Rasanya yang gurih dan manis membuat apem populer, khususnya bagi masyarakat Jawa Tengah. Kue berbentuk bundar yang dibuat dari tepung beras ini bisa didapat dengan mudah di pasar-pasar atau toko-toko jajanan tradisional.
Nilai filosofi
Begitu populernya apem, penganan itu menjadi pelengkap dalam tradisi ruwahan di mana orang berkumpul dan mengenang leluhur kemudian saling berbagi makanan.
Kini, banyak orang yang tidak tahu sejarah apem, dan mengapa kue itu selalu tersedia dalam tradisi ruwahan, kata KRT Widyacandra Ismayaningrat. Ketua Kelompok Sadar Wisata Hudanyasari di Kemantren Kraton Yogyakarta ini menjelaskan kaitan tradisi ruwahan dan festival apem: “Apem dari kata ampunan, di mana kita diminta agar selalu meminta maaf kepada Tuhan dan mendoakan leluhur kita agar diampuni kesalahannya pada masa lalu.”
Widyacandra menambahkan bahwa sebenarnya tidak hanya apem yang disajikan, tetapi juga ketan dan kolak.
“Ketan dari kata “keraketan” atau kedekatan. Itu simbol dari silaturahim. Kemudian kolak, dari bahasa Arab, akhlak, mulia, supaya kita selalu mengingat apapun yang telah dilakukan oleh pendahulu kita, agar kita hormati.”
Wahana Pariwisata
Mengingat Yogyakarta adalah salah satu daerah tujuan wisata, pemerintah daerah kota Yogyakarta memanfaatkan ruwahan sebagai tradisi yang masuk ke agenda pariwisata. Awal Maret lalu, mereka menggelar Festival Apem selama dua hari.
Kepala Dinas Pariwisata kota Yogyakarta, Wahyu Hendratmoko mengatakan bahwa Yogyakarta menyimpan ritual, adat istiadat, dan budaya leluhur yang berlangsung secara turun-menurun.
“Mereka konsisten melakukan itu secara massal. Jadi, masyarakat melaksanakan kegiatan ruwahan apem. Nah, acara ini bisa mengangkat potensi kota Yogyakarta yang bersumber dari budaya maupun seni,” ujarnya.
Wahyu menambahkan peristiwa budaya semacam ini bisa menjadi daya tarik wisatawan, terutama wisatawan asing. Karenanya, panitia Festival Apem mengambil tempat acara di lingkungan Pasar Kembang yang langsung menembus jalan ikonik, Malioboro.
“Masing-masing kampung mengeluarkan tidak hanya gunungan, tetapi juga model (tumpukan apem) yang dipikul dan membawa tambir yang berisikan apem. Kue bundar itu kemudian dibagikan ke tamu-tamu hotel. Ada 11 hotel yang dilewati, dan (tamu-tamu) juga menonton arak-arakan itu. Mereka sangat antusias berebut apem yang sudah dimasak oleh warga dan didoakan dalam kenduri.”
Selain Festival Apem, dalam kalender pariwisata Yogyakarta juga mencatat adanya festival-festival lain yang telah disusun dalam setahun, di antaranya Festival Topeng.
Sementara bagi KRT Widyacandra yang setiap tahun terlibat dalam upacara tradisional di Kadipaten Kraton Yogyakarta mengatakan, ratusan apem dirangkai dan digantungkan ke bentuk gunungan apem yang kemudian dikirab (diarak) di wilayah itu. Apem kemudian dibagikan ke masyarakat. Ia menjelaskan filosofi apem:
“Apem yang bulat mewujudkan tekad supaya masih punya semangat untuk melakukan semua ajaran yang ada. Gunungan sendiri juga melambangkan keesaan, bentuknya yang meruncing ke atas berarti untuk Tuhan Yang Maha Esa.”
Seribu apem
Festival Apem untuk tradisi ruwahan melibatkan masyarakat dan bahkan wisatawan asing. Mereka ikut mencicipi dan mencoba memasak apem.
Tri Wahyu Widayati, 64, yang akrab dipanggil Bu Yayuk, sudah 46 tahun ini membuat penganan pelengkap tradisi ruwahan: apem, ketan dan kolak. Ia mengatakan kepada VOA: “Kebetulan ibu saya menerima katering, termasuk yang spesial yaitu apem. Saya lanjutkan usahanya setelah dia meninggal. Saya pernah mendapat pesanan dalam sehari, sebanyak seribu apem, untuk 200 kotak. Jadi, satu kotaknya masing-masing berisi 5 apem, satu ketan dan kolak.”
Puluhan tahun berkecimpung dalam tradisi tersebut, membuat Bu Yayuk memahami perbedaan antara kue apem untuk pesanan dari Kraton Yogyakarta dan untuk masyarakat kebanyakan. Untuk Kraton, kata Bu Yayuk, ia menggunakan resep tradisional yaitu adonan tanpa telur dan tanpa gula pasir. Biasanya memakai gula Jawa. Sedangkan pesanan untuk masyarakat, adonan dicampur telur, mentega dan gula pasir, sehingga menurutnya lebih enak, apalagi jika untuk dijual.
Seorang warga kota Yogyakarta, Theodora Lani mengungkapkan bahwa sewaktu kecil, dia akrab dengan apem. “Saya suka kue ini karena memiliki tekstur lembut dan kenyal dengan rasa manis. Biasanya masyarakat Jawa membuat apem sebelum puasa. Tapi kalau sehari-harinya kue ini bisa ditemui di pasar atau di toko roti yang menjual kudapan.”
Danang Budi Santoso dari Karanganyar, Jawa Tengah, juga mengingat apem sebagai pelengkap tradisi ruwahan.
“Kalau ruwahan, di kampung saya namanya megengan, itu bikin apem dan biasanya menjelang bulan Ramadan. Apemnya dibawa ke masjid untuk dibagikan. Nah, anak-anak menyukai (ruwahan) karena ada apemnya itu. Kalau saya pribadi masih terkesan apem itu karena megengan atau ruwah tadi.”
Ruwahan bertujuan mendoakan agar dapat menjalani bulan suci Ramadan tanpa tergoda hal-hal negatif hingga hari Lebaran tiba. Kegiatan membagikan makanan dalam bentuk kue apem, kolak dan ketan adalah bentuk sedekah dan kedekatan antarmasyarakat. [ps/ka]
Forum