Pendiri sekaligus Ketua Dewan Pembina "Backpacker Teaching", Dirgantara Wicaksono mendorong pemerintah untuk membuat evaluasi menyeluruh tentang pendidikan di Indonesia. Evaluasi tersebut bisa dilakukan dengan metode survei seperti Program Penilaian Siswa Internasional (PISA).
Menurutnya, hasil PISA yang diselenggarakan Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) kurang dapat dijadikan tolak ukur secara tepat bagi pendidikan Indonesia. Sebab, data pendidikan di Indonesia jumlahnya cukup banyak dan beragam sehingga kurang tepat jika dipotret dengan menggunakan ukuran internasional.
"Jadi selain melakukan asesmen sendiri, survei riil, pemerintah bekerja samalah dengan pihak swasta untuk melakukan pemetaan, karena banyak data-data di lapangan soal infrastruktur dan sebagainya," jelas Dirgantara kepada VOA, Rabu (25/12).
Kendati demikian, Dirgantara tidak menolak seratus persen hasil PISA 2018, salah satunya soal kemampuan membaca siswa Indonesia yang rendah. Menurutnya, hal tersebut dikarenakan sumber daya manusia guru yang rendah dan proses pembelajaran yang monoton. Selain itu, buku-buku di sekolah juga terkadang tidak sesuai dengan kategori usia siswa yang berakibat siswa malas membaca.
"Contoh di SD beberapa tempat, kita lihat bukunya malah novel dewasa. Banyak buku dewasa yang tidak ada gambarnya juga, akhirnya minat baca turun. Apa yang kita lakukan, kita bentuk pojok literasi, kita ambil dari buku-buku untuk anak-anak. Dan ini kita harap bisa menumbuhkan minat baca," tambahnya.
Dirgantara juga menyarankan pendidikan di Indonesia lebih mampu menjawab kebutuhan peserta didik dan membuat kurikulum yang mengedepankan kearifan lokal untuk memperkuat potensi daerah-daerah di Indonesia.
Dirgantara bersama Komunitas Backpacker Teaching telah mengajar ribuan siswa yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia selama tiga tahun terakhir. Di antaranya Jabodetabek, Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat dan Maluku Utara.
Total ada sekitar 1.500an relawan dari berbagai profesi yang terlibat dalam Backpacker Teaching. Mereka mendatangi sekolah-sekolah yang membutuhkan bantuan selama sepekan dan hasilnya akan diteruskan ke pemangku kepentingan seperti DPR dan kementerian, serta pemerintah daerah.
Studi PISA: Kemampuan Baca Siswa Indonesia Rendah
Hasil studi PISA 2018 yang dirilis oleh OECD menunjukkan bahwa kemampuan siswa Indonesia dalam membaca, meraih skor rata-rata yakni 371, dengan rata-rata skor OECD yakni 487.
Kemudian untuk skor rata-rata matematika mencapai 379 dengan skor rata-rata OECD 487. Selanjutnya untuk sains, skor rata-rata siswa Indonesia mencapai 389 dengan skor rata-rata OECD yakni 489.
Kendati demikian, menurut Kabid sekolah dan pendidikan anak usia dini, Direktorat Pendidikan dan Keahlian 0ECD, Yuri Belfali, dalam rilis Kemendikbud 3 Desember 2019, ada beberapa temuan menarik dari hasil PISA 2019. Di antaranya ketimpangan performa belajar antara perempuan dan laki-laki tidak besar. Siswa perempuan lebih baik dari siswa laki-laki dalam semua bidang di PISA.
Yuri juga menyampaikan bahwa guru-guru di Indonesia tergolong memiliki antusiasme yang tinggi. Antusiasme para guru Indonesia termasuk empat tertinggi setelah Albania, Kosovo, dan Korea Selatan. Namun, kebanyakan guru masih belum memahami kebutuhan setiap individu muridnya.
Skor PISA Jadi Tolok Ukur?
Namun, pegiat Taman Pembelajar Rawamangun, yang juga salah satu guru di Jakarta, M Zulkarnain tidak setuju jika skor PISA dijadikan tolok ukur pendidikan di Indonesia. Ia juga tidak sependapat jika hal tersebut merupakan kesalahan guru dan siswa. Menurutnya, beberapa persoalan pendidikan yang disorot OECD dalam PISA lebih dikarenakan sistem pendidikan di Indonesia, ketimbang guru dan siswa.
"Memang benar bahwa kompetensi guru kita memang jika dipresentasekan rendah. Kenapa bisa terjadi hal tersebut? ini agak complicated karena seperti benang kusut, masalah guru itu. Bisa kita lihat dari berbagai aspek yang saling berhubungan, misal kesejahteraan, sistem rekrutmen, pola pengajaran materi yang ada dalam LPTK sebagai lembaga pencetak guru dan sebagainya," jelas Zulkarnain.
