Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Achmad Baidowi mengusulkan untuk menjadikan Jakarta sebagai Ibu Kota Legislasi. Usulan tersebut muncul dalam rapat kerja antara pemerintah dengan DPR ketika membahas Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ), khususnya tentang Daftar Inventaris Masalah (DIM). Merujuk pada kekhususan DKJ, Baidlowi mempertanyakan kemungkinan menambah makna kekhususan itu.
“Bisa enggak misalkan di DKJ, itu termasuk kekhususan menjadi Ibu Kota Legislasi atau parlemen? Sekalian saja untuk legislatifnya di DKJ, supaya kekhususan DKJ biar tambah juga menjadi Ibu Kota Parlemen atau Ibu Kota Legislasi,” ungkap Baidowi dalam rapat kerja dengan pemerintah di Gedung DPR, Senin (18/3).
Meski pusat kegiatan tetap berada di Daerah Khusus Jakarta (DKJ), tambahnya, aktivitas para wakil rakyat ini sewaktu-waktu masih bisa dilakukan dilakukan di Ibu Kota Nusantara (IKN) yang terletak di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.
Sekjen Mendagri Tolak Usul Baidlowi
Pemerintah, yang diwakili oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Suhajar Diantoro, secara langsung menolak usulan tersebut. Pemerintah, ujarnya, menginginkan semua pihak terkait berkedudukan penuh di IKN, meskipun pemindahannya dilakukan secara bertahap.
“Tentunya dengan tetap menghormati pendapat kawan-kawan, namun izinkan pemerintah berbeda pendapat dalam hal ini. Kami pemerintah, ya jangan biarkan kami saja di sana. Kita harus selalu bersama dalam konteks negara kesatuan,” ungkap Suhajar.
Saat menyampaikan usul itu Baidlowi mencontohkan Afrika Selatan yang memiliki tiga ibu kota, yaitu ibu kota eksekutif di Pretoria, yudikatif di Bloemfontein dan legislatif di Cape Town.
Pakar Tata Kota: Pembedaan Fungsi Ibu Kota Tergantung Infrastruktur
Pakar tata kota Nirwono Yoga mengatakan usul DPR itu menunjukkan keengganan, bukan hanya dari anggota DPR, namun juga aparatur sipil negara (ASN), yang dikabarkan sebenarnya tidak ingin pindah ke IKN.
“Ini bukan hal yang mengagetkan, bahkan itu sudah mengindikasikan sejak awal bahwa ini (memindahkan Ibu Kota) lebih kepada (tindakan) politis bukan kepada serius untuk membangun kota. Bangun kota itu kan butuh waktu setidaknya 25 tahun,” ungkap Nirwono.
Ia memaknai rencana pemindahan dan pembangunan IKN secara tergesa-gesa, termasuk pengesahan UU IKN, pembahasan RUU DKJ, serta pembangunan fisik kotanya, lebih bermuatan politis. Ini dikarenakan, sedianya, ujar Nirwono, idealnya semua elemen pemerintahan yang terdiri dari eksekutif, legislatif dan yudikatif berada dalam satu kota atau kawasan, seperti halnya di kota pemerintahan Amerika Serikat di Washington DC.
Indonesia dapat saja mengadopsi sistem yang dilakukan oleh Afrika Selatan yang memiliki beberapa Ibu Kota, selama memiliki infrastruktur teknologi yang memadai.
“Kalau tadi tawarannya DPR ingin di Jakarta, harusnya yang mereka tekankan adalah soal kemudahan berkomunikasi misalnya. Rapat didukung dengan teknologi dan infrastruktur yang lebih canggih, sehingga itu mensyaratkan mereka untuk di Jakarta saja menjadi tidak masalah. Jadi bukan karena alasan mau tidak mau. Apalagi kemarin bilangnya minta supaya Gedung DPR dibangun paling belakangan. Itu kan menunjukkan sikap keengganan. Jadi harus ada alasan yang lebih rasional. Salah satunya cara berpikir dan bekerjanya yang harus diubah,” jelasnya.
Pakar: Apakah Semua Pihak Siap Bekerja “Out of the Box?”
Pola bekerja yang disebut Nirwono “out of the box” ini bisa saja diterapkan dalam sistem kerja pemerintahan dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan, sehingga menjadikan Jakarta nantinya sebagai kota global. Dengan begitu, sistem kerjanya nanti tidak mengharuskan adanya tatap muka seperti yang selalu dilakukan pada saat ini. Jika semua aspek memadai, maka bisa saja Jakarta dijadikan kota legislatif.
“Jadi fisik yang kita bangun adalah dunia yang kotanya adalah kota virtual. Gedung-gedung dalam konteks kota hanya lebih kepada semacam simbol, tapi dalam praktiknya kita bekerja, beraktivitas, operasionalnya itu justru bisa di mana saja dan kapan saja. Jadi kalau DPR berani mengatakan bahwa Jakarta sebagai kota legislatif, Nusantara kota eksekutif, kota yudikatifnya misalnya di Surabaya, dan alasannya disusun kuat, justru itu akan merubah cara kerja pemerintah secara keseluruhan,” tuturnya.
Nirwono juga merujuk pada sebuah buku yang diterbitkan di Amerika Serikat tentang tren perkotaan di masa depan, di mana dalam kurun waktu sekitar 10 tahun, cara orang memandang sebuah kota untuk beraktivitas dinilai akan berubah total. Sayangnya, hal ini justru tidak diadopsi di IKN, ujarnya.
“Kita masih membangun kota Nusantara yang bisa dikatakan sebenarnya sudah mulai ketinggalan zaman. Kita memaksakan sebuah kota dengan ada Istana Presiden, kantor kementerian. Jadi masih seperti yang kita bayangkan, Jakarta itu dipindahkan ke sana. Dan sebenarnya itu justru untuk anak zaman sekarang sudah tidak diperlukan lagi. Cara mereka bekerja di kantor itu sudah tidak begitu juga,” katanya.
“Apa iya salah, kalau anak-anak bekerja di Jakarta, kantornya di Nusantara. Yang penting target yang mereka minta bisa diselesaikan misalnya. Jadi yang penting adalah cara bekerja yang harusnya berubah, sehingga dalam konteks ini bagaimana tata kotanya yang berubah,” pungkasnya. [gi/em]
Forum