Tumpukan lembaran uang, baik dolar maupun rupiah yang berseliweran di layar televisi itu membuat jengah Gin Kurniawan, warga Bantul, DI Yogyakarta.
“Sebagai rakyat Indonesia, saya merasa sedih melihat korupsi yang sedemikian vulgar dipertontonkan di depan rakyat,” kata dia kepada VOA.
Gin bahkan menyebut situasi ini sebagai tragedi. Banyak orang kesulitan mencari makan, tetapi di sisi lain pejabat negara dan pengusaha hitam bancakan uang. Dia juga mengkritik pemerintahan Joko Widodo, yang gagal mewujudkan janji politik Nawacita, khususnya di bidang pemberantasan korupsi. Orang-orang terdekat Presiden juga tidak luput dari tindak pencurian uang rakyat ini.
“Koruptor makin sadis dan radikal, korupsi di negeri ini sudah akut. Sudah jadi endemi,” tambahnya.
Tragedi Demi Tragedi Menyelimuti Rakyat Miskin
Apa yang disampaikan Gin Kurniawan memang bukan kritik asal-asalan. Tragedi di kabupaten Tojo Una-Una, Sulawesi Tengah bisa dijadikan contoh bagaimana kemiskinan menggurita di kalangan bawah. Aparat kepolisian setempat menyelamatkan IL, anak berumur 15 tahun warga desa Kolami, Kecamatan Walea Kepulauan, yang akan dinikahkan paksa untuk membayar hutang orang tuanya. IL menolak dan meminta perlindungan ke kepala desa, tapi keluarganya datang dan memaksa IL tetap menikah dengan seorang kakek berumur lebih 60 tahun.
“Kemudian IL dipaksa naik di kapal Nusantara yang berangkat dari Desa Kolami menuju Ampana,” kata Kapolsek Walea Kepulauan, Ipda I Gusti Made Ary Candra dalam keterangan resmi Polres Tojo Una-Una yang dipublikasikan 16 Juli 2023.
Kasus di Tojo Una-Una ini hanya satu contoh, dari ratusan atau bahkan ribuan kasus di Tanah Air yang terjadi karena belitan kemiskinan. Ibu melahirkan yang tertahan karena tak mampu membayar biaya persalinan, pasien menunggak biaya perawatan, ijazah ditahan sekolah karena biaya pendidikan tak terbayar, warga bunuh diri karena hutang, hingga keluarga yang tak bisa makan.
Indonesia memiliki 26 juta penduduk miskin, di mana 5,5 juta diantaranya berada dalam kemiskinan ekstrem. Mereka yang miskin ekstrem itu, hanya mampu membelanjakan uang kurang dari Rp 20 ribu sehari. Sementara di televisi, rakyat belakangan makin terbiasa menonton bagaimana miliaran uang terpampang sebagai bukti dalam kasus-kasus korupsi sungguhan, bukan plot sinetron.
Kenyataan yang Terabaikan
Bagi rakyat Indonesia, tumpukan uang para koruptor itu menjadi hiperrealitas, kata sosiolog Universitas Widya Mataram, Yogyakarta, Dr Mukhijab. Istilah hiperrealitas merujuk pada keadaan di mana kenyataan dan fantasi menjadi tidak jelas batasnya.
Karena hiperrealitas itu pula, masyarakat Indonesia sudah tidak marah, tidak mengamuk, tidak berdemonstrasi, bahkan tidak bereaksi oleh kasus-kasus korupsi bernilai miliaran itu, padahal mereka hanya mampu memegang uang ratusan ribu rupiah dalam sebulan. Uang hasil korupsi yang terpampang di televisi itu, seolah tidak nyata atau fantasi belaka.
“Ini menjadi sesuatu yang disebut oleh Jean Baudrillard sebagai simulakrum. Benar mereka melakukan penangkapan, tetapi apakah penangkapan itu menyebabkan ada sesuatu, yang membuat keadaan menjadi lebih baik?” kata Mukhijab.
