Jumlah insiden kejahatan bermotif kebencian atau hate crime yang dilaporkan di Amerika Serikat melonjak 17 persen tahun lalu menjadi lebih dari 7.000 – kenaikan terbesar sejak 2001 sewaktu serangan teroris 11 September menyebabkan lonjakan kejahatan semacam itu.
Peningkatan itu, yang dilaporkan FBI hari Selasa (13/11), menandai tahun ke-tiga peningkatan hate crime, dan mencakup kenaikan di atas 10 persen dalam insiden anti-Arab dan anti-Semit.
Laporan itu muncul dua pekan setelah seorang pendukung supremasi kulit putih menewaskan 11 orang di sebuah sinagoge di Pittsburgh, menimbulkan lagi perdebatan mengenai meningkatnya hate crime dan seruan bagi pemerintahan Trump agar berbuat lebih banyak untuk membendung arus kejahatan seperti ini.
FBI, yang mengumpulkan data hate crime dari badan-badan penegak hukum di seluruh Amerika, mendefinisikan hate crime adalah “pelanggaran kriminal terhadap seseorang atau properti yang seluruhnya atau sebagian dimotivasi oleh bias pelaku terhadap ras, agama, disabilitas, orientasi seksual, etnis, gender atau identitas gender.”
Pada tahun 2015 dan 2016, hate crime naik masing-masing 6,8 persen dan 4.6 persen.
Ras dan etnik masih menjadi penggerak terbesar hate crime pada tahun 2017. Lebih dari 2.000 insiden kebencian anti-orang kulit hitam dilaporkan, atau hampir setengah dari semua kejahatan yang dimotivasi oleh ras atau etnik. Kejahatan anti-Arab berlipat dua menjadi 102 insiden.
Agama menduduki tempat ke-dua sebagai pendorong hate crime dengan insiden berlatar belakang agama naik 23 persen. Insiden anti-Yahudi melonjak 37 persen menjadi 938 insiden.
Kejahatan anti-Muslim berkurang, tetapi masih di atas tingkat historis, dengan 273 insiden anti-Muslim. Dalam tahun 2015 dan 2016, kejahatan anti-Muslim naik hampir 90 persen. [uh]