Presiden Joko Widodo menegaskan pemerintah akan mempensiunkan dini sejumlah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Tanah Air sebagai komitmen untuk mendorong penggunaan energi yang lebih ramah lingkungan pun dipertanyakan dunia.
“Di Jawa dan Sumatera, kita mendorong early retirement PLTU ke energi baru terbarukan, seperti geothermal dan solar panel. Dan kita akan membuka partisipasi di sektor swasta untuk berinvestasi di transisi energi ini. Saat ini 5,5 Giga Watt PLTU yang siap untuk program early retirement ini,” ungkap Jokowi dalam acara B20 Inception Meeting di Jakarta, Kamis (27/1).
Ia menjelaskan kebijakan semacam ini selain tentunya berdampak baik bagi lingkungan juga bisa memberikan kepastian investasi bagi para investor yang ingin menanamkan modalnya dalam sektor ini.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada November mengatakan pihaknya memperkirakan akan ada 9,2 Giga Watt (GW) PLTU yang dapat dipensiunkan lebih awal sebelum 2030. Menurut Menteri ESDM Arifin Tasrif, terdapat 5,5 GW PLTU yang disetop tanpa adanya penggantian dari pembangkit listrik EBT. Dan penghentian PLTU itu akan mengurangi emisi karbon sebesar 36 juta ton karbon dioksida.(CO2).
Sementara sisanya 3,7 GW akan pensiun dini dan diganti dengan pembangkit listrik EBT. Angka ini akan berkontribusi pada pengurangan emisi total sebesar 53 juta ton CO2 dengan total investasi yang dibutuhkan adalah $22 miliar.
Dekarbonisasi Sektor Transportasi
Pada kesempatan yang sama Jokowi menegaskan, pemerintah juga akan melakukan dekarbonisasi di sektor transportasi. Menurutnya, elektrifikasi secara besar-besaran di bidang ini sudah dimulai pemerintah dengan pembangunan mass urban transport, seperti MRT dan LRT. Pihaknya juga akan mendorong investasi untuk melakukan upgrade mobil listrik. Jokowi pun mengharapkan kontribusi dari B20 untuk mengakselerasi transformasi energi yang mulus, tanpa menimbulkan dampak negatif terhadap rakyat kecil.
“Solusi global dalam hal pendanaan dan kemitraan merupakan agenda yang harus menjadi perhatian utama kita termasuk alih teknologi untuk mendorong produksi berbasis ekonomi hijau. Kita mengundang investasi yang bisa mendorong nilai tambah yang saling menguntungkan,” tuturnya.
Moratorium Pembangunan PLTU Baru
Peneliti Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Adila Isfandiari sangat mendukung langkah pemerintah untuk melakukan pensiun dini PLTU. Bahkan menurut Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), ujar Dila, dikatakan bahwa seharusnya negara-negara sudah harus menutup 80 persen dari PLTU yang sudah pada 2030 untuk bisa mencapai target Paris Agreement dan nol emisi di 2050.
Namun, sayangnya di dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) Kementerian ESDM disebutkan bahwa Indonesia masih berencana untuk membangun PLTU dengan kapasitas 13,8 Giga Watt di 2021-2030 mendatang.
Menurut Kementerian ESDM, pemerintah berencana untuk tidak membangun PLTU baru setelah tahun 2030 kecuali proyek tersebut telah dikontrak atau sedang dibangun.
“Dan tentunya, dengan pembangunan PLTU baru yang kapasitasnya besar dan masa operasinya lebih dari 30 tahun, pastinya akan semakin mempersempit space untuk Energi Terbarukan untuk berkembang di Indonesia, dan kita pun akan terjebak dengan emisi karbonnya yang tinggi selama masa operasi tersebut,” ungkap Dila lewat pesan singkatnya kepada VOA.
Dengan masih banyaknya PLTU yang beroperasi, lanjutnya, meskipun pemerintah tidak akan membangun PLTU baru di tahun 2021-2030 bauran energi terbarukan di 2030 mendatang hanya akan mencapai 27 persen.
“Masih jauh dari rekomendasi IPCC, yaitu 50 persen energi terbarukan di 2030. Artinya kita belum on track untuk mencapai target Paris Agreement, apalagi kalau masih mau membangun PLTU baru,” tambahnya.
Menurutnya, jika pemerintah serius mendorong transisi penggunaan EBT tersebut, maka seharusnya pemerintah bisa melakukan moratorium pembangunan PLTU baru. Apalagi, rencana pembangunan PLTU baru yang berkapasitas 13,8 GW tersebut 90 persen akan dibangun di Jawa dan Sumatera, dimana kedua provinsi tersebut sudah kelebihan atau over capacity listrik.
“Di Jawa mencapai (over capacity) 45 persen, Sumatera 55 persen. Sehingga, jika masih ingin dibangun, Energi Terbarukan tidak akan bisa masuk dan berkembang,” pungkasnya. [gi/ah]