Mukhijab menjelaskan itu dengan merunut bagaimana respons masyarakat pada 2005 lalu, ketika kasus tangkap tangan terduga korupsi dilakukan KPK pertama kali. Bertahun-tahun setelah itu, aksi tangkap tangan terus terulang dan tumpukan uang selalu dipamerkan. Awalnya, kata Mukhijab, masyarakat masih terkejut, terlebih karena bukan hanya KPK, polisi dan kejaksaan juga melakukan upaya serupa.
Dari satu kasus ke kasus yang lain, masyarakat kemudian menyadari bahwa korupsi terus terjadi. Tidak muncul efek jera yang diharapkan, dan pejabat publik seolah bergantian melakukan korupsi, ditangkap, dipamerkan dan dipenjara.
“Ada harapan yang tidak terjawab oleh para penegak hukum. Apakah penangkapan itu menimbulkan efek jera. Sejauh ini, masyarakat memandang itu tidak terjadi. Ada parade pejabat menumpuk uang, korupsi dengan berbagai cara, ditangkap dan menjadi prestasi penegak hukum, tapi dianggap tidak ada apa-apanya, itu satu hal yang biasa saja di mata masyarakat,” bebernya.
Mukhijab menambahkan, “Jadi, memamerkan uang hasil korupsi itu menjadi sebuah hiperrealitas saja. Memang ada uang yang disita, tapi itu biasa saja karena tidak ada dampak apa-apa. Masyarakat tidak marah, karena mereka muak.”
Respons dingin masyarakat muncul, karena setelah rangkaian penangkapan dan pameran uang miliaran selama rutin selama bertahun-tahun, harapan untuk bebas korupsi gagal terwujud.
Korupsi Jalan Terus
KPK pun mengakui, upaya penindakan terhadap para koruptor selama bertahun-tahun ini tidak membuat mereka jera. Setidaknya itu tercermin, dari pernyataan Ketua KPK Firli Bahuri, dalam konferensi pers pada 14 Juli 2023 lalu.
“Apakah dengan penindakan, korupsi berhenti? Tidak. Karena itu KPK berpikir, penegak hukum sudah kuat, regulasinya sudah kuat, tapi orang masih melakukan korupsi. Salahnya di mana?” ujar dia.
Mengubah perilaku saat ini menjadi salah satu program KPK, dan itu bisa dicapai melalui pendidikan antikorupsi.
Firli mengungkap statistik tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh para penyelenggara negara, yang dicatat sejak KPK didirikan sejak hampir dua puluh tahun lalu.
“Dari sejak tahun 2004 sampai dengan 2023 sekarang, bulan Juli ini, total tersangka kasus korupsi yang ditangani oleh KPK, 1.615. Sampai hari ini,” kata Firli.
Firli merinci, dalam dua dekade itu, dari klaster kepala daerah saja sudah ada 161 bupati/walikota dan 24 gubernur yang ditangkap. Di klaster politisi, baik itu anggota DPR maupun DPRD, total ada 344 orang yang ditangkap KPK. Pejabat, mulai dari eselon 1 sampai 4, sudah ada 351 orang yang ditahan, sedangkan pihak swasta berjumlah 404 orang.
Data mencatat, di dua periode era pemerintahan Jokowi ada lima menteri yang kesandung kasus korupsi. Mereka adalah eks menteri Kominfo Johnny G Plate, eks Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi, eks Menteri Sosial Idrus Marham, eks Menteri Sosial Juliari Batubara, dan eks Menteri KKP Edhy Prabowo.
Sementara di era Susilo Bambang Yudhoyono yang juga berlangsung 2 periode, ada empat menteri masuk bui. Mereka adalah eks Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari, eks Menteri Olahraga Andi Mallarangeng, eks Menteri Agama Suryadharma Ali, dan eks Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Wacik.
Dihitung dari nilai kerugian, ada tiga kasus korupsi yang ditangani Kejaksaan Agung dengan nilai kerugian terbesar dalam sejarah. Ketiganya adalah kasus yang membelit konglomerat sawit Surya Darmadi dengan kerugian negara diperkirakan Rp78 triliun, mega korupsi di BUMN Asabri senilai Rp23 triliun, dan korupsi di BUMN lain yaitu Jiwasraya dengan catatan kerugian negara sekitar Rp 17 triliun.