Zulkarnain juga menyoroti penilaian PISA yang menggunakan pendekatan industri yang cenderung kaku. Menurutnya, pendidikan anak semestinya bersifat natural dan menyenangkan.
Hal itu pula yang sedang dikampanyekan Taman Pembelajar Rawamangun dengan membuat Kelas Membaca Dewantara yang membedah pemikiran-pemikiran Ki Hajar Dewantara dengan pemateri dari lintas profesi setiap 2 pekan sekali. Kelas ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman peserta diskusi tentang pendidikan yang menyenangkan seperti yang disampaikan Ki Hajar Dewantara.
KPAI: Perlu Ada Iklim Belajar yang Menyenangkan
Senada Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti mengatakan perlu ada iklim pembelajaran yang menyenangkan seperti yang diajarkan Ki Hajar Dewantara bagi siswa guna meningkatkan kualitas pendidikan yang lebih baik. Namun, kata Retno, yang utama adalah menjadikan guru-guru berkualitas. Salah satu caranya yaitu dengan menghapus beban administrasi guru-guru.
"Pak Nadiem bilang hentikan beban guru, faktanya guru dibebani oleh administrasi. Sampai sekarang Pak Nadiem juga tidak menandatangani permendikbud yang membebaskan itu. Jadi tidak bisa omdo (omong doang = hanya bicara saja, tanpa realisasi-red), kemudian guru-guru sibuk ngurusin administrasi, lupa dengan konsentrasi mengajar yang lebih penting," jelas Retno di Jakarta, Selasa (10/12).
Selain itu, Retno mengusulkan kementerian pendidikan dan kebudayaan agar menggunakan pendekatan zonasi untuk membenahi berbagai standar nasional pendidikan. Mulai dari kurikulum, sebaran guru dan peserta didik, hingga kualitas sarana prasarana.
Penerapan sistem zonasi diharapkan dapat mengatasi persoalan ketimpangan pendidikan yang berkualitas di masyarakat. Menurutnya, setidaknya diperlukan keterlibatan tujuh kementerian/lembaga untuk pelaksanaan sistem zonasi di antaranya Kemendagri, Kemendikbud, Kemenag, Kementerian Keuangan, Bappenas, KemenPUPR, dan KemenPAN-RB.
"Zonasinya adalah pemerataan segalanya, karena kalau merujuk pada sekolah saat ini misalnya 148 ribu SD. Tapi begitu bicara SMP 39 ribu kan jauh sekali. Makanya anak-anak Indonesia sebagian besar lulus SD, karena jumlah SMP berkurang drastis," tambahnya.
KPAI juga mendorong presiden menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang sistem zonasi pendidikan yang dibutuhkan untuk sarana kolaborasi dan sinergi antar kementerian/lembaga dengan pemerintah daerah.
Mendukung: Skor PISA Bisa Jadi Masukan Obyektif
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim mengatakan hasil PISA 2018 dapat menjadi masukan obyektif tentang perbaikan yang perlu dilakukan ke depan. Kata dia, hasil tersebut juga dapat menjadi gambaran atau perspektif negara lain dalam melihat sistem pendidikan di Indonesia. Selanjutnya, pemerintah akan memformulasikan langkah strategis, utamanya dalam mewujudkan pemerataan pendidikan.
“Perspektif itu penting, karena menjadi insight baru dan angle untuk mengukur kita dan menunjukkan hal yang tidak kita sadari. Kunci kesuksesan belajar adalah mendapat sebanyak mungkin perspektif. Kita tidak bisa mengetahui apa yang mesti kita perbaiki jika kita tidak punya perspektif,” jelas Nadiem Makarim melalui keterangan tertulis pada Selasa (3 Desember 2019).
Di samping itu, Nadiem juga menyoroti berkumpulnya sumber daya, khususnya guru-guru yang bagus di sekolah tertentu. Selain itu, siswa di sekolah tersebut berasal dari keluarga dengan kondisi ekonomi yang bagus juga.
"PR kita adalah pemerataan jumlah guru, mutu guru, dan resources," ujar Nadiem Anwar Makarim.
Sementara itu, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Totok Suprayitno menjelaskan bahwa pelaksanaan studi PISA tahun 2018 diikuti 399 satuan pendidikan dengan 12.098 peserta didik. Pada tahun 2018 Indonesia pertama kali mengikuti studi PISA berbasis komputer.
Menurutnya, pemerintah tetap berkomitmen untuk mengatasi kelemahan yang menjadi temuan PISA. Karena itu, salah satu rekomendasi yang diberikan adalah pengoptimalan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) perlu dimanfaatkan untuk pembelajaran yang lebih efektif. Di samping itu, ia meminta sekolah lebih melibatkan siswa dalam membaca untuk meningkatkan literasi.
“Kita perlu mengubah kultur belajar kita tanpa harus menunggu instruksi atau proyek. Kultur belajar adalah habbit yang bisa dilakukan sejak besok,” jelas Totok melalui keterangan tertulis. [sm/em]