Ratusan mata penonton studio acara televisi The America's Got Talent (AGT), di saluran NBC Amerika, tampak terlihat tegang, cemas dan khawatir. Sementara Simon Cowell, salah satu juri yang terkenal dengan gaya kritikan pedas dan berbahasa negatif terlihat diam, larut dalam ketegangan. Di atas panggung Demian Aditya beraksi, tergeletak dengan rantai tangan dan kunci kaki leher. Di atasnya, pasir seberat 900 pounds (400 kilogram) siap menerjang. Demian hanya punya hitungan detik untuk melepaskan diri. Begitu kaca dipecahkan, semua penonton kagum dan memberikan standing ovation. Empat juri memberikan "Yes" dan Demian lolos dan masuk babak berikutnya.
Sebagai Ilusionis Indonesia yang pernah tampil di berbagai acara televisi, pemilik nama asli Aditya Prambudhi (37 tahun) ini menjadi pesulap Indonesia pertama yang mampu lolos di AGT. Mulai dikenal dengan debutnya dalam progam televisi Demian Sang Ilusionis, karir Demian di dunia panggung justru dimulai dengan menjadi finalis pemilihan Abang dan None Jakarta dan terpilih sebagai Abang Persahabatan (2000) dan Abang Favorit (2002). Aksi Demian dikenal spektakuler dan penuh tantangan, salah satunya pada dua tahun lalu adalah aksi dikubur dalam semen selama 50 jam, membuat nama Demian disegani di kalangan pesulap dan ilusionis Indonesia.
Di tengah kesibukannya, Demian menyempatkan waktu untuk wawancara khusus dengan VOA Indonesia, di Jakarta. Walau tampak lelah karena kesibukannya, Demian sangat antusias menjawab pertanyaan seputar keikutsertaannya dalam AGT. Program Director VOA Naratama dan Produser Ahadian Utama, serta video editor Adria Widyatmoko melaporkan.
VOA: Bagaimana caranya bisa tampil di acara America’s Got Talent?
Demian: Awalnya saya bisa tampil di America’s Got Talent, karena diundang dari pihak mereka. Tiba-tiba ada email masuk yang bertuliskan dari America’s Got Talent dan saya lihat yang mengirim email itu dari Talent Producer. Nah, tugas Talent Producer adalah mencari orang-orang yang berbakat, mungkin dari seluruh dunia. Dia minta saya untuk tampil di America’s Got Talent. Pertama-tama, saya pikir ini mungkin bohong. Masa orang Indonesia bisa dipanggil ke America’s Got Talent, kan nggak mungkin? Jadi ya cuekin saja.
VOA: Lalu apakah tim America's Got Talent, kembali mengontak Anda?
Demian: Akhirnya beberapa minggu kemudian, saya di-email lagi oleh orang yang sama. Dia nanya, “Did you received my previous email? Do you wanna join with us on America’s Got Talent?”. Terus saya bilang, oh iya kenapa nggak? Penasaran juga kan. Tapi sebelum saya jawab, saya cross check dulu, ini beneran nggak? Takutnya penipuan. Akhirnya saya research, cari data-datanya dan ternyata benar orangnya kerja di America’s Got Talent. Semenjak itu mulai serius selalu respon, sampai akhirnya kita chat via email tentang prosedurnya seperti apa. Di situlah mulai banyak pertanyaan, karena seumur hidup saya belum pernah ikut talent search.
VOA: Lalu apakah sempat ikut audisi sebelum tampil?
Demian: Setelah komunikasi cukup panjang, akhirnya saya ketemu dengan beberapa produser dari mereka dan barulah dapat titik terang bahwa saya tidak perlu ikut audisi tapi diundang langsung sebagai peserta.
VOA: Apakah alasan America’s Got Talent memilih anda?
Demian: Ini seperti mimpi... Apalagi sebagai orang Indonesia, saya tidak tahu apa alasannya terpilih untuk bisa tampil di acara ini. Menurut survei di Amerika, America’s Got Talent adalah acara televisi peringkat nomer 1 di Amerika. Jadi kenapa harus ditolak? Ini kesempatan langka, mungkin satu banding sejuta atau seribu juta.
VOA: Apakah harapan Demian sebagai peserta America’s Got Talent?
Demian: Saya punya mimpi supaya permainan saya dilihat oleh masyarakat sedunia. Kalau kita bicara Jakarta atau Indonesia, mereka mungkin sudah tau karya-karya saya tapi saya ingin karya saya dikenalnya mendunia. Dan ini jalannya di depan mata nih, saya kan tidak berusaha atau apply, ini tiba-tiba datang aja. Masa ditolak sih?
VOA: Bagaimana reaksi kru dan peserta lain, setelah mengetahui Demian dari Indonesia?