Uang Tak Bertuan
Sudah sepekan sejak pengacara Maqdir Ismail dan sejumlah asistennya, mengeluarkan uang $1,8 juta dolar dari bagasi mobil, menentengnya di depan kamera jurnalis, dan menyerahkannya ke Kejaksaan Agung; masih belum diketahui siapa pemilik uang itu dan untuk apa diserahkan pada mereka.
“Pandalaman-pendalaman masih kami perlukan dalam rangka untuk menentukan status uang tersebut. Apakah benar bisa dipergunakan untuk alat bukti, atau untuk memulihkan kerugian negara, atau malah sekedar barang temuan,” kata Kuntadi, Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jam Pidsus) dalam konferensi pers pada 13 Juli 2023 lalu.
Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Zaenur Rohman, menyebut uang tunai dalam kasus-kasus korupsi, seperti dalam kasus BTS Kominfo, adalah penghindaran dari deteksi Pusat Pelaporan dan Analisia Transaksi Keuangan (PPATK).
“PPATK itu kan fungsinya sebagai financial intellegent unit, mengawasi segala macam bentuk transaksi keuangan, khususnya yang melalui perbankan. Sehingga ketika ada uang cash dalam jumlah yang sangat besar, 1,8 juta dollar, itu artinya memang merupakan bentuk upaya menghindari deteksi dari aparat penegak hukum,” kata Zaenur Rohman.
Seharusnya, kondisi semacam ini menjadi peringatan serius bagi aparat penegak hukum terkait upaya para koruptor mengakali pantauan mereka.
Namun, dalam kaitan kasus BTS Kominfo ini, menurut Zaenur, ada tindakan lucu dan aneh yang harus juga diperhatikan. Salah satu pihak yang diduga terlibat dalam kasus ini, pernah memamerkan tumpukan uang dalam jumlah yang kira-kira sama, melalui akun media sosialnya.
“Menurut saya, ini merupakan bentuk sikap sok pamer dari pihak-pihak yang diduga terkait dengan tidak pidana korupsi. Memamerkan uang, mungkin sebagai lambang keberhasilan. Padahal uang tersebut diduga berasal dari tindak pidana,” ujarnya.
Penegak hukum harus mengusut tindak pamer uang itu dan memastikan, apakah uang cash dalam foto yang viral itu sama dengan uang $1,8 juta yang akhirnya dititipkan ke Kejaksaan Agung
Efek Kejut Baru
Indonesia dinilai membutuhkan kutan baru dalam upaya penanggulangan korupsi, karena pamer duit miliaran bukti kejahatan sudah dianggap biasa di mata rakyat.
“Kita perlu membuat evaluasi, apakah tangkap tangan itu sesuatu yang istimewa,” kata sosiolog Dr Mukhijab.
Penegak hukum harus melakukan introspeksi, apakah hukuman yang diterima koruptor sudah sesuai dengan harapan masyarakat. Barangkali, diperlukan terobosan baru dengan memperberat hukuman atau penyitaan harta koruptor
“Dari sinilah mungkin masyarakat akan kembali surprise, kembali respek, bahwa pameran onggokan uang akan berakhir pada efek jera kepada calon koruptor berikutnya,” tandas Mukhijab.
Sedangkan Zaenur Rohman, dengan nada positif masih berharap agar aliran uang tunai di kalangan pelaku korupsi bisa dicegah melalui instrumen hukum. Salah satu yang paling penting adalah UU Pembatasan Transaksi Uang Kartal. Rancangan undang-undang ini kini mandeg di DPR.
“Tujuannya, agar seluruh pencatatan, seluruh transaksi dalam jumlah besar harus menggunakan instrumen perbankan, sehingga tercatat. Itu semakin menyusahkan orang melakukan tindak pidana,” ujar Zaenur.
Dia menambahkan, “Kasus-kasus korupsi yang mempertontonkan uang tunai ini, menjadi bukti bahwa sangat penting bagi negara untuk meminimalisir kemudahan para pelaku tindak pidana korupsi bertransaksi menggunakan uang cash.” [ns/em]
Forum