Suasana di Brooklyn Free School di Clinton Avenue, Brooklyn, New York, terlihat kacau saat itu.
Murid-murid -- ada sekitar 80 orang, berusia antara 4 sampai 18 tahun -- turun naik tangga dengan ribut. Semuanya, kecuali yang termuda yang ada di ruangan bermain, memilih kegiatan mereka sendiri: membaca, menggambar, bekerja di laptop, bermain permainan video, berlatih atau membangun set untuk pertunjutan teater adaptasi dari "Hairspray."
Di sebuah kelas, sekelompok anak berusia 9 tahun belajar budaya Afrika Barat pada abad 19, dengan para penasihat mereka (guru disebut "penasihat" di Brooklyn Free School). Di dapur, beberapa remaja membuat kue yang rencananya akan dijual untuk mendapat uang untuk teater. Seorang gadis kecil menyapu sebuah ruangan kosong sendirian, sementara yang lain membawa keluar sampah yang dapat didaur ulang.
Tidak ada yang memberitahu murid-murid itu apa yang harus dilakukan hari ini atau hari berikutnya. Terinspirasi dari filsafat pendidikan demokratis pada tahun 1600an, tidak ada kurikulum wajib, nilai, pekerjaan rumah atau ujian di Brooklyn Free School. Para murid memilih apa dan bagaimana mereka ingin belajar.
"Ada anak-anak yang sangat mudah diterka, dengan hari-hari terstruktur, memiliki jadwal mingguan atau harian, dan ada murid-murid yang memiliki pendekatan yang berbeda," ujar direktur sekolah, Lily Mercogliano. “
"Untuk beberapa murid, menjadi bagian kelompok kelas secara rutin adalah apa yang paling sesuai untuk mereka, dan untuk beberapa murid, melakukan proyek-proyek individual, membaca individual, adalah yang paling sesuai untuk mereka."
Sistem Demokratis
Salah satu dari persyaratan yang sedikit adalah kehadiran pada pertemuan tata kelola demokratis mingguan di sekolah, di mana suara murid setara dengan para staf. Tidak semua memberikan perhatian, tapi mereka harus hadir.
"Kami memiliki struktur dan aturan, namun sistem demokratis ini dan filsafat di belakang pilihan para murid memungkinkan banyak fleksibilitas," ujar Mercogliano. “Murid-murid belajar bagaimana mewujudkannya."
Sekolah-sekolah demokratis ini dapat ditemukan di 33 negara, termasuk Korea Selatan, Jepang, India, Inggris, Jerman, Israel dan Brazil, menurut Organisasi Sumber Daya Pendidikan Alternatif. Lebih dari 100, atau mayoritasnya, ada di Amerika Serikat.
Ada yang skeptis apakah anak-anak dapat menguasai apa yang perlu mereka ketahui tanpa kurikulum wajib, dan para advokat mengatakan sekolah bebas ini tidak untuk semua orang. Namun mereka mengatakan ini bentuk pendidikan yang mempercayai keinginan mendasar anak-anak untuk belajar, dan memupuk pemikiran independen dan kritis yang diandalkan oleh demokrasi.
Dalam operasi selama 11 tahun, Brooklyn Free School telah meluluskan sekitar 24 murid, menurut Mercogliano, dan sebagian besar telah kuliah. Murid-murid mencalonkan diri untuk kelulusan dan menulis transkrip SMA mereka sendiri. Beberapa memilih untuk mengambil ujian-ujian negara terstandardisasi dan ujian masuk universitas.
Noah Zeines, 14, mengatakan ia telah mengambil pelajaran mitologi Yunani dan matematika pada kelas-kelas siklus musim dingin, dan akan mulai mempelajari fisika dan kimia.
"Ada jam matematika setiap hari, dimana para murid dapat melatih keterampilan individu mereka," ujar Mercogliano
“Banyak yang tertarik ilmu humaniora, jadi tahun ini kami adakan pelajaran filsafat. Sebelumnya, kami adakan kelas ekonomi, psikologi."
Tahun ini, ujarnya, para murid juga menginisiasi kelas-kelas geometri, studi Afrika dan penulisan analitis, untuk membantu mereka mendaftar universitas.
Sekolah ini lebih beragam, sekitar setengah dari murid adalah Afrika Amerika atau Latino, dan biaya sekolah lebih murah daripada sekolah-sekolah swasta di New York. Mercogliano mengatakan sepertiga murid membayar di baway US$500 per tahun dan sepertiga lainnya sekitar $10.000, sementara sisanya $22.000.
"Saya sangat tertarik dengan sejarah dan telah mempelajari banyak agama komparatif," ujar Amalia Schwarzchild, 16, yang telah bersekolah di sana sejak 2013.
"Saya bukan tipe murid yang suka tes dan kuis, jadi (belajar di sekolah yang lama) sangat sulit buat saya."
Brooklyn Free School memberinya tantangan dengan cara yang lebih baik, ujarnya.
"Saya merasa dihargai sebagai individu. Menarik karena Anda harus sangat termotivasi, mengetahui orang seperti apa Anda,namun juga harus mampu, 'OK, saya ingin melakukan ini, dan begini cara saya melakukannya'," ujarnya.