Pemimpin Turki Recep Tayyip Erdogan dan Presiden Rusia Vladimir Putin melangsungkan pertemuan penting di Moskow, Kamis (5/3), yang ditujukan untuk meredakan ketegangan antara militer Turki, yang merupakan anggota NATO, dan Rusia, sebuah negara adidaya nuklir, di provinsi Idlib, Suriah, yang dikoyak perang.
Sementara sama-sama memposisikan diri sebagai mitra dalam perang melawan terorisme di kawasan itu, Moskow dan Ankara tampaknya akan menghadapi bentrokan yang tak terhindarkan di Idlib, kawasan baratlaut Suriah di mana Rusia membantu sekutunya, Presiden Suriah
Bashar al-Assad, memberantas kubu pertahanan terakhir oposisi.
Turki, bersama pemerintah-pemerintah Barat, menuduh pemerintah Suriah melangsungkan aksi pemboman dengan dukungan Rusia yang menimbulkan krisis kemanusiaan. Hampir satu juta warga sipil terpaksa mengungsi untuk menghindari pertempuran di perbatasan Suriah-Turki tersebut.
Serangan itu sendiri mendapat perlawanan dari Ankara karena negara itu menentang pemerintahan Assad. Turki melancarkan operasi militer yang ditujukan untuk melindungi apa yang mereka sebut para pemberontak anti-Assad, bukan teroris, di Idlib.
Dalam konperensi pers, Rabu (5/3), juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, mengatakan Rusia berharap mencapai kompromi dengan Erdogan, meski ada perbedaan pendapat. Erdogan mengindikasikan ia ingin bisa menegosiasikan gencatan senjata di Idlib dengan Putin, meskipun sebelumnya mengatakan bahwa serangan Turki terhadap target-target pemerintah Suriah merupakan awal dari pembalasan atas tewasnya puluhan tentara Turki akibat serangan bom Suriah pekan lalu. [ab/uh]