Menindaklanjuti perjanjian ekstradisi buronan yang ditandatangani pemerintah Indonesia dan Singapura pada 25 Januari lalu di Bintan, Kepulauan Riau, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan pengesahan perjanjian itu masih perlu ditindaklanjuti dengan undang-undang.
Dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR, hari Senin (5/12), Yasonna kembali menegaskan pentingnya perjanjian itu mengingat Singapura, yang letaknya berbatasan langsung dengan wilayah Indonesia, kerap menjadi tujuan akhir atau transit pelaku kejahatan dari Indonesia. Terlebih karena kedua negara memberlakukan kebijakan bebas visa bagi warga negara masing-masing yang ingin berkunjung.
Menurut Yasonna, kerjasama ekstradisi buronan merupakan upaya menyerahkan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan tindak pidana di luar wilayah negara yang menyerahkan dan di dalam yurisdiksi negara yang meminta penyerahan tersebut dengan tujuan untuk mengadili yang bersangkutan.
"Hal tersebut menyebabkan Singapura kerap menjadi tujuan akhir atau tujuan transit pelaku kejahatan. Adanya kerjasama ekstradisi dengan Singapura, akan memudahkan aparat penegak hukum dalam menyelesaikan perkara pidana yang pelakunya berada di Singapura," kata Yasonna.
Dalam RUU Pengesahan Perjanjian antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Singapura tentang Ekstradisi Buronan akan diatur ekstradisi terhadap buronan, tersangka dan terdakwa dalam proses pengadilan maupun yang telah melaksanakan hukuman suatu tindak pidana.
Menurutnya perjanjian tentang ekstradisi itu mengatur tentang sejumlah hal seperti kesepakatan para pihak untuk melakukan estradisi, tindak pidana yang dapat diekstradisi, dasar ekstradisi, permintaan dan dokumen pendukung serta pengaturan penyerahan.
Jenis-jenis tindak pidana yang pelakunya dapat diekstradisi menurut Perjanjian Ekstradisi ini mencakup 31 jenis, antara lain pelaku tindak pidana korupsi, pencucian uang, suap, perbankan, terorisme narkotika dan pembunuhan serta pendanaan kegiatan yang terkait dengan terorisme.
Menkumham menyebutkan perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura ini memiliki masa retroaktif yang berlaku surut terhitung tanggal diundangkannya atau selama 18 tahun ke belakang.
Apresiasi Tercapainya Perjanjian Ekstradisi Buronan
Dalam pandangan fraksinya, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) M. Nurdin, mengapresiasi penandatanganan perjanjian ekstradisi buronan dengan Singapura.
"Melalui perjanjian ekstradisi ini, kami berharap akan menciptakan efek jera bagi pelaku tindak pidana di Indonesia yang pernah atau diduga masih berada di Singapura," ujar Nurdin.
Perjanjian ini diharapkan dapat menjadi instrumen hukum yang memudahkan dan efektif sehingga dapat memberikan keadilan sosial dan ketertiban hukum.
Hal senada disampaikan Supriansah dari Fraksi Partai Golongan Karya, yang bahkan mendorong ratifikasi perjanjian itu lewat undang-undang sehingga dapat segera berlaku dalam wilayah yurisdiksi Indonesia. Fraksi Partai Golkar, ujarnya, setuju untuk membawa RUU tentang Pengesahan Perjanjian antara Pemerintah Indonesia dan Singapura Mengenai Ekstradisi Buronan ke rapat paripurna guna disahkan.
Pengamat : Perjanjian Ekstradisi Buronan Berdampak Positif Bagi Indonesia
Rektor Universitas Jenderal Ahmad yani Hikmahanto Juwana menjelaskan dirinya bersyukur karena RUU Pengesahan Perjanjian antara Pemerintah Indonesia dan Singapura Mengenai Ekstradisi Buronan akan segera disahkan oleh rapat paripurna DPR.
"Ini positif buat Indonesia karena kita tahu banyak pelaku kejahatan kerah putih, termasuk korupsi, yang kerap pergi ke Singapura untuk mencari perlindungan. Dengan adanya perjanjian ekstradisi ini, tentu kalau kita nantinya akan mengejar seseorang, maka adalah kewajiban dari Singapura untuk menyerahkan orang tersebut," tutur Hikmahanto.
Dia menambahkan belakangan ini atau 5-10 tahun terakhir, meski tidak ada perjanjian ekstradisi tapi ada kesepakatan antara pihak berwenang kedua negara sehingga Indonesia dapat meminta kepada Singapura untuk menyerahkan pelaku kejahatan kerah putih.
Perjanjian ekstradisi dengan Singapura ini sebenarnya sudah pernah diteken pada 2007 namun belum berhasil diwujudkan karena ketika itu Singapura meminta perjanjian ekstradisi ditandemkan dengan perjanjian kerjasama pertahanan.
DPR waktu itu tidak meratifikasi perjanjian tersebut karena menilai tidak pantas buron ditukar dengan kedaulatan, papar Hikmahanto lebih lanjut.
Oleh karena itu perjanjian ekstradisi diulang kembali penandatanganannya 25 Januari 2022 dengan masa retroaktif yang berbeda. Kalau dulu 15 tahun supaya dapat menjangkau buronan-buronan kasus bantuan likuiditas bank Indonesia (BLBI), perjanjian yang sekarang ini berlaku 18 tahun ke belakang, tetapi tetap tidak dapat menjangkau buronan-buronan BLBI. [fw/em]
Forum