Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma'ruf Amin, Erick Thohir berharap Indonesia tidak menjadi negara seperti Suriah. Hal itu disampaikan Erick di hadapan ratusan milenial yang tergabung dalam relawan "Kita Satu".
Karena itu, Erick meminta kegiatan politik di Indonesia tidak memecah belah kelompok-kelompok yang ada di Indonesia. Sebaliknya, kata dia, politik harus dapat mempersatukan semua golongan. Seperti pagelaran Asian Games 2018 yang mempersatukan semua kalangan di Indonesia saat itu.
"Kalau memecah belah atau devide at impera itu zaman belanda. Kenapa diulangin lagi, terus ngapain juga kita merusak bangsa kita. Kita tidak mau Indonesia Jadi Suriah, kenapa yang rugi siapa? Saya tidak rugi, saya punya uang dan network, paling gampang mengambil kesempatan di situ," tutur Erick Thohir di Jakarta, Kamis (13/12).
Erick Thohir menambahkan konflik seperti di Suriah akan merugikan bangsa Indonesia. Terutama generasi muda, anak-anak tidak bisa sekolah, serta kelompok perempuan.
Gerakan oposisi di Suriah pada mulanya berawal dari penangkapan belasan remaja yang menginginkan pergantian rezim Bassar al-Assad. Penangkapan tersebut membuat keinginan untuk mengganti rezim Assad meluas. Di sisi pemerintah, gerakan tersebut direspon dengan cara represif seperti penangkapan aktivis. Bahkan tidak sedikit yang tewas tertembak. Konflik kemudian semakin meluas dengan munculnya Free Syrian Army (FSA), Supreme Military Council (SMC) hingga kelompok garis keras seperti ISIS.
Menanggapi hal ini, juru bicara pasangan calon presiden Prabowo Subianto dan calon wakil presiden Sandiaga Uno, Rahayu Saraswati Djodjohadikusumo menyambut baik pernyataan Erick Thohir. Menurutnya, kubu Prabowo-Sandi selama ini juga mengedepankan politik dan kampanye yang damai, serta tidak menjatuhkan lawan dengan fitnah.
"Kami sangat menyambut baik dan kalau bisa itu betul-betul diterapkan semua jubir-jubir mereka dan kader-kader mereka yang berada dalam koalisi mereka. sehingga pesan itu tidak hanya omong doang. Tetapi bisa betul betul dijalankan dan itu harus terlihat terlihat dari jubir mereka saat berdebat," jelas Saraswati saat dihubungi VOA hari Jumat (14/12).
Saraswati menuturkan kubu Prabowo-Sandi juga siap memberikan sanksi kepada juru bicara dan kader mereka yang tidak menjalankan politik dan kampanye yang damai. Sanksi tersebut bisa berupa pencopotan yang bersangkutan dari posisi mereka.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi ( Perludem) Titi Anggraini mengatakan komitmen para elit politik untuk melakukan politik yang damai dan menyatukan patut diapresiasi. Namun, kata dia, komitmen tersebut baru sebatas di tingkat elit. Sementara orang-orang yang di belakang tim kampanye masing-masing pasangan calon masih terlihat berbenturan satu sama lain. Semisal di kubu Prabowo dengan menuding Jokowi keturunan PKI. Sementara di kubu Jokowi menuding Prabowo tidak bisa shalat.
"Pernyataan itu harus diikuti langkah dari komponen pemenangan yang ada. Jadi tidak cukup hanya imbauan-imbauan saja, tapi harus juga diikuti tindakan nyata misalnya memberikan sanksi ke jajaran kampanyenya yang ternyata menggunakan sentimen-sentimen yang memecah belah atau cenderung hanya mengedepankan sensasi," jelas Titi, Jumat (14/12).
Titi menambahkan momentum kampanye pemilihan presiden 2019 semestinya digunakan sebagai pendidikan politik kepada masyarakat. Termasuk kesempatan menyampaikan gagasan dan beradu gagasan dari kedua pasangan calon. Karena itu, kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden harus memastikan politik yang menyatukan dan damai tersebut juga berjalan di level paling bawah mereka. [Ab/ab]