Ada banyak hal tentang Dita Oepriarto yang terkuak. Sejumlah kawan sekolah berbagi kisah masa lalunya lewat media sosial. Tetangga dari berbagai tempat mengenang kembali sosok laki-laki yang pernah menjadi Ketua RT di kampungnya itu. Kampus tempatnya berkuliah, meski tak sampai lulus, juga turut memberikan klarifikasi. Namun, tetap ada hal-hal yang tak akan ditemukan jawabannya. Misalnya, soal alasan dia melakukan pengeboman itu.
“Kenapa sih, melakukan itu. Kalau alasannya mau mencari surga, lha kok pakai bunuh diri dan mengajak anak-anaknya lagi,” kata Nur Wulan, akademisi Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga Surabaya, dalam perbincangan di sebuah warung kopi.
Pertanyaan besar juga menggelayut di benak pegiat kopi Surabaya, Widi Kamidi. Profil Dita Oepriarto yang terbuka, membaur dengan masyarakat, berbisnis dengan kalangan luas, berbeda dengan gambaran anggota kelompok radikal yang selama ini kerap muncul di pemberitaan. “Dita ini punya bisnis percetakan. Hidupnya juga relatif mapan lah,” ujar Widi.
Namun, bukan hanya mereka yang tak mengenal Dita dengan baik, yang bertanya-tanya tentang keputusannya menjadi bomber. Wery Tri Kusuma, tetangga sebelah rumah Dita di komplek Perumahan Wisma Asri, Wanareja, Surabaya bahkan lebih penasaran lagi. Rumah Wery berbagi dinding dengan rumah Dita. Keduanya sering berbicara, bahkan pada Sabtu pagi, sehari sebelum peledakan bom, Wery masih sempat menyapa Dita di depan rumah.
Hari Minggu pagi, sesaat sebelum Wery pergi, dia masih melihat mobil Dita terparkir di depan rumah. Mobil itu pula yang dipakai mengangkut bom dan kemudian meledak hebat di Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS).
“Waktu pulang, saya lihat mobilnya sudah tidak ada. Saya kira mereka pergi liburan, karena memang hampir tiap pekan Pak Dita dan keluarga pergi,” ujar Wery.
Wery menggambarkan Dita sebagai laki-laki berambut gondrong sebahu. Dita sangat sopan, mendidik anak-anaknya dengan baik, dan menularkan kesopanan itu kepada mereka. Dita dikenal tetangga memiliki usaha pembuatan minyak almond dan zaitun. Usaha itu memiliki tempat produksi yang terpisah dengan rumah.
Jika disebut sebagai pertanda, setidaknya ada tiga hal berbeda yang sengaja dilakukan Dita dan keluarga sebelum melakukan aksi. Istri Dita, Puji Kuswati tiba-tiba membayar seluruh uang arisan selama setahun ke depan kepada pengurus arisan ibu-ibu setempat. Puji juga berpesan ke istri Wery, jika nanti menginginkan buah belimbing yang tumbuh di halaman rumahnya, maka tak perlu meminta ijin lagi. Lalu, kata Wery, pada sholat subuh hari Minggu atau sekitar 3 jam sebelum beraksi, anak Dita sempat menangis di mushola seusai ibadah bersama. Dita kemudian memeluk dan menenangkan anaknya itu di depan para tetangga.
“Saya masih terbayang anaknya yang kecil, karena sering main ke rumah sama anak saya. Tidak membayangkan kok bisa jadi begini,” kata Wery dengan bibir bergetar.
Sekitar pukul 09.00 pagi seusai bom meledak, beberapa polisi berpakaian sipil mendatangi rumah Dita. Wery bertemu mereka yang menanyakan beberapa hal, namun tidak curiga sama sekali bahwa tetangga sebelah rumah itu pelaku pengeboman. Barulah pukul 12.00 siang, ketika polisi dan gegana datang, dan tetangga kanan-kiri rumah Dita dievakuasi, semua menjadi jelas. Apalagi, sejumlah bom sempat diledakkan polisi di rumah Dita.
