Sehari menjelang pemilihan presiden, petahana Presiden Donald Trump dan penantangnya dari Partai Demokrat Joe Biden, melakukan kampanye terakhir untuk meyakinkan para pemilih mengapa mereka merupakan pilihan yang tepat untuk empat tahun ke depan.
Hal yang masih belum diketahui adalah jumlah pemilih. Apakah para pemilih tidak akan datang langsung ke tempat pemungutan suara (TPS) karena khawatir akan Covid-19?. Penyakit yang disebabkan virus corona itu telah menewaskan lebih dari 230 ribu orang di AS. Menurut US Election Project, lebih dari 93 juta orang telah memilih atau sekitar 67 persen dari seluruh jumlah pemilih pada 2016.
Kedua tim kampanye sama-sama mengklaim kemungkinan menjadi pemenang.
Penasihat senior tim kampanye Trump, Jason Miller, mengatakan Trump memperluas jangkauan basis dukungan, khususnya pada pemilih kulit hitam dan Amerika Latin serta negara-negara bagian yang sebelumnya dikenal sebagai benteng Partai Demokrat.
“Seluruh tatanan pemilih ini telah bergeser. Kali ini koalisinya akan berbeda. Fakta bahwa Joe Biden harus ke Minnesota, negara bagian yang tidak pernah dimenangkan oleh Partai Republik sejak 1972, menunjukkan betapa khawatirnya mereka tentang pergeseran dukungan negara-negara bagian ini," ujar Miller.
Partai Demokrat mengatakan peta jalan menuju kemenangan kini berubah, dan negara-negara bagian yang pada masa lalu condong ke Partai Republik kini bergeser dan diperebutkan oleh Partai Demokrat sampai saat-saat terakhir. Biden dan pasangannya, Senator Kamala Harris, baru-baru ini telah berkampanye di Texas, Georgia, dan Iowa. Ketiganya adalah negara-negara bagian yang mendukung Trump pada 2016.
Penasihat senior tim kampanye Biden, Anita Dunn, mengatakan jumlah pemilih akan memecahkan rekor karena banyak orang termotivasi untuk melihat perubahan.
“Namun, jika kita melihat antusiasme yang sangat besar dalam pemilihan awal atau early voting, maka ada jumlah suara awal yang memecahkan rekor. Kita baru akan tahu pada hari pilpres bahwa besarnya jumlah orang yang memberikan suara ini karena mereka menginginkan perubahan," ujar Dunn.
Belum jelas seberapa cepat hasil pemilu akan diketahui setelah hari pilpres, jadi para pemilih tampaknya harus menunggu untuk tahu hasil pemilu yang berkesan ini.
Dalam perkembangan lainnya Presiden Trump dan tim kampanyenya mengisyaratkan mereka akan melakukan strategi hukum yang agresif untuk mencegah Pennsylvania menghitung suara lewat pos, yang diterima tiga hari setelah pilpres. Hal ini akan dilanjutkan hingga ke Mahkamah Agung, seandainya kartu-kartu suara itu bisa mengubah hasilnya di negara bagian yang diperebutkan ini.
Perpanjangan tiga hari itu diperintahkan oleh pengadilan tertinggi di Pennsylvania. Mahkamah Agung menolak memblokir keputusan itu, tetapi beberapa hakim konservatif mengisyaratkan mereka akan meninjau kembali masalah ini setelah pilpres.
Sekitar 20 negara bagian mengizinkan surat suara yang datang terlambat, tetapi badan legislatif di Pennsylvania yang dikontrol Partai Republik tidak mengizinkan perpanjangan, meskipun terjadi lonjakan jumlah surat suara yang dikirimkan lewat pos karena pandemi virus corona. Perpanjangan batas waktu penerimaan dan penghitungan kartu suara serupa telah memicu sengketa hukum di pengadilan di Minnesota dan North Carolina.
Mahkamah Agung biasanya tidak mau mempertimbangkan kembali keputusan pengadilan negara bagian kalau itu sudah didasarkan pada konstitusi negara bagian mereka sendiri. Namun, Partai Demokrat khawatir dengan acuan Hakim Brett Kavanaugh pada keputusan Mahkamah Agung atas kasus George Walker Bush melawan Al Gore pada 2000. Ketika itu, Mahkamah Agung memutuskan bahwa pemenang pilpres ketika itu adalah George Walker Bush.
Meskipun putusan itu bukan didasarkan pada pendapat mayoritas dalam kasus tersebut, sebuah opini yang didukung oleh tiga hakim konservatif pada 2000 berpihak pada Bush karena Mahkamah Agung Florida merebut otoritas legislatif. [em/ft]