Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi meraih kemenangan menakjubkan dalam pemilu hari Minggu (8/11) lalu, mengalahkan Partai Union Solidarity and Development atau USDP pimpinan para mantan jenderal.
Tetapi yang juga kalah adalah puluhan partai yang mewakili etnis minoritas, yang merupakan kurang dari separuh penduduk negara itu yang berjumlah 51,5 juta orang. Kelompok minoritas itu juga punya sejarah panjang menentang dan melawan junta militer yang memerintah Myanmar selama setengah abad.
Kemenangan NLD yang akan membentuk pemerintah sendiri, telah mengandaskan harapan kelompok etnis, bahwa mereka akan punya suara kuat dalam menentukan kebijakan politik pemerintah dan sekaligus mengurangi kekuasaan pemerintah pusat.
Tetapi, partai Suu Kyi mendapati dirinya harus berjuang sendirian untuk menyelesaikan keluhan-keluhan kelompok etnis, dan dengan begitu mengecilkan harapan untuk menyelesaikan berbagai masalah yang telah menggoyahkan negara itu selama konflik enam dasawarsa terakhir.
"Kemenangan NLD yang besar itu tidak baik bagi negara," kata Sai Nyunt Lwin, Sekretaris Jenderal Liga Bangsa Shan bagi Demokrasi atau SNLD, pihak yang mewakili kelompok minoritas terbesar di Myanmar.
Meskipun sama-sama mengalami perjuangan selama puluhan tahun melawan junta militer yang memerintah Myanmar hingga tahun 2011, hubungan antara NLD dan banyak pemimpin etnis telah lama ditandai dengan ketidakpercayaan.
Seperti militer, NLD didominasi oleh suku Bamar, penduduk mayoritas yang tinggal di dataran rendah tengah negara itu.
Suu Kyi juga menentang seruan kelompok-kelompok etnis agar jangan mencalonkan kandidat-kandidatnya, guna merebut kursi-kursi yang selama ini dikuasai golongan minoritas. Kemenangan mengejutkan NLD di banyak daerah menyebabkan banyak partai kehilangan perwakilan, atau hanya punya sedikit kursi dalam majelis nasional dan lokal.
Yang lebih sulit lagi bagi NLD adalah mengakhiri konflik yang telah menewaskan ribuan orang di pinggiran negara dalam beberapa tahun terakhir.
Meskipun gencatan senjata diberlakukan tanggal 15 Oktober, sebagian besar kelompok pemberontak bersenjata negara itu masih berjuang melawan pemerintah, dan konflik-konflik bersenjata menyebabkan pemilu dibatalkan di beberapa daerah. NLD menolak untuk mendukung perjanjian gencatan senjata itu, karena tidak mengikut-sertakan banyak kelompok bersenjata lainnya.
Sementara itu, pemberontak etnis dan penduduk di Myanmar utara mengatakan pasukan pemerintah menyerang pemberontak Kachin, hari Senin.
La Nan, juru bicara Organisasi Kemerdekaan Kachin atau KIO mengatakan kepada VOA, serangan dimulai hari Sabtu dan meningkat ketika pasukan pemerintah menggunakan artileri dan serangan udara di luar kota Mohnyin di Negara Bagian Kachin.
Saksi mata juga mengatakan bahwa pesawat-pesawat tempur dan helikopter digunakan dalam pemboman di dekat kota itu. Tidak ada korban dilaporkan dari bentrokan terbaru itu.
Kelompok pemberontak etnis lain di Myanmar timur juga menyatakan pasukan pemerintah melakukan serangan udara dalam peningkatan lebih lanjut pertempuran dengan pemberontak etnis di Negara Bagian Shan tengah.
Ying Hanghpa dari Shan Yayasan Hak Asasi mengatakan kepada VOA bahwa ribuan penduduk sipil terpaksa melarikan diri dari konflik itu. "Bentrokan terbaru memaksa lebih dari 2.000 orang mengungsi, sehingga jumlahnya mencapai hampir 9.000 orang," kata Ying Hanghpa.
Kurang lebih 40 persen dari jumlah penduduk Myanmar, adalah anggota kelompok-kelompok etnis, banyak dari mereka telah mengajukan tuntutan sejak lama untuk menguasai sumber-sumber alam di wilayah mereka. [sp/ii]