Dalam penjelasan singkat kepada para wartawan hari Rabu di Massachusetts – dimana Presiden Barack Obama sedang berlibur – juru bicara Gedung Putih Josh Earnest mengatakan Amerika telah berulangkali mendesak pasukan keamanan Mesir untuk menahan diri. Ia juga mengulangi desakan bagi sebagian besar demonstran Islamis “untuk berdemonstrasi secara damai”.
Pemerintah sementara yang didukung militer Mesir menyerbu kamp-kamp demonstran pro-Morsi di Kairo Rabu pagi, memicu kutukan dari para pemimpin negara-negara Muslim yang mendukung pemimpin terguling Mohammed Morsi.
Negara-negara Eropa juga mendesak pemerintah Mesir dan kelompok oposisi Islamis untuk mencegah memuncaknya aksi kekerasan dan kembali melangsungkan dialog politik.
Juru bicara Gedung Putih Josh Earnest mengatakan Gedung Putih menentang pemberlakukan status darurat selama satu bulan, kebijakan yang diambil pemerintah sementara karena memuncaknya kerusuhan di negara itu. Ditambahkannya, aksi kekerasan hanya akan lebih menyulitkan Mesir untuk bergerak sesuai arahnya guna mencapai stabilitas dan demokrasi, serta “menanggapi langsung” janji-janji pemerintah sementara Mesir untuk mencapai rekonsiliasi nasional.
Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan menggambarkan penyerbuan oleh pasukan keamanan Mesir hari Rabu itu sebagai “pembantaian”. Ia mendesak Dewan Keamanan PBB dan Liga Arab untuk segera bertindak menghentikan hal itu.
Hal senada disampaikan Iran, yang menyebut penyerbuan di Mesir itu sebagai “pembantaian”. Kantor berita Iran FARS mengutip Kementerian Luar Negeri Iran yang mengingatkan Mesir jika tidka mengubah cara-cara tersebut maka Israel dan negara-negara adidaya yang “arogan” akan menggelincirkan revolusi rakyat Mesir.
Presiden Turki Abdullah Gul menuduh pemerintah Mesir melakukan intervensi bersenjata terhadap warga sipil dan menyebut hal itu “tidak dapat diterima”. Pemerintah Mesir mengatakan beberapa demonstran menggunakan senjata dan melepaskan tembakan ke arah pasukan keamanan.
Ankara salah satu pengecam internasional terkeras keputusan militer Mesir untuk mendongkel Morsi tanggal 3 Juli, satu tahun setelah ia memangku jabatan sebagai pemimpin pertama Mesir yang terpilih secara demokratis. Sementara militer Mesir mengatakan, mereka bertindak untuk menanggapi apa yang disebut keinginan rakyat setelah protes massal warga Mesir yang sekuler yang menuduh Morsi anti demokrasi.
Juru bicara Sekjen PBB Ban Ki-Moon mengatakan pemimpin PBB itu mengutuk aksi kekerasan di Mesir dan menyesalkan pemerintah Mesir yang memilih untuk menggunakan kekuatan terhadap sebagian besar demonstran Islamis.
Meski demikian, Sekjen PBB juga menyadari bahwa mayoritas besar rakyat Mesir sudah jenuh dengan gangguan terhadap kehidupan normal mereka dan menginginkan negara mereka melangkah maju secara damai dalam proses yang dipimpin Mesir.
Qatar – yang mendukung gerakan Ikhwanul Muslimin pimpinan Mohammed Morsi – mengecam Mesir karena menggunakan kekuatan terhadap apa yang digambarkannya sebagai “demonstran damai”.
Di Brussels, juru bicara Uni Eropa Peter Stano mengatakan laporan-laporan dari Kairo “sangat mengkhawatirkan”. Ia menambahkan aksi kekerasan tidak akan mencapai solusi dan mendesak seluruh pihak untuk “sedapat mungkin menahan diri”.
Menteri Luar Negeri Inggris William Hague mengambil kebijakan yang lebih tegas terhadap pemerintah Mesir, dengan mengatakan ia mengutuk penggunakan kekuatan untuk menyudahi demonstrasi tersebut.
