YOGYAKARTA —
Wakil presiden Boediono mengatakan, pada era global yang ditandai dengan kompetisi tinggi dewasa ini pemerintah hendaknya membuat kebijakan ekonomi yang konsisten dan berkelanjutan. Ia mengingatkan, keadaan ekonomi global saat ini bukan hanya kompetitif tetapi juga sangat beresiko terjadi krisis. Ketika krisis terjadi di suatu negara, maka dengan mudah akan merembet ke negara lain melalui sistem keuangan yang telah terkoneksi secara global.
Boediono yang juga guru besar ekonomi Universitas Gajah Mada mengatakan hal itu ketika berbicara pada dialog upaya Indonesia meningkatkan nilai tambah dan dan daya saing perdagangan internasional dalam dialog kebijakan ekonomi Asia Timur (East Asia Policy Dialog: Levelling Up Indonesia’s Value Added), Kamis petang (17/4) di Yogyakarta. Dialog diselenggarakan Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM bekerjasama dengan Institut Riset Ekonomi Untuk ASEAN dan Asia Timur (ERIA) - Economic Research Institute for ASEAN and East Asia.
Menurut Boediono, pemerintah harus waspada dan mampu bertahan dari kemungkinan krisis yang datang dari kondisi ekonomi global melalui perencanaan yang baik dan sesuai dengan aturan yang telah dibuat khususnya dibidang fiskal dan moneter.
“Birokrasi, politik, hukum dalam pelaksanaan itu juga sering terganjal oleh aspek-aspek hukum. Ini adalah cluster-cluster besar yang harus kita jabarkan secara kongkrit, action plan-nya apa. Tapi ini tidak harus kita selesaikan dalam 5 tahun, 10 tahun, asal kita mempunyai rencana yang bisa dilaksanakan sistematik, konsisten oleh beberapa kabinet,” kata Boediono.
Untuk meningkatkan kompetisi ekonomi di tingkat internasional, menurut Boediono, didalam negeri harus berlangsung kegiatan ekonomi yang produktif melibatkan sumberdaya manusia yang berkualitas dengan menjaga pertumbuhan.
“Kegiatan produktif ini (menuntut) adanya kesempatan kerja itu harus ada. Tapi juga harus diimbangi dengan adanya orang yang bisa masuk menggunakan kesempatan kerja ini dengan baik. Dua-duanya harus klop. Nah kesempatan kerja itu satu-satunya cara terciptanya hanya dengan pertumbuhan ekonomi,” lanjut Boediono.
Dekan Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM Wihana Kirana Jaya mengatakan ekspor Indonesia yang masih bertumpu pada esploitasi sumberdaya alam hendaknya selalu berorientasi pada peningkatan kapasitas produksi nasional dalam jangka panjang.
“Eksploitasinya harus sustainable, kita harus memastikan bahwa hasil dari seluruh sumberdaya alam dialokasikan untuk peningkatan kualitas sumberdaya manusia, penyediaan infrastruktur, perbaikan kerangka hukum serta regulasi dan institusinya,” papar Wihana Kirana.
Sementara itu, ekonom Universitas Indonesia Iwan Jaya Azis berpendapat, seiring dengan pertumbuhan demokrasi, tuntutan terhadap pemerintah bukan hanya menyediakan infrastruktur yang lebih baik namun juga layanan sosial yang memadai.
"Suara dari masyarakat untuk jasa sosial lebih baik, fasilitas pemerintah lebih baik, itu ada tahapannya. Awalnya economic transformation, tapi nanti akan diikuti oleh social transformation yang tercermin didalam suara yang makin banyak itu. Jadi suara masyarakat yang makin luas, dengan sistem demokrasi yang makin luas semakin memberi tekanan kepada policy makers untuk memperbaiki kualitas pelayanan sosial dan sebagainya,” kata Iwan Jaya.
Dialog juga menampilkan pembicara Hidetoshi Nishimura, ekonom ERIA.
Boediono yang juga guru besar ekonomi Universitas Gajah Mada mengatakan hal itu ketika berbicara pada dialog upaya Indonesia meningkatkan nilai tambah dan dan daya saing perdagangan internasional dalam dialog kebijakan ekonomi Asia Timur (East Asia Policy Dialog: Levelling Up Indonesia’s Value Added), Kamis petang (17/4) di Yogyakarta. Dialog diselenggarakan Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM bekerjasama dengan Institut Riset Ekonomi Untuk ASEAN dan Asia Timur (ERIA) - Economic Research Institute for ASEAN and East Asia.
Menurut Boediono, pemerintah harus waspada dan mampu bertahan dari kemungkinan krisis yang datang dari kondisi ekonomi global melalui perencanaan yang baik dan sesuai dengan aturan yang telah dibuat khususnya dibidang fiskal dan moneter.
“Birokrasi, politik, hukum dalam pelaksanaan itu juga sering terganjal oleh aspek-aspek hukum. Ini adalah cluster-cluster besar yang harus kita jabarkan secara kongkrit, action plan-nya apa. Tapi ini tidak harus kita selesaikan dalam 5 tahun, 10 tahun, asal kita mempunyai rencana yang bisa dilaksanakan sistematik, konsisten oleh beberapa kabinet,” kata Boediono.
Untuk meningkatkan kompetisi ekonomi di tingkat internasional, menurut Boediono, didalam negeri harus berlangsung kegiatan ekonomi yang produktif melibatkan sumberdaya manusia yang berkualitas dengan menjaga pertumbuhan.
“Kegiatan produktif ini (menuntut) adanya kesempatan kerja itu harus ada. Tapi juga harus diimbangi dengan adanya orang yang bisa masuk menggunakan kesempatan kerja ini dengan baik. Dua-duanya harus klop. Nah kesempatan kerja itu satu-satunya cara terciptanya hanya dengan pertumbuhan ekonomi,” lanjut Boediono.
Dekan Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM Wihana Kirana Jaya mengatakan ekspor Indonesia yang masih bertumpu pada esploitasi sumberdaya alam hendaknya selalu berorientasi pada peningkatan kapasitas produksi nasional dalam jangka panjang.
“Eksploitasinya harus sustainable, kita harus memastikan bahwa hasil dari seluruh sumberdaya alam dialokasikan untuk peningkatan kualitas sumberdaya manusia, penyediaan infrastruktur, perbaikan kerangka hukum serta regulasi dan institusinya,” papar Wihana Kirana.
Sementara itu, ekonom Universitas Indonesia Iwan Jaya Azis berpendapat, seiring dengan pertumbuhan demokrasi, tuntutan terhadap pemerintah bukan hanya menyediakan infrastruktur yang lebih baik namun juga layanan sosial yang memadai.
"Suara dari masyarakat untuk jasa sosial lebih baik, fasilitas pemerintah lebih baik, itu ada tahapannya. Awalnya economic transformation, tapi nanti akan diikuti oleh social transformation yang tercermin didalam suara yang makin banyak itu. Jadi suara masyarakat yang makin luas, dengan sistem demokrasi yang makin luas semakin memberi tekanan kepada policy makers untuk memperbaiki kualitas pelayanan sosial dan sebagainya,” kata Iwan Jaya.
Dialog juga menampilkan pembicara Hidetoshi Nishimura, ekonom ERIA.