Sejumlah pegiat anti korupsi menyambut baik ditandatanganinya perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan Singapura. Selain membantu menangkap koruptor, perjanjian tersebut diharapkan bisa mendorong perampasan aset (asset recovery) koruptor oleh negara yang selama ini dinilai belum maksimal.
Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri (PM) Singapura Lee Hsie Loong sepakat menandatangani perjanjian ekstradisi di Bintan kepulauan Riau, baru-baru ini.
“Untuk perjanjian ekstradisi dalam perjanjian yang baru ini, masa retro aktif diperpanjang dari semula 15 tahun menjadi 18 tahun sesuai dengan pasal 78 KUHP,” ungkap Jokowi, Selasa (25/1).
Diwawancara terpisah Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter Kaban mengapresiasi adanya perjanjian bilateral antar kedua negara yang sudah sejak lama diinisiasi itu, mengingat ada banyak tersangka dan terdakwa kasus korupsi yang melarikan diri ke negeri singa tersebut.
“Ada Syamsul dan Ike Nursalim meskipun di April 2020 kemarin KPK sudah keluarkan SP3 tapi sebelumnya ketika masih dalam proses itu kan mereka diketahui tinggal di Singapura dan punya aset maupun properti di negara itu. Begitu juga dengan Djoko Chandra sebelum akhirnya ditangkap otoritas Indonesia dia juga diketahui bolak-balik Singapura, Malaysia, Indonesia. atau misalnya Sudjono Timan yang juga diketahui pernah tinggal di Singapura dalam pelariannya dan juga yang terakhir Samintan,” ungkap Lola kepada VOA.
Meski begitu, ia menggarisbawahi bahwa tantangan berat KPK selanjutnya adalah terkait pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi kepada negara yang dinilai belum maksimal. Menurutnya, perjanjian ekstradisi tersebut lebih menitikberatkan kepada subjek hukumnya yakni para koruptor untuk kemudian ditangkap dan dikembalikan ke Indonesia untuk bisa diadili.
Bukan tidak mungkin, katanya, beberapa aset atau harta hasil korupsi disimpan di lembaga keuangan di negara lain. Maka dari itu, diperlukan kerja sama yang mumpuni antar negara, otoritas hukum dan lembaga keuangan mengingat akan ada proses birokrasi yang panjang.
Lola mencontohkan, beberapa tahun lalu terdakwa kasus korupsi proyek pengadaan simulator SIM Irjen Pol Djoko Susilo yang asetnya sempat disita oleh KPK. Namun di tingkat perdata KPK justru kalah dan harus mengembalikan aset yang disita kepada Djoko Susilo.
“Hal-hal seperti itu juga harus diantisipasi karena UU Tipikor memang memungkinkan hal tersebut tapi kita juga tidak boleh abai bahwa hal itu bisa dijadikan celah bagi terdakwa maupun terpidana kasus korupsi untuk mempertahankan aset mereka, karena satu hal yang paling ditakuti menurut saya oleh koruptor kan mereka jadi miskin,” jelasnya.
Ia juga menilai bahwa perjanjian esktradisi tersebut tidak akan berkontribusi banyak dalam menekan angka korupsi di tanah air. Lola menegaskan bahwa KPK harus fokus dalam upaya mengembalikan kerugian yang dialami oleh negara akibat tindak pidana korupsi tersebut.
“Ada masalah mendasar misal soal perampasan aset yang belum maksimal dilakukan jadi selesaikan dulu saja bagian itu dibandingkan kita memberikan apresiasi berlebih kepada sesuatu yang sebetulnya mungkin tidak berkontribusi sebanyak itu juga,” tuturnya.
Efek Gentar Koruptor?
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly mengatakan penandatangan perjanjian tersebut merupakan sebuah sejarah karena telah diupayakan oleh pemerintah Indonesia sejak 1998.
Yasonna menjelaskan, berdasarkan perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura, kedua negara sepakat untuk mengekstradisi orang yang ditemukan di negara yang diminta dan dicari oleh negara yang meminta untuk proses penuntutan atau persidangan atau pelaksanaan hukuman.
“Perjanjian ekstradisi ini akan menciptakan efek gentar (deterrence) bagi pelaku tindak pidana di Indonesia dan Singapura,” ungkap Yasonna dalam siaran persnya.
Tambahnya, dengan adanya perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura ini ,ruang gerak pelaku tindak pidana di Indonesia akan dipersempit. Indonesia sejauh ini telah memiliki perjanjian ekstradisi dengan mitra-mitra sekawasan, termasuk Malaysia, Thailand, Filipina, Vietnam, Australia, Republik Korea, Republik Rakyat China, dan Hong Kong.
Dengan Singapura, kata Yasonna, Indonesia selama ini baru terikat dalam Perjanjian Bantuan Timbal Balik Masalah Pidana (Mutual Legal Assistance in Criminal Matters/MLA) antara negara anggota ASEAN yang ditandatangani pada tahun 2008.
“Apabila kedua negara dapat dengan segera meratifikasi perjanjian ekstradisi yang ditandatangani maka lembaga penegak hukum kedua negara dapat memanfaatkan Perjanjian Ekstradisi ini dalam upaya mencegah dan memberantas tindak pidana yang bersifat lintas batas negara seperti korupsi dan terorisme,” jelasnya.
Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ali Fikri mengatakan pihaknya menyambut baik dan mendukung penuh penandatanganan perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura. Menurutnya, perjanjian tersebut akan menjadi akselerasi progresif dalam upaya pemberantasan korupsi.
Selain itu, regulasi ini katanya dapat diartikan bahwa seluruh instrumen yang dimiliki kedua negara akan memberikan dukungan penuh terhadap upaya ekstradisi dalam kerangka penegakan hukum kedua negara, termasuk konteks pemberantasan tindak pidana korupsi.
Ali menekankan bahwa perjanjian ekstradisi ini tidak hanya akan mempermudah proses penangkapan, dan pemulangan tersangka korupsi yang melarikan atau berdomisili di negara lain. Namun, katanya akan berimbas positif terhadap upaya optimalisasi asset recovery.
“Karena tidak dipungkiri bahwa aset pelaku korupsi tidak hanya berada di dalam negeri, tapi juga tersebar di berbagai negara lainnya. Maka dengan optimalisasi perampasan aset tersebut, kita memberikan sumbangsih terhadap Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP),” ungkap Ali lewat pesan singkat kepada VOA.
“Sehingga, perjanjian ekstradisi ini menjadi sebuah tonggak langkah maju pemberantasan korupsi, tidak hanya bagi Indonesia namun juga bagi pemberantasan korupsi pada skala global,” pungkasnya. [gi/ab]