YOGYAKARTA —
Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta melalui Badan Pelaksana Jaminan Kesehatan Sosial telah melakukan persiapan, seandainya dana bantuan dari Global Fund berhenti pada 2015.
Global Fund adalah organisasi bentukan PBB untuk upaya pencegahan persebaran HIV dan perawatan orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Dalam beberapa tahun terakhir lembaga ini mulai mengurangi dukungan dananya, dan kemungkinan akan menghentikan program bantuan di Indonesia dua tahun mendatang.
Kepala Badan Pelaksanan Jaminan Kesehatan Sosial DIY, Pembayun Setyaning Astuti, kepada VOA memaparkan, pemerintah daerah memiliki potensi keuangan yang cukup untuk menutupi kebutuhan anggaran, apabila Global Fund benar-benar menghentikan bantuannya.
Saat ini pun, ujarnya, skema di bawah Jaminan Kesehatan Sosial telah menjamin biaya pengobatan untuk penyakit-penyakit yang ditimbulkan HIV. Meskipun, kata Pembayun, belum ada skema yang menempatkan ODHA ke dalam kelompok dengan bantuan khusus.
"Kalau kemampuan daerah saya pikir mampu. Daerah mampu memberikan bantuannya. Tetapi (dengan syarat) itu tadi, tidak boleh kemudian ada kecurangan-kecurangan. Oleh karenanya, data berdasarkan nama dan alamat itu penting. Data tersebut kan tidak kemudian berbunyi bahwa (seseorang) ini ODHA, tetapi dikemas dalam satu kelompok yang hanya orang-orang tertentu saja yang bisa membaca bahwa memang ini adalah kelompok yang berisiko,” ujarnya.
Ditemui usai sebuah diskusi yang diselenggarakan Komisi Penanggulangan AIDS DIY, Pembayun juga mengatakan, dalam skema Jaminan Kesehatan Sosial yang telah ada, ODHA tidak teridentifikasi sehingga tidak dapat dimonitor secara pasti berapa jumlahnya.
Skema ini tidak memperhitungkan apakah seseorang itu ODHA atau tidak, karena yang dicatat hanyalah penyakit yang dideritanya, ujarnya. Dalam beberapa kasus, terdapat kode khusus yang diberikan, tetapi itu hanya bisa dilakukan setelah ada keterangan resmi dari tenaga medis, menurut Pembayun
Direktur Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Vesta, sebuah lembaga yang peduli dengan isu HIV/AIDS di Yogyakarta, Yusuf Kusumo Nugroho meyakini, pemerintah sebenarnya sangat mampu menanggung biaya obat dan perawatan bagi ODHA. Di samping itu, setidaknya masih ada waktu dua tahun untuk mempersiapkan diri seiring berakhirnya bantuan dana berbagai lembaga donor asing, ujarnya. Yang perlu dilakukan, kata Yusuf, adalah memperbaiki mekanisme pembiayaan sehingga dana dapat tersalurkan secara tepat.
"Pemerintah harus menambal kesenjangan, terutama kesenjangan anggaran yang memang sulit, dan juga bagaimana penggunaan anggaran itu. Jadi jangan sampai anggaran itu bisa dipenuhi, tetapi yang paling penting adalah setelah anggaran itu ada, bagaimana penggunaan anggarannya. Apakah efektif, apakah efisien, sehingga nanti kegiatannya jangan hanya melulu penyuluhan saja atau obat saja, tetapi juga ada kegiatan yang mendukung efektifitas, umpamanya pendampingan ke masyarakat,” ujar Yusuf.
Yusuf juga memaparkan fakta bahwa laki-laki berisiko tinggi dalam penularan HIV. Di DIY, menurut catatannya, laki-laki dengan HIV mencapai 1.231 kasus, sedangkan perempuan 645 kasus. Kasus pada ibu rumah tangga, sebagai dampak penularan dari suaminya, juga meningkat menjadi 215 kasus tahun ini, dan di kalangan bayi berumur kurang dari setahun ada 23 kasus, sedangkan bayi di bawah lima tahun 47 kasus.