“Dari awal kita sempat kagum sama beliau, bagaimana cara beliau mendidik anak. Karena tutur bahasa ke anak itu halus, menegus anak nggak pernah keras, anaknya nurut, ibadahnya tidak pernah terlambat. Tetapi setelah kejadian ini ya, saya sedikit kecewa. Mungkin beliau hanya belajar dari satu sisi, saya yakin Nabi Muhammad tidak mengajarkan begini,” tandas Wery.
Fakta bahwa Dita dan keluarga sering mengikuti pertemuan bersama kelompoknya, terkonfirmasi oleh cerita Wery. Menurutnya, Dita sangat sering pergi di Sabtu pagi dan baru pulang Minggu sore. Polisi menyatakan, Dita dan keluarganya mengikuti kajian bersama gurunya, Abu Bakar yang saat ini masih diburu.
Saimin, petugas keamanan di kompleks perumahan itu juga mengakui Dita sebagai laki-laki ramah. Kadang dia datang ke pos tempat Saimin bekerja untuk memberikan uang sekadarnya. Saimin mengaku tidak pernah melihat hal-hal mencurigakan sejak Dita pindah ke rumah, yang dibeli sekitar tahun 2011 itu.
“Istrinya itu nggak pakai cadar. Pakai kerudung biasa saja. Kalau Pak Dita biasa mampir sini, sebentar terus pulang. Di rumahnya selama ini juga nggak ada aktivitas macam-macam, nggak ada kumpulan orang banyak. Biasa saja,” ujar Saimin.
Baca juga: Bomber Surabaya: Sel Tidur Yang Aktif Karena Pemicu
Akademisi Universitas Airlangga, Prof. Kacung Marijan menilai seorang teroris bisa dibentuk oleh guru agama maupun lingkungan sekitarnya. Tidak mengherankan apabila kemudian Dita, dengan kehidupan yang normal, tiba-tiba saja menjadi kepala berita secara internasional karena aksinya itu. Kacung mengatakan, proses indoktrinasi tidak bisa dilakukan dengan cepat. Perekrut teroris yang pintar memahami betul figure semacam apa yang bisa menjadi pengikutnya dan akan setia. Biasanya, kondisi ketidakadilan dalam skala global dan nasional, dijadikan fakta penguat doktrin sehingga orang-orang seperti Dita yakin betul, bahwa apa yang dia lakukan benar.
“Konteks ekonomi, konteks situasi sosial itu sangat berpengaruh. Mereka ini orang-orang yang melihat situasi sosial politik tidak adil, yang paling mudah dipakai adalah situasi global. Misalnya orang Islam yang diperlakukan tidak adil. Kemudian dikaitkan dengan konteks dalam negeri,” ujar Kacung Marijan.
Faktor pribadi juga sangat berpengaruh sehingga seseorang kemudian menjadi begitu setia kepada ajaran guru radikalnya. Kacung Marijan mencatat, selama ini sangat jarang sekali teroris di Indonesia yang merupakan bekas aktivis ketika muda, misalnya sebagai ketua senat mahasiswa dan sejenisnya. Para teroris justru datang dari kelompok masyarakat yang prestasi akademiknya biasa saja dan cenderung kurang bagus.
“Buktinya apa? Ketika kuliah pelaku ini juga biasa saja. Masuk D3 Manajemen Pemasaran. Kalau di Universitas Airlangga tahun 90-an masuk D3, itu artinya sudah sisa-sisa, pasti masuk S1 tidak diterima sehingga kemudian masuk D3. Di sinipun prestasinya biasa, IPK nya Cuma 1,4. Ada juga yang masuk ITS, tapi 8 tahun baru lulus,” tambah Kacung.
Meski banyak pertanyaan masih menggelayut, tetapi ada yang sudah jelas terjadi, warga Surabaya tak mau takut. Teror itu menguatkan mereka, sehingga dalam banyak obrolan dengan warga kota, tidak nampak trauma pada mereka.
"Orang Surabaya dengan budaya yang melingkupinya bereaksi positif. Apa yang terjadi dalam beberapa hari terakhir itu menguatkan warganya, dan tidak akan melemahkan. Orang cukup mengumpat saja, untuk menyalurkan kemarahan sekaligus menghapus ketakutan," ujar Widi Kamidi, yang juga Presiden Pasukan Berani Ngopi, Surabaya. [ns/em]