Presiden Filipina Benigno Aquino mengambil ancang-ancang untuk melawan gereja Katolik yang berkuasa di negaranya dalam upaya menyediakan akses gratis pada masyarakat untuk membatasi jumlah kelahiran.
Negara berpenduduk mayoritas Katolik itu memiliki angka pertumbuhan penduduk yang termasuk paling cepat di Asia di tengah tingkat kemiskinan kronik yang signifikan. Saat para negara tetangga sedang mempercepat pertumbuhan menuju kemakmuran, Filipina telah tertinggal.
Para ekonom mengatakan bahwa tingginya pertumbuhan penduduk merupakan faktor utama ketertinggalan tersebut, namun pihak gereja tidak setuju. Gereja mengatakan bahwa pertumbuhan penduduk bukanlah sebab kemiskinan dan bahwa orang memerlukan pekerjaan, bukannya kontrasepsi.
Aquino, yang juga beragama Katolik seperti 80 persen penduduk, mendukung rancangan undang-undang kesehatan reproduksi yang, jika disahkan oleh Kongres, akan menjamin akses terhadap pengendalian kelahiran gratis dan mendorong pendidikan seks.
Dan itu merupakan sesuatu yang bermanfaat bagi Liza Cabiya-an, jika ia memiliki akses tersebut. Cabiya-an, 39, memiliki 14 anak berusia antara 11 bulan sampai 22 tahun. Keluarganya tinggal dalam gubuk di daerah kumuh di Manila.
“Sangat sulit jika Anda memiliki begitu banyak anak,” ujar Cabiya-an, seraya tersenyum malu dan memperlihatkan giginya yang buruk.
"Saya harus menghitung mereka satu persatu sebelum tidur untuk meyakinkan tidak ada yang hilang.”
Suatu kali, Cabiya-an memiliki akses terhadap kontrasepsi namun walikota Manila Jose Atienza, seorang penganut Katolik yang taat, melarang kontrasepsi dari klinik pemerintah pada 2000.
Setelah itu, Cabiya-an melakukan usaha setengah-setengah untuk membatasi kelahiran karena sumber daya yang terbatas. Ia sempat makan pil, tidak menggunakannya lagi dan melakukan aborsi ilegal lebih dari satu kali.
Dengan penghasilan hanya sekitar 7,600 pesos (US$180) per bulan dari upah mencuci dan pekerjaan suami sebagai buruh, Cabiya-an hanya mampu menyekolahkan lima anaknya. Yang lain sepertinya akan bernasib seperti seperempat penduduk Filipina yang mencapai 95 juta yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Kontrasepsi tersedia secara umum di Filipina namun tingkat pemakaian tidak setinggi negara-negara lain.
Di Filipina, 45-50 persen perempuan dengan usia reproduktif, atau pasangannya, menggunakan metode kontrasepsi. Angka tersebut di bawah Indonesia (56 persen) dan Thailand (80 persen).
Pertumbuhan penduduk mencerminkan situasi tersebut. Penduduk Filipina tumbuh 1,9 persen per tahun, sementara Indonesia 1,2 persen dan Thailand 0,9 persen. Tiongkok mengalami pertumbuhan penduduk 0,6 persen per tahun.
"Jika akses kontrasepsi untuk perempuan ditingkatkan…kelahiran dapat dihindari,” ujar Josefina Natividad, direktur Lembaga Kependudukan di Universitas Filipina.
Meski tersedia di banyak tempat, harga kontrasepsi tidak terjangkau oleh banyak orang. Namun hal itu akan berubah jika RUU kesehatan reproduksi disahkan. Pemerintahan Aquino telah menjanjikan apa yang disebut pertumbuhan inklusif, dan mereka melihat perlambatan pertumbuhan penduduk sebagai kunci ke arah itu.
“Dengan risiko dikucilkan gereja, presiden sudah mendeklarasikan RUU itu sebagai prioritas,” ujar Menteri Anggaran Florencio Abad. "Pesan itu sangat jelas. "
Negara Terhambat
Namun pesan itu tidak disukai oleh pihak gereja. Pihak gereja mengatakan bahwa kontrasepsi artifisial itu tidak bermoral, dan RUU tersebut akan membuka jalan untuk legalisasi aborsi. RUU tersebut tidak melegalisasi aborsi meski ingin meningkatkan layanan bagi perempuan yang menderita komplikasi setelah aborsi ilegal.
