Sejak tahun 2005, pemerintah telah menetapkan bahwa obat bagi Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) diberikan secara gratis. Kebijakan ini diberlakukan karena harga obat-obat tersebut relatif mahal, dan pengobatan harus dilakukan seumur hidup. Obat-obat yang disebut sebagai antiretroviral (ARV) itu, sebagian masih diimpor dari India.
Namun, sejak sekitar dua bulan yang lalu, beberapa daerah di Jawa Tengah mengalami keterlambatan pengiriman salah satu jenis obat ARV, yaitu Lamivudine.
Ada kabupaten-kabupaten yang mampu mengatasinya dalam hitungan minggu, tetapi ada pula yang hingga saat ini belum mampu menemukan solusinya. Salah satunya adalah Kabupaten Pati, Jawa Tengah, yang kehabisan Lamivudine sejak pertengahan Maret 2016.
Ari Subekti, koordinator lembaga pendampingan ODHA Rumah Matahari di Pati, mengatakan, pihaknya sudah menyampaikan protes ke berbagai pihak mengenai hal ini, tetapi tidak ada perkembangan berarti.
Rumah Matahari melayani setidaknya 60 ODHA yang mengkonsumsi dosis tunggal Lamivudine yang tidak tersedia stoknya saat ini. Ari mengatakan, dampak ketiadaan obat bagi ODHA bisa sangat fatal.
“Pemerintah tidak begitu serius dalam penanggulangan HIV/AIDS ini. Artinya begini, kalau pemerintah serius paling tidak kan ada cadangan dana taktis yang bisa digunakan ketika terjadi keadaan darurat. Yang penting teman-teman jangan sampai putus obat, karena risikonya cukup tinggi," ujarnya.
Ari juga mengatakan, setiap ODHA membutuhkan kombinasi obat yang berbeda, namun kombinasi ini tidak dapat diubah karena dapat menimbulkan resistensi obat.
Karena itu, berbagai jalan mereka lakukan untuk tetap memperoleh obat jenis Lamivudine. Diantaranya adalah bergotong-royong membelinya dari daerah manapun yang tersedia. Tetapi cara ini tidak bertahan lama karena harga obat yang tidak murah.
“Strategi yang kami lakukan, teman-teman yang secara ekonomi cukup mampu, mereka beli. Kemudian kami bagi-bagikan kepada teman-teman lain yang kurang mampu. Tetapi karena harganya cukup mahal, paling hal itu hanya bisa kami lakukan dalam satu dua minggu," ujarnya.
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah mencatat jumlah target ODHA yang telah diperhitungkan adalah sekitar 47 ribu orang. Namun, dari jumlah itu hanya 14 ribu orang yang namanya tercatat dalam data resmi dan menerima obat ARV dari pemerintah.
Inilah yang disebut sebagai fenomena gunung es, di mana mayoritas ODHA tidak tahu bahwa mereka menderita HIV/AIDS, atau tahu tetapi tidak melaporkan diri karena malu.
Pejabat dari Dinas Kesehatan Jawa Tengah, Wahyu Setianingsih kepada VOA mengakui, kekurangan obat jenis Lamivudine memang terjadi. Namun kondisi di setiap kabupaten berbeda, tergantung pada banyak faktor.
Mayoritas ODHA tidak dapat mengakses obat-obatan ini secara mandiri karena mahal. Satu ODHA dalam satu bulan setidaknya membutuhkan Rp 8 juta untuk memenuhi kebutuhan obatnya. Anggaran pembelian obat juga terus meningkat, karena bertambahnya jumlah ODHA dan jenis obat yang semakin bervariasi.
“Baru beberapa hari yang lalu kami memperoleh dropping dari Kementerian Kesehatan. Jadi mudah-mudahan ini sudah terdistribusi ke seluruh layanan," ujarnya.
"Keterlambatan dropping dari pusat ini memang merata, tetapi tergantung juga stok dari kabupaten masing-masing dan juga tergantung jumlah pasiennya. Kita sedang membangun sistem yang lebih baik dengan jumlah obat yang semakin banyak jenisnya, sedang ditata karena itulah ada beberapa hambatan yang harus diatasi.”
Sejak program pemberian obat gratis oleh pemerintah dilakukan, beberapa kali kelangkaan terjadi. Daerah yang pernah mengalaminya antara lain adalah Maluku, Nusa Tenggara Timur dan Jawa Timur.
Program obat gratis ini terbukti mampu menurunkan angka kematian ODHA, dari 11 persen pada 2006 menjadi 0,4 persen pada 2014.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan daftar 12 obat ARV, yatu Abacavir (ABC), Didanosin (ddI), Lamivudine (3TC), Stavudine (d4T), Zidovudine (ZDV atau AZT), Efavirenz (EGV atau EFZ), Nevirapine (NVP), Indinavir (IDV), Nelfinavir (NFV), Ritonavir, Saquinavir (SQV), Lopinavir/low-dose Ritonavir (LPV/r).