Kelompok penyandang disabilitas netra, yang mayoritas mahasiswa dan sedikit siswa SMA ini, mendirikan tenda di trotoar, Selasa (14/1/2010), setelah dipaksa pergi oleh Asrama Wyata Guna.
Barang-barang mereka dikeluarkan oleh petugas karena asrama sudah menghentikan layanan bagi mereka.
Di trotoar, mereka menggelar tikar dan sajadah sebagai alas. Barang-barang mereka ditumpuk. Sementara tenda terpal menjadi pelindung dari sinar matahari.
Salah seorang mahasiswa penyandang disabilitas, Dian Wardiana, mengatakan akan bertahan sampai pemerintah memberikan tempat tinggal.
“Kalau misalkan pihak balai nggak mengakomodir kami untuk tinggal di situ, bahkan mengeluarkan barang-barang kami secara paksa—dalam artian dikeluarkan—ya sudah kami tidur di jalan,” jelas mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) ini.
Dian mengaku telah tinggal di asrama sejak SD. Kini ketika menjadi mahasiswa tingkat 3, dia diminta pergi. Padahal, menurut Dian, ketika masuk Wyata Guna, dia dibolehkan tinggal sampai lulus kuliah.
“Itu kalau secara perjanjiannya dulu itu, SD, SMP, SMA itu 12 tahun dan kuliah itu 5 tahun. Jadi pas 17 tahun,” jelasnya dalam pertemuan dengan pihak balai, Rabu malam.
Sayangnya, tidak ada perjanjian tertulis karena semua kebijakan Wyata Guna saat itu disampaikan secara verbal.
Dari Panti Jadi Balai
Wyata Guna, yang dulu merupakan panti, kini berubah menjadi Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Sensorik Netra (BRSPDSN). Perubahan ini dilakukan melalui Peraturan Menteri Sosial no. 18 tahun 2018.
Permensos ini mengganti status sejumlah panti disabilitas di Indonesia menjadi balai. Namun regulasi berisi 112 pasal ini tidak memuat nasib penghuni panti selain terminasi.
Sebagai balai rehabilitasi sosial, Wyata Guna fokus pada pelatihan kerja penyandang disabilitas.
Sementara para penghuni panti, terutama yang sudah menamatkan jenjang SMA, diharuskan hengkang.
Wyata Guna pada 2019 menampung 175 penyandang disabilitas. Dengan berubahnya status, ada 130 orang yang diterminasi. Sebanyak 65 sudah kembali ke keluarga masing-masing, namun sisanya ingin bertahan.
Kepala Balai Wyata Guna, Sudarsono, mengatakan meminta mahasiswa pergi karena para peserta rehabilitasi sosial sudah mulai berdatangan.
Pihak balai pun mulai menata tempat sejak 9 Januari sampai berujung pada peristiwa 14 Januari.
“Yang baru sudah mulai datang untuk mendapatkan layanan. Karena kami punya kewajiban juga agar mereka dapat kesempatan,” terangnya dalam kesempatan yang sama.
Sudarsono mengatakan sosialisasi sudah dilakukan sepanjang 2019, termasuk kepada keluarga. Bahkan pihaknya membantu mahasiswa yang kembali ke keluarga.
“Tanggal 13 itu sampai misalnya butuh kendaraan dan sebagainya, silahkan, kami bantu. Sampai magrib itu nggak ada persoalan. Ada yang diantarkan ke (daerah) Setiabudi dan ke tempat lain,” jelasnya.
Negosiasi Tidak Membuahkan Hasil
Rabu malam (15/1), perwakilan mahasiswa penyandang disabilitas, pengurus Wyata Guna, Kemensos, dan DPRD Bandung pun bernegosiasi.
Dalam diskusi alot nyaris 3 jam itu, Wakil Ketua DPRD Bandung, Achmad Nugraha, meminta Wyata Guna menampung mahasiswa selama masa studi, demi kemanusiaan.
“Sekali lagi, mohon dengan sangat, selaku anggota DPRD Kota Bandung, mohon dengan sangat untuk bisa sementara ini bisa ditempatkan di dalam. Dimanusiakan lah,” ucap Achmad.
Mahasiswa disabilitas mengatakan mungkin menghentikan aksi di trotoar jika ada komitmen penyelesaian.
Namun Wyata Guna dan Kementerian Sosial enggan berubah pikiran.
Sekretaris Dirjen Rehabilitasi Sosial, Idit Supriadi Priatna, enggan mengungkapkan target penyelesaian.
“Saya nanti salah pak, kalau saya dipaksa malam ini mengeluarkan statement soal, misalkan, janji harus mengumumkan atau memutuskan tanggal sekian. Nggak bisa,” ucapnya dalam forum tersebut.
Idit akan mengumpulkan data ke beberapa pihak sampai Jumat.
“Saya kan nggak boleh mengambil keputusan hanya mengambil hanya laporan dari sepihak,”
Tanpa kesepakatan, mahasiswa penyandang disabilitas memilih bertahan di trotoar. (rt/em)