Dewan Keamanan PBB akan memutuskan pada Senin (2/10) apakah pihaknya akan mendukung diterjunkannya sebuah pasukan internasional untuk membantu kepolisian Haiti memerangi geng-geng kriminal yang sudah mengakar, menurut agenda lembaga itu.
Selama setahun terakhir, Perdana Menteri Haiti Ariel Henry dan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres telah menyerukan kehadiran pasukan semacam itu untuk membantu mengatasi krisis keamanan yang semakin parah di negara tersebut.
Namun mengingat tantangan yang dihadapi oleh upaya pasukan penjaga perdamaian sebelumnya di Haiti dan risiko mengirim pasukan luar ke dalam situasi yang sulit saat ini, sulit menemukan negara yang bersedia memimpin upaya tersebut.
Meski demikian, akhir Juli lalu Kenya mengumumkan pihaknya siap memimpin dan menerjunkan pasukan berisi 1.000 prajurit ke negara Karibia yang miskin itu.
Amerika Serikat, yang telah bersedia memberikan dukungan logistik alih-alih prajurit, mengisyaratkan pada bulan lalu bahwa beberapa negara lain juga siap berkontribusi pada sebuah pasukan keamanan multinasional.
Negara-negara itu termasuk Jamaika, Bahama, serta Antigua dan Barbuda.
Setelah perdebatan internal selama berminggu-minggu untuk membuat amanat yang tepat, anggota DK PBB pada hari Senin akan memutuskan apakah pihaknya akan merestui misi yang tidak akan berada di bawah kendali PBB tersebut.
Di hadapan Sidang Majelis Umum PBB pertengahan September lalu, Perdana Menteri Henry kembali meminta masyarakat internasional untuk memberikan bantuan “mendesak” kepada negaranya.
Laporan kantor sekretaris jenderal PBB baru-baru ini menyatakan bahwa berbagai krisis di Haiti telah memburuk selama setahun terakhir.
Laporan itu mengatakan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh geng-geng yang menguasai sebagian besar ibu kota Haiti, Port-au-Prince, dan beberapa wilayah di sekitarnya itu menjadi semakin intens dan brutal.
Laporan itu menggambarkan bagaimana geng-geng itu menggunakan pemerkosaan sebagai senjata; penembak-penembak jitu berada di atap rumah meneror warga setempat; dan bahkan orang-orang dibakar hidup-hidup. Meski demikian, laporan itu juga menjelaskan bagaimana masyarakat Haiti mulai membentuk unit-unit pertahanan diri untuk melawan.
Laporan itu menyebut hampir 2.800 pembunuhan tercatat antara Oktober 2022 dan Juni 2023, termasuk 80 pembunuhan anak di bawah umur.
Kekerasan itu diperburuk oleh perdagangan senjata gelap, yang sebagian besarnya berasal dari AS.
China, yang memegang hak veto Dewan Keamanan, sebelumnya menyatakan skeptis terhadap misi keamanan internasional. Negara itu justru menekankan perlunya menindak aliran senjata dari Florida. [rd/jm]
Forum