spanyol. Dan untuk negara Asia seperti di India dan juga di Papua Nugini sehingga ini menunjukkan bahwa COVID-19 belum selesai dan kita harus tetap berhati-hati,” tuturnya.
Lanjutnya, kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) secara mikro, diklaim telah menurunkan angka kasus aktif COVID-19 di tanah air, hingga single digit yaitu 7,4 persen, di mana kasus aktif corona di tingkat global masih 17,3 persen. Tingkat kesembuhan berada di level 89,9 persen Di mana global 80,5 persen. Namun, kasus kematian masih 2,7 persen sementara global 2,17 persen.
Jutaan Masyarakat Berpotensi Mudik
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengungkapkan berdasarkan hasil survei diperkirakan jutaan masyarakat bakal mudik ke kampung halaman apabila tidak ada larangan mudik.
“Menhub melakukan suatu survei terhadap satu jumlah responden yang banyak, di mana apabila tidak ada larangan mudik, maka 33 persen orang masih mudik. Artinya ada 81 juta orang akan mudik. Tetapi kalau ada larangan mudik, orang yang ingin mudik 11 persen dengan angka 27 juta. Itu jumlah yg banyak,” ujar Budi.
Ia menjelaskan, tujuan mudik paling banyak adalah dari Jabodetabek ke wilayah Jawa Tengah sebanyak 37 persen atau 12 juta orang, Jawa Barat 23 persen atau enam juta orang, dan Jawa Timur.
Budi mengatakan beberapa alasan penting mengapa mudik lebaran pada tahun ini tetap dilarang. Pertama, pasca liburan panjang natal tahun lalu, kenaikan kasus positif COVID-19 yang drastis telah menyebabkan kematian ratusan tenaga kesehatan.
“Kemudian negara-negara maju pun sekarang sedang mengalami satu kenaikan yang sangat signifikan, seperti USA, India, dan beberapa negara di eropa,” tuturnya.
Maka dari itu, pemerintah akan melakukan berbagai mitigasi untuk mencegah masyarakat mudik ke kampung halamannya. Ia mengatakan untuk jalur darat pihaknya akan berkoordinasi dengan pihak kepolisian dan kakorlantas untuk melakukan penyekatan di lebih dari 300 lokasi.
Untuk jalur laut, dan juga jalur kereta api pemerintah pun akan memberikan layanan secara terbatas, untuk mencegah masyarakat bepergian.
“Sesuai arahan Bapak Presiden, kita tegas melarang mudik dan kami juga mengimbau agar yang berkeinginan mudik untuk tinggal di rumah saja,” kata Budi.
Ahli Epidemiologi: Larangan Mudik Tidak 100 Persen Efektif Tekan Kasus COVID-19
Ahli Epidemilogi Universitas Griffith Australia Dicky Budiman mengatakan memang larangan mudik akan berdampak kepada berkurangnya mobilitas dan interaksi manusia dalam jumlah yang besar. Namun, kebijakan ini menurutnya tidak akan efektif menekan perebakan wabah virus corona secara maksimal.
“Tidak akan 100 persen karena (kebijakan) ini juga dilakukan di mana sebagian pasti sudah pergi (mudik) atau sudah merencanakan pergi,” ujar Dicky kepada VOA.
Menurutnya, kebijakan pelarangan mudik harus dibarengi dengan tetap mengoptimalkan kualitas dan kuantitas daripada kebijakan “3T” yakni testing, tracing dan treatment beserta sosialisasi protokol kesehatan “5M”.
“Apalagi dengan ancaman strain baru. Dengan mutasi E484K yang sudah ditemukan di Indonesia kan ini suatu sinyal sangat serius, bahwa kita harus menguatkan respon “3T” dan “5M” kita secara kuantitas dan kualitas, itu yang harus dilakukan oleh pemerintah. Dan harus komitmennya tinggi dan konsisten, itu yang harus dilakukan di setiap level pemerintahan,” jelasnya.
Di sisi lain, Dicky juga meragukan klaim pemerintah bahwa kasus aktif COVID-19 telah turun akibat kebijakan PPKM Mikro. Pasalnya, positivity rate COVID-19 di Indonesia masih bergerak fluktuatif.
“Kemudian tentang klaim kasus turun ini menurut saya argumentasinya masih lemah. Kalau kasus turun, terus positivity rate-nya juga sudah setidaknya di bawah delapan persen, lebih bagus lima persen ke bawah, sehingga itu lebih valid, lebih kuat argumentasinya. Tapi kalau tes positivity rate kita masih begitu fluktuatif dengan rata-rata jauh di atas 10 persen, itu lemah klaimnya,” kata Dicky. [gi/ab]