Gereja mengatakan bahwa orang-orang seharusnya menggunakan mekanisme keluarga berencana yang alami. Kemiskinan adalah sebab, bukan dampak dari tingginya angka kelahiran, menurut gereja. Anak-anak yang lahir dalam rumah yang tidak memiliki makanan yang cukup adalah karena pemerintah gagal mengakhiri korupsi dan menyediakan lapangan pekerjaan, ujar para uskup.
“Keyakinan kami adalah bahwa kontrasepsi tidak akan pernah menjadi jawaban,” ujar Romo Melvin Castro, sekretaris eksekutif Konferensi Uskup Katolik pada Komisi Episkopal Filipina untuk Keluarga dan Kehidupan.
“Mereka miskin bukan karena tidak memiliki akses terhadap kontrasepsi namun karena mereka tidak memiliki pekerjaan. Beri mereka pekerjaan dan hal itu akan menjadi penjaga jarak kelahiran yang efektif untuk mereka.”
Para ekonom mengatakan bahwa oposisi yang kuat dari pihak gereja telah menjadi faktor terpenting yang mempengaruhi kebijakan kependudukan.
“Negara tak dapat bergerak secara efektif dalam mengatasi isu ini karena posisi yang keras dari hierarki gereja Katolik,” tulis sebuah kelompok beranggotakan 30 ekonom dari Universitas Filipina dalam sebuah makalah yang diterbitkan baru-baru ini.
Namun meski ada argumen dari gereja dan lawan politik yang menentang penggunaan dana negara untuk membiayai kontrasepsi, sebuah survei tahun lalu menunjukkan bahwa 70 persen penduduk mendukung RUU tersebut. Para pendukung berharap RUU itu disahkan selama periode kerja Kongres saat ini, yang berakhir Juni mendatang.
Para ekonom mengatakan bahwa jika Filipina ingin memanfaatkan “dividen demografi”, dimana sekelompok besar angkatan kerja muda meningkatkan jumlah simpanan dan investasi untuk mendorong ekonomi, negara tersebut harus menurunkan angka kelahiran.
Usia rata-rata di Filipina hanya 22,2, dibandingkan 25 di Malaysia, 25,1 di India dan 27,8 di Indonesia. Tidak seperti negara-negara semacam Jepang yang memiliki jumlah manula yang tinggi yang memberikan beban pada penduduk yang bekerja, di Filipina anak-anaklah yang menghabiskan sumber daya yang seharusnya bisa dialihkan ke tabungan dan investasi.
Ada 58 tanggungan untuk setiap 100 orang dengan usia bekerja di Filipina, menurut data World Bank, dibandingkan dengan 40 di Indonesia dan 29 di Thailand.
"Jendela demografi hanya akan terbuka jika angka kelahiran turun sehingga populasi usia muda tumbuh lebih lambat dibandingkan populasi usia kerja,” ujar Arsenic Balisacan, Menteri Perencanaan Sosioekonomi.
Dukungan Aquino terhadap kontrasepsi bebas adalah sesuatu yang mengejutkan. Almarhum ibunya, Corazon Aquino, naik ke tampuk kekuasaan dalam puncak revolusi kekuasaan rakyat, yang didorong oleh gereja dan menumbangkan diktator tua Ferdinand Marcos pada 1986.
Marcos membuah keluarga berencana sebuah prioritas mulai 1960an dan memasukkan program tersebut dalam konstitusi pada 1973. Namun Corazon Aquino, sadar akan bantuan gereja dalam gerakan demokrasi, menghapus klausa tersebut ketika konstitusi diamandemen pada 1987. (Reuters/Karen Lema)
Negara berpenduduk mayoritas Katolik itu memiliki angka pertumbuhan penduduk yang termasuk paling cepat di Asia di tengah tingkat kemiskinan kronik yang signifikan. Saat para negara tetangga sedang mempercepat pertumbuhan menuju kemakmuran, Filipina telah tertinggal.
Para ekonom mengatakan bahwa tingginya pertumbuhan penduduk merupakan faktor utama ketertinggalan tersebut, namun pihak gereja tidak setuju. Gereja mengatakan bahwa pertumbuhan penduduk bukanlah sebab kemiskinan dan bahwa orang memerlukan pekerjaan, bukannya kontrasepsi.
Aquino, yang juga beragama Katolik seperti 80 persen penduduk, mendukung rancangan undang-undang kesehatan reproduksi yang, jika disahkan oleh Kongres, akan menjamin akses terhadap pengendalian kelahiran gratis dan mendorong pendidikan seks.