Kelompok HAM – Amnesty International – mendesak militer Mesir untuk berhenti menyerang para demonstran. Geoffrey Mock dari Amnesty International mengatakan kepada VOA, aksi kekerasan ini menunjukkan terulangnya “pelanggaran pola lama” ala rejim Mubarak.
Pemerintah sementara yang didukung militer Mesir menyerbu kamp-kamp demonstran pro-Morsi di Kairo Rabu pagi, memicu kutukan dari para pemimpin negara-negara Muslim yang mendukung pemimpin terguling Mohammed Morsi.
Negara-negara Eropa juga mendesak pemerintah Mesir dan kelompok oposisi Islamis untuk mencegah memuncaknya aksi kekerasan dan kembali melangsungkan dialog politik.
Juru bicara Gedung Putih Josh Earnest mengatakan Gedung Putih menentang pemberlakukan status darurat selama satu bulan, kebijakan yang diambil pemerintah sementara karena memuncaknya kerusuhan di negara itu. Ditambahkannya, aksi kekerasan hanya akan lebih menyulitkan Mesir untuk bergerak sesuai arahnya guna mencapai stabilitas dan demokrasi, serta “menanggapi langsung” janji-janji pemerintah sementara Mesir untuk mencapai rekonsiliasi nasional.
Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan menggambarkan penyerbuan oleh pasukan keamanan Mesir hari Rabu itu sebagai “pembantaian”. Ia mendesak Dewan Keamanan PBB dan Liga Arab untuk segera bertindak menghentikan hal itu.
Hal senada disampaikan Iran, yang menyebut penyerbuan di Mesir itu sebagai “pembantaian”. Kantor berita Iran FARS mengutip Kementerian Luar Negeri Iran yang mengingatkan Mesir jika tidka mengubah cara-cara tersebut maka Israel dan negara-negara adidaya yang “arogan” akan menggelincirkan revolusi rakyat Mesir.
Presiden Turki Abdullah Gul menuduh pemerintah Mesir melakukan intervensi bersenjata terhadap warga sipil dan menyebut hal itu “tidak dapat diterima”. Pemerintah Mesir mengatakan beberapa demonstran menggunakan senjata dan melepaskan tembakan ke arah pasukan keamanan.
Ankara salah satu pengecam internasional terkeras keputusan militer Mesir untuk mendongkel Morsi tanggal 3 Juli, satu tahun setelah ia memangku jabatan sebagai pemimpin pertama Mesir yang terpilih secara demokratis. Sementara militer Mesir mengatakan, mereka bertindak untuk menanggapi apa yang disebut keinginan rakyat setelah protes massal warga Mesir yang sekuler yang menuduh Morsi anti demokrasi.
Juru bicara Sekjen PBB Ban Ki-Moon mengatakan pemimpin PBB itu mengutuk aksi kekerasan di Mesir dan menyesalkan pemerintah Mesir yang memilih untuk menggunakan kekuatan terhadap sebagian besar demonstran Islamis.
Meski demikian, Sekjen PBB juga menyadari bahwa mayoritas besar rakyat Mesir sudah jenuh dengan gangguan terhadap kehidupan normal mereka dan menginginkan negara mereka melangkah maju secara damai dalam proses yang dipimpin Mesir.
Qatar – yang mendukung gerakan Ikhwanul Muslimin pimpinan Mohammed Morsi – mengecam Mesir karena menggunakan kekuatan terhadap apa yang digambarkannya sebagai “demonstran damai”.
Di Brussels, juru bicara Uni Eropa Peter Stano mengatakan laporan-laporan dari Kairo “sangat mengkhawatirkan”. Ia menambahkan aksi kekerasan tidak akan mencapai solusi dan mendesak seluruh pihak untuk “sedapat mungkin menahan diri”.
Menteri Luar Negeri Inggris William Hague mengambil kebijakan yang lebih tegas terhadap pemerintah Mesir, dengan mengatakan ia mengutuk penggunakan kekuatan untuk menyudahi demonstrasi tersebut.
Kelompok HAM – Amnesty International – mendesak militer Mesir untuk berhenti menyerang para demonstran. Geoffrey Mock dari Amnesty International mengatakan kepada VOA, aksi kekerasan ini menunjukkan terulangnya “pelanggaran pola lama” ala rejim Mubarak.