Pada masa jabatan pertamanya, Donald Trump mengenakan tarif besar-besaran terhadap China, sehingga mengguncang perekonomian global.
Menjelang kembalinya ke Gedung Putih, Trump menjanjikan tindakan yang lebih drastis, tarif 10 persen untuk semua impor ke Amerika Serikat dan 60 persen untuk barang-barang dari China.
Meskipun China belum berkomentar secara langsung mengenai ancaman Trump, China telah memperingatkan akan adanya ketegangan perdagangan lebih lanjut.
Mao Ning, juru bicara Kementerian Luar Negeri China, mengatakan, "Kami tidak menjawab pertanyaan hipotetis. Namun izinkan saya menegaskan kembali bahwa tidak ada pemenang dalam perang dagang, dan dunia juga tidak akan mendapat manfaat darinya."
Tarif apa pun yang diterapkan Trump dapat merugikan perekonomian yang bergantung pada ekspor, namun perang dagang Amerika Serikat-China yang meluas juga dapat menciptakan peluang.
Banyak negara mendapat manfaat dari peralihan produksi dari China untuk menghindari tarif. Menteri Perdagangan Thailand Pichai Naripthaphan baru-baru ini mengatakan kepada VOA Thai Service bahwa negaranya telah menyaksikan masuknya perusahaan-perusahaan Amerika Serikat yang merelokasi pabriknya dari China.
“Kita harus bisa mengatasi persoalan ini. Saya sebenarnya melihat permasalahan ini sebagai keuntungan bagi Thailand. Saya yakin kita bisa menjadi tujuan investasi bagi setiap negara,” jelasnya.
Namun pendekatan tersebut memiliki risiko. Banyak negara yang meninggalkan China kini sangat bergantung pada ekspor ke Amerika Serikat, sehingga membuat mereka semakin rentan terhadap tarif Trump atau upaya untuk menindak barang-barang yang dialihkan tersebut.
Kekhawatiran ini tidak hanya dirasakan oleh mitra-mitra dagang terbesar Amerika Serikat. Di Afrika, di mana perdagangan dengan Amerika Serikat sudah terbatas, tarif yang lebih tinggi dapat membuat akses menjadi lebih sulit, kata Melvin Foote, pendiri LSM Constituency for Africa.
“Jika kita berbicara tentang manufaktur, jika kita berbicara tentang produksi pertanian, seperti nanas – memasuki pasar Amerika Serikat akan menjadi hal yang sulit. Jadi saya tidak optimistis mengenai perdagangan Amerika Serikat dengan Afrika, jika kita berbicara tentang kenaikan tarif,” imbuhnya.
Sebagian besar ketidakpastian muncul karena sulitnya memprediksi Trump. Selama masa jabatan pertamanya, ia sering menggunakan prospek tarif sebagai alat tawar-menawar, sebelum akhirnya mencapai kesepakatan perdagangan individual, kata analis Jayant Meno dari Institute of Southeast Asian Studies.
“Saya kira Trump bukanlah seorang proteksionis. Dia seorang pembuat kesepakatan. Itulah yang dia suka tampilkan – Anda tahu, seni kesepakatan dan sebagainya…jadi dia menyukai perjanjian perdagangan bebas di mana dia berperan di dalamnya,” jelasnya.
Menon mengatakan negara-negara yang menjadi sasaran Trump dapat mendorong munculnya perjanjian-perjanjian perdagangan baru, dan bukan meningkatkan perang tarif yang dapat merugikan negara mereka sendiri dan perekonomian global.
Masih menurut Menon, tidak semua usulan Trump mengarah pada peningkatan proteksionisme. Trump, kata Menon, juga menyarankan pengurangan subsidi untuk kendaraan listrik buatan Amerika Serikat – subsidi yang diberlakukan oleh pemerintahan Biden.
“Trump pernah menyebut subsidi tersebut konyol di sebuah podcast bersama Joe Rogan. Jadi dia mungkin akan menghapusnya. Dan hal ini merupakan hal positif dalam kaitannya dengan distorsi yang berdampak pada perekonomian global.” [ab/uh]
Forum