Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Diandra Megaputri Mengko mengatakan pertanyaan Anies dan Ganjar kepada Prabowo merupakan pertanyaan umum di sektor pertahanan, dan datanya bisa diungkap ke publik.
Kementerian Pertahanan, ujar Diandra, pada dasarnya sama dengan kementerian-kementerian dan lembaga-lembaga negara lainnya yang harus memiliki prinsip akuntabilitas. Meski begitu, diakuinya, memang ada beberapa hal di sektor itu yang memang harus dirahasiakan.
“Kalau kita merahasiakan semua, atau semua data pertahanan itu dirahasiakan, maka risiko terhadap minimnya akuntabilitas, risiko korupsi dan lain-lain itu akan sangat tinggi. Tapi kalau kita buka semua ya memang keamanan nasional bisa terancam juga. Jadi memang ada tengah-tengah, mana batasan data yang bukan bisa dibuka, bisa tertutup dengan alasan yang jelas,” ungkap Diandra.
Dalam debat capres akhir pekan lalu, Anies dan Ganjar kompak bertanya kepada Prabowo terkait sektor pertahanan. Anies, meminta Prabowo yang saat ini menjabat sebagai Menteri Pertahanan mengungkap anggaran pertahanan dan belanja alutsista. Sementara Ganjar meminta Prabowo untuk menjelaskan Minimum Essential Force (MEF) Indonesia yang terus menurun. MEF adalah batas minimal kekuatan pokok militer yang harus dimiliki suatu negara.
Mendapat pertanyaan tersebut, Prabowo bersikeras bahwa tidak semua data pertahanan bisa dibuka di publik. Baik Anies maupun Ganjar pun tidak mendapat jawaban yang diinginkan dalam ajang debat capres tersebut.
Diandra menekankan, terkait alutsista memang tidak semua detailnya bisa disampaikan kepada publik. Namun, menurutnya mengenai anggaran dan belanja alutsista seharusnya bisa dijawab Prabowo karena bukan rahasia negara.
“Tapi, misalnya spesifikasi (alutsista) seperti ingin detail , seperti memakai sistem apa, bagaimana dia berkoneksi dengan yang lain dan macam-macam persenjataan lainnya itu rahasia. Dan bagaimana kemudian itu digunakan dalam suatu rencana strategi operasi, itu rahasia. Jadi ada beberapa kedalaman yang memang ada yang dirahasiakan, bukan satu gelondongan gede alutsista dirahasiakan. (Jadi saya berpikir Prabowo) berlindung (di balik kata rahasia negara) dan menghindari akuntabilitas,” paparnya.
Terkait pertanyaan mengenai MEF, katanya, Prabowo sebenarnya bisa membeberkan secara umum, seperti berapa persen capaiannya, dan apakah targetnya tercapai atau tidak.
“Terlepas dari debat, Kemenhan selama ini belum pernah mengeluarkan data MEF secara resmi seberapa jauh sih pencapaiannya. Kalau mau fair Menteri Pertahanan yang sebelumnya itu mengeluarkan data-data itu, walaupun pencapaiannya tidak terlalu baik, ya mereka akan sampaikan kita tidak terlalu baik karena begini, begini. Tapi itu datanya terbuka untuk publik. Dan itu bentuk dari akuntabilitas, agak cukup mengecewakan dalam konteks itu karena pertanyaan terkait pencapaian MEF yang tidak bisa dibuka,” paparnya.
Senada dengan Diandra, pengamat pertahanan Khairul Fahmi mengatakan berdasarkan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), aturan mengenai kerahasiaan informasi tercantum dalam pasal 17 C yang menyebutkan informasi yang dikecualikan adalah yang membahayakan pertahanan dan keamanan negara.
Adapun salah satu bunyi pasal tersebut adalah informasi yang dikecualikan untuk dibuka ke publik adalah informasi tentang strategi, intelijen, operasi, taktik dan teknik yang berkaitan dengan penyelenggaraan sistem pertahanan dan keamanan negara, meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengakhiran atau evaluasi dalam kaitan dengan ancaman dari dalam dan luar negeri.
Terkait alutsista, katanya, anggaran belanja yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak bersifat rahasia. Masyarakat pun, katanya, juga bisa mengakses informasi tersebut, sampai dengan siapa pemasok alutsista di Tanah Air.
“Jadi sebenarnya memang yang tidak bisa dibuka itu terkait kekuatan, kemampuan dan penggunaannya. Misalnya kita punya tank, mau ditempatkan dimana? Di Papua, di sebelah mananya, kapan akan digeser ke Papua, itu baru rahasia. Tapi kalau jumlahnya, it’s OK,” ungkap Fahmi.
Terlepas dari Prabowo yang memilih untuk tidak menjawab pertanyaan Anies dan Ganjar dengan alasan rahasia negara, menurutnya, pertanyaan Anies dan Ganjar tidak terlalu spesifik. Sehingga ia menduga Prabowo tidak mau mengambil risiko untuk membeberkan data-data yang sebenarnya bisa dibuka untuk masyarakat umum.
“Menurut saya kurang spesifik (pertanyaan Anies dan Ganjar) sehingga menimbulkan penafsiran yang berbeda antara penanya dan yang harus menjawab. Itu menurut saya kurang spesifik, sehingga akhirnya jadi kurang jelas. Kalau kita kaitkan dengan sengketa informasi, ini sebenarnya sengketa informasi,” jelasnya.
“Mungkin bagi Pak Prabowo penafsirannya adalah, di ruang (debat capres) itu tidak bisa kita buka, tapi di ruang lain misalnya di rapat Komisi I DPR atau di ruang yang berbeda itu mungkin bisa dibuka. Cuma sayangnya Pak Prabowo bukan orang yang kemampuan berbahasanya bagus, sehingga penjelasannya menjadi kontroversial,” tambahnya.
Presiden Joko Widodo pun juga turut menanggapi pro dan kontra terkait data pertahanan ini. Mantan Gubernur DKI Jakarta ini pun sepakat dengan Prabowo bahwa tidak semua data yang menyangkut keamanan dan pertahananan Tanah Air bisa diumbar ke publik.
“Yang berkaitan dengan pertahanan, yang berkaitan dengan keamanan negara, yang berkaitan dengan alutsista itu ada yang bisa terbuka, tapi banyak yang harus kita rahasiakan karena ini menyangkut sebuah strategi besar negara. Tidak bisa semuanya dibuka seperti toko kelontong. Tidak bisa,” jawab Jokowi. [gi/ab]
Forum