Kasubag Humas Dinas Pendidikan DKI Jakarta Taga Radja Gah mengungkapkan pelaksanaan PTM pada Senin (30/8) kemarin berjalan dengan lancar. Sebanyak 610 sekolah dengan jumlah 36.228 siswa dari PAUD, TK, Sekolah Luar Biasa (SLB), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) mengikuti PTM secara terbatas dengan kapasitas maksimal 50 persen per kelas dengan waktu sampai dengan empat jam per hari.
Ia menjelaskan, pelaksanaan PTM tersebut memang berlangsung secara bertahapdanseluruh sekolah di ibu kota sudah bisa menggelar PTM terbatas paling lambat Desember 2021.
“610 sekolah langsungkan PTM, yang lainnya mengikuti proses assesment, pelatihan lalu nanti kan ada penambahan jumlah sekolah. Misalnya target kita ya mudah-mudahan tercapai itu pertengahan September bisa 1.500 sekolah, itu bergerak dan berangsur-angsur sampai dengan mencapai angka 8.900 sampai Desember paling lambat. Tapi dengan catatan pandeminya turun atau menyesuaikan dengan kondisi pandemi COVID-19,” ungkap Taga kepada VOA, Selasa (31/8).
Taga menjelaskan masih banyaknya sekolah yang belum menggelar PTM disebabkan oleh beberapa hal, termasuk dukungan dan persetujuan dari orang tua murid untuk mengirim anak kesekolah dan kesiapan tenaga pendidik untuk melangsungakan pembelajaran campuran (blended learning) antara PTM dan pembelajaran daring mengingat kapasitas kelas yang terbatas.
“Belum semua sekolah siap PTM karena misalnya dari pengisian assesment-nya ketika mengisi itu ada empat hasil, pertama siap belajar, kedua siap belajar dengan persyaratan, ketiga tidak siap belajar, keempat belum mengisi assesment. Bisa terjadi yang belum masuk kategori ini adalah secara kelengkapan pengisian assesment tidak lengkap," jelasnya.
"Atau ketika pelatihan itu tidak utuh melaksanakannya karena pelatihan itu benar-benar dipersyaratkan untuk pembukaan PTM, karena disini diajarkan bagaimana guru mengajar dengan pendekatan dua hal yang berbeda yaitu pendekatan tatap muka, dan daring. Sehingga perlu dibekali teknik dasar dan strateginya. Kalau tidak utuh mengikuti pelatihannya ya tidak diberikan kewenangan untuk PTM,” lanjut Taga.
Taga mengklaim dari sisi sarana dan pra sarana sebenarnya seluruh sekolah di DKI sudah siap untuk melakukan sekolah tatap muka. Selain itu 85 persen guru sudah divaksinasi COVID-19. Ia juga menekankan guru yang sedang hamil dan memiliki komorbid tidak akan diperbolehkan untuk mengajar tatap muka. Lalu, sebanyak 94,86 persen atau 742.536 pelajar berusia 12-17 tahun sudah divaksinasi COVID-19 dosis pertama.
Ia pun mengakui sistem blended learning tersebut belum bisa dikatakan efektif karena masih terbatasnya waktu PTM. Namun,ujar Taga, setidaknya PTM menawarkan sistem pembelajaran yang lebih bervariasi.
“Kalau bicara efektif ya jelas kan namanya terbatas, semua serba terbatas belum normal. Jadi kalau bicara efektivitas pembelajaran pasti jauh daripada efektif, tetapi paling tidak ada kesempatan yang diberikan dari Dinas Pendidikan atau sekolah kepada para siswa untuk bagaimana merasakan pembelajaran di sekolah,” tuturnya.
Masing-masing sekolah pun, katanya, sudah membentuk satuan tugas (satgas) COVID untuk memastikan protokol kesehatan saat pelaksaan PTM dilakukan dengan disiplin.
Vaksinasi COVID-19 Harus Jadi Syarat Wajib PTM
Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi cukup senang dengan dimulainya PTM secara bertahap di DKI Jakarta. Ia mengungkapkan,selama masa pandemi yang berjalan hampirdua tahun, baik dari pihak guru maupun siswa masih belum menemukan cara terbaik dan efektif dalam proses pembelajaran secara daring.
Meski begitu, ia masih mempertanyakan mengapa syarat vaksinasi COVID-19 tidak lagi diwajibkan bagi tenaga pendidik dan siswa oleh Kemendikbud Ristek. Padahal rasa aman ketika melakukan PTM salah satunya bisa diperoleh apabila seluruh pihak sudah mendapat vaksin COVID-19.
“Jadi para guru sesungguhnya mereka itu sangat siap, asal divaksin, karena kita berharap guru dan siswa divaksin menjadi syarat PTM karena asalnya menjadi syarat tapi diturunkan oleh Kementerian. Bagaimana kita pembelajaran itu akan safe kalau mereka tidak divaksin? Karena naturally guru itu, seperti orang tua kepada anaknya, meskipun dalam protokol kesehatan kalau ada siswa tampak bermasalah kan guru otomatis ingin mendekati dan memberikan bantuan karena itulah kekuatan dari pembelajaran tatap muka,” ungka Unifah kepada VOA.
Terkait sistem blended learning, ia menilai bahwa hal tersebut merupakan adaptasi menuju kenormalan baru di era pandemi COVID-19. Pasalnya, ia dan banyak pihak lainnya memprediksi bahwa wabah corona akan bertahan lebih lama dari yang diperkirakan sebelumnya,
“Jadi pemerintah, sekolah, masyarakat, orang tua harus siap dengan adaptasi baru ini. Adaptasi baru itu harus dibarengi dengan re-organisasi, jadi misalnya harus dibuat kurikulum yang cocok itu bagaimana? Penilaiannya kaya gimana kalau blended itu?,” jelasnya.
Tanggapan Orang Tua Murid
Juru Bicara Forum Orang Tua Murid Dewi Julia mengungkapkan masih ada sebagian orang tua yang dilanda kekhawatiran dengan dimulainya PTM tersebut. Pasalnya, pelaksanaan sekolah tatap muka ini dilakukan ketika siswa yang berusia 12-17 tahun masih belum menerima dosis lengkap vaksin COVID-19.
Para orang tua, terutama yang memiliki anak di bangku sekolah dasar (SD), juga masih khawatir karena banyak anak yang belum diizinkan mendapatkan vaksin.
“Terus terang yang kami sayangkan adalah kenapa tidak menunggu vaksin untuk anak-anak sudah lengkap? Terutama untuk anak-anak yang berusia 12 tahun ke atas, terus kenapa sih anak-anak SD ikut dibuka? Kenapa gak SMP dan SMA dulu saja yang sudah vaksin. Setelah itu baru nanti di ambil pelajaran dan pengalamannya dari SMA dan SMP seperti apa, setelah itu baru pelan-pelan SD-nya masuk, itu sih yang kita mikirnya kok SD serentak masuk juga,” ungkapnya kepada VOA. [gi/ab]