Global Fund adalah organisasi bentukan PBB untuk upaya pencegahan persebaran HIV dan perawatan orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Dalam beberapa tahun terakhir lembaga ini mulai mengurangi dukungan dananya, dan kemungkinan akan menghentikan program bantuan di Indonesia dua tahun mendatang.
Kepala Badan Pelaksanan Jaminan Kesehatan Sosial DIY, Pembayun Setyaning Astuti, kepada VOA memaparkan, pemerintah daerah memiliki potensi keuangan yang cukup untuk menutupi kebutuhan anggaran, apabila Global Fund benar-benar menghentikan bantuannya.
Saat ini pun, ujarnya, skema di bawah Jaminan Kesehatan Sosial telah menjamin biaya pengobatan untuk penyakit-penyakit yang ditimbulkan HIV. Meskipun, kata Pembayun, belum ada skema yang menempatkan ODHA ke dalam kelompok dengan bantuan khusus.
"Kalau kemampuan daerah saya pikir mampu. Daerah mampu memberikan bantuannya. Tetapi (dengan syarat) itu tadi, tidak boleh kemudian ada kecurangan-kecurangan. Oleh karenanya, data berdasarkan nama dan alamat itu penting. Data tersebut kan tidak kemudian berbunyi bahwa (seseorang) ini ODHA, tetapi dikemas dalam satu kelompok yang hanya orang-orang tertentu saja yang bisa membaca bahwa memang ini adalah kelompok yang berisiko,” ujarnya.
Ditemui usai sebuah diskusi yang diselenggarakan Komisi Penanggulangan AIDS DIY, Pembayun juga mengatakan, dalam skema Jaminan Kesehatan Sosial yang telah ada, ODHA tidak teridentifikasi sehingga tidak dapat dimonitor secara pasti berapa jumlahnya.
Skema ini tidak memperhitungkan apakah seseorang itu ODHA atau tidak, karena yang dicatat hanyalah penyakit yang dideritanya, ujarnya. Dalam beberapa kasus, terdapat kode khusus yang diberikan, tetapi itu hanya bisa dilakukan setelah ada keterangan resmi dari tenaga medis, menurut Pembayun
Direktur Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Vesta, sebuah lembaga yang peduli dengan isu HIV/AIDS di Yogyakarta, Yusuf Kusumo Nugroho meyakini, pemerintah sebenarnya sangat mampu menanggung biaya obat dan perawatan bagi ODHA. Di samping itu, setidaknya masih ada waktu dua tahun untuk mempersiapkan diri seiring berakhirnya bantuan dana berbagai lembaga donor asing, ujarnya. Yang perlu dilakukan, kata Yusuf, adalah memperbaiki mekanisme pembiayaan sehingga dana dapat tersalurkan secara tepat.
"Pemerintah harus menambal kesenjangan, terutama kesenjangan anggaran yang memang sulit, dan juga bagaimana penggunaan anggaran itu. Jadi jangan sampai anggaran itu bisa dipenuhi, tetapi yang paling penting adalah setelah anggaran itu ada, bagaimana penggunaan anggarannya. Apakah efektif, apakah efisien, sehingga nanti kegiatannya jangan hanya melulu penyuluhan saja atau obat saja, tetapi juga ada kegiatan yang mendukung efektifitas, umpamanya pendampingan ke masyarakat,” ujar Yusuf.
Yusuf juga memaparkan fakta bahwa laki-laki berisiko tinggi dalam penularan HIV. Di DIY, menurut catatannya, laki-laki dengan HIV mencapai 1.231 kasus, sedangkan perempuan 645 kasus. Kasus pada ibu rumah tangga, sebagai dampak penularan dari suaminya, juga meningkat menjadi 215 kasus tahun ini, dan di kalangan bayi berumur kurang dari setahun ada 23 kasus, sedangkan bayi di bawah lima tahun 47 kasus.