Demian: Kalau kru, kayaknya mereka sudah tau tentang saya. Mereka sudah saling koordinasi dan share informasi. Kalau saling bertanya itu di antara para peserta. Mereka saling menanyakan asal dari mana? Ada yang dari Korea, dari Kanada, ada yang Amerika. Sementara Amerika kan besar, jadi ada yang dari California, ada dari Detroit. Ternyata dibandingkan semua peserta, sebenarnya saya yang paling jauh nih, 18 jam sendiri naik pesawat. Gue datang dari belahan dunia yang lain.
VOA: Saat pertunjukkan, bagaimana perasaan Demian?
Demian: Jadi kalau dilihat dalam rekaman video (YouTube), ada momen, saat saya mukul kaca, lalu saya mundur dan saya balik badan. Nah pada saat balik badan, orang belum ada yang tepuk tangan. Terus saat saya buka topi, orang baru tepuk tangan. Sempat sih ada momen saat mukul kaca, saya dengar suara itu sunyi. Ini jelek atau apa? Reaksinya seperti apa nih? Apakah mereka tidak puas? Begitu gue balik badan, mereka juga belum ngeh (sadar) kalau itu adalah gue. Langsung mikir .. aduh, jelek nih, mereka tidak suka. Tapi begitu saya buka topi, mereka kaget, saya melihat mereka berdiri sambil tepuk tangan. Wah rasanya langsung merinding.
VOA: Kenapa merinding?
Demian: Kita tahu budaya Indonesia berbeda dengan budaya orang luar. Kalau di Indonesia, sebagus-bagusnya penampilan performer, jarang banget ada yang berani memberikan standing ovation. Sedangkan di Amerika, penghargaan mereka sebegitu besarnya terhadap karya cipta dan seni. Jadi pada saat melihat mereka semua berdiri, saya sudah langsung merinding. Gila! Ditambah lagi saya melihat ada Simon berdiri, Heidi berdiri. Lihat saja di video full (YouTube), itu gue sampai speechless. It’s overwhelming. Ini nih mimpi yang jadi kenyataan. Kayak gini nih reaksi yang gue suka.
VOA: Kenapa memilih menampilkan pertunjukan yang berbahaya di penampilan ini?
Demian: Awalnya, lewat email mereka bilang kalau mereka suka sama permainan "The Perfect Escape". Permainan ini saya lakukan di tahun 2015. Setelah obrolan yang cukup panjang, ternyata mereka lebih suka pertunjukan saya dengan melakukan hal-hal yang berbahaya. Apalagi selama 12 tahun program ini on-air, mereka belum pernah memiliki pertunjukan yang berbahaya seperti "The Perfect Escape".
VOA: Lalu permainan apa yang akan ditampilkan di babak selanjutnya?
Demian: Besok ini saya diminta lagi untuk melakukan hal yang berbau-bau "escape" tapi saya belum bisa cerita bagaimana atau permainannya seperti apa, karena saya terikat dengan perjanjian kontrak dengan mereka. Mereka bilang belum boleh bocorin dulu permainannya, tapi kalau mau bicarain pengalaman dan lain-lain boleh. Pokoknya yang belum tayang nggak boleh dibicarain.
VOA: Apa rencana Demian selanjutnya? Apakah akan berkarir di Amerika?
Demian: Kalau ada kesempatan, kenapa tidak? Apalagi apresiasi penonton di sana lebih tinggi dibanding apresiasi di sini. Contohnya, di Indonesia ada yang namanya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang membuat banyak batasan-batasan yang tidak bisa dilewati sama pekerja seni seperti saya. Kita tidak bisa melakukan suatu pertunjukan yang ekstrim karena KPI khawatir akan dicontoh oleh anak-anak. Sebenarnya ini masuk akal tapi terkadang harus bisa diedukasi dengan cara yang lain. Jadi tidak harus langsung membatasi permainannya. Akhirnya, terus terang saja kita jadi susah bergerak untuk berkarya.
VOA: Apakah bermain sulap atau magic ini, merupakan hobi Anda?
Demian: Magic is not just my hobby, magic is my life, magic is my way of life. It’s like my lifestyle.
VOA: Tips buat young generation yang ingin sukses seperti Anda?
Demian: Jangan pernah berhenti untuk menyukai apa yang kamu sukai. Saya pernah ketemu dengan beberapa teman-teman pesulap. Mereka putus asa karena merasa pekerjaan sulap susah mendapatkan job. Juga semakin tidak dihargai. Sebenarnya saya juga pernah merasakan hal yang sama tapi saya tidak pernah berhenti. Saya berusaha untuk menampilkan sesuatu yang luar biasa. Saya berusaha untuk menampilkan sesuatu yang saya cintai di depan masyarakat. Jadi jangan pernah berhenti menyukai apa yang kamu sukai. Lakukan saja karena pasti ada jalan. Mungkin tidak sekarang tapi pasti nanti akan ada.