Dan itu merupakan sesuatu yang bermanfaat bagi Liza Cabiya-an, jika ia memiliki akses tersebut. Cabiya-an, 39, memiliki 14 anak berusia antara 11 bulan sampai 22 tahun. Keluarganya tinggal dalam gubuk di daerah kumuh di Manila.
“Sangat sulit jika Anda memiliki begitu banyak anak,” ujar Cabiya-an, seraya tersenyum malu dan memperlihatkan giginya yang buruk.
"Saya harus menghitung mereka satu persatu sebelum tidur untuk meyakinkan tidak ada yang hilang.”
Suatu kali, Cabiya-an memiliki akses terhadap kontrasepsi namun walikota Manila Jose Atienza, seorang penganut Katolik yang taat, melarang kontrasepsi dari klinik pemerintah pada 2000.
Setelah itu, Cabiya-an melakukan usaha setengah-setengah untuk membatasi kelahiran karena sumber daya yang terbatas. Ia sempat makan pil, tidak menggunakannya lagi dan melakukan aborsi ilegal lebih dari satu kali.
Dengan penghasilan hanya sekitar 7,600 pesos (US$180) per bulan dari upah mencuci dan pekerjaan suami sebagai buruh, Cabiya-an hanya mampu menyekolahkan lima anaknya. Yang lain sepertinya akan bernasib seperti seperempat penduduk Filipina yang mencapai 95 juta yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Kontrasepsi tersedia secara umum di Filipina namun tingkat pemakaian tidak setinggi negara-negara lain.
Di Filipina, 45-50 persen perempuan dengan usia reproduktif, atau pasangannya, menggunakan metode kontrasepsi. Angka tersebut di bawah Indonesia (56 persen) dan Thailand (80 persen).
Pertumbuhan penduduk mencerminkan situasi tersebut. Penduduk Filipina tumbuh 1,9 persen per tahun, sementara Indonesia 1,2 persen dan Thailand 0,9 persen. Tiongkok mengalami pertumbuhan penduduk 0,6 persen per tahun.
"Jika akses kontrasepsi untuk perempuan ditingkatkan…kelahiran dapat dihindari,” ujar Josefina Natividad, direktur Lembaga Kependudukan di Universitas Filipina.
Meski tersedia di banyak tempat, harga kontrasepsi tidak terjangkau oleh banyak orang. Namun hal itu akan berubah jika RUU kesehatan reproduksi disahkan. Pemerintahan Aquino telah menjanjikan apa yang disebut pertumbuhan inklusif, dan mereka melihat perlambatan pertumbuhan penduduk sebagai kunci ke arah itu.
“Dengan risiko dikucilkan gereja, presiden sudah mendeklarasikan RUU itu sebagai prioritas,” ujar Menteri Anggaran Florencio Abad. "Pesan itu sangat jelas. "
Negara Terhambat
Namun pesan itu tidak disukai oleh pihak gereja. Pihak gereja mengatakan bahwa kontrasepsi artifisial itu tidak bermoral, dan RUU tersebut akan membuka jalan untuk legalisasi aborsi. RUU tersebut tidak melegalisasi aborsi meski ingin meningkatkan layanan bagi perempuan yang menderita komplikasi setelah aborsi ilegal.
Gereja mengatakan bahwa orang-orang seharusnya menggunakan mekanisme keluarga berencana yang alami. Kemiskinan adalah sebab, bukan dampak dari tingginya angka kelahiran, menurut gereja. Anak-anak yang lahir dalam rumah yang tidak memiliki makanan yang cukup adalah karena pemerintah gagal mengakhiri korupsi dan menyediakan lapangan pekerjaan, ujar para uskup.
“Keyakinan kami adalah bahwa kontrasepsi tidak akan pernah menjadi jawaban,” ujar Romo Melvin Castro, sekretaris eksekutif Konferensi Uskup Katolik pada Komisi Episkopal Filipina untuk Keluarga dan Kehidupan.
“Mereka miskin bukan karena tidak memiliki akses terhadap kontrasepsi namun karena mereka tidak memiliki pekerjaan. Beri mereka pekerjaan dan hal itu akan menjadi penjaga jarak kelahiran yang efektif untuk mereka.”
Para ekonom mengatakan bahwa oposisi yang kuat dari pihak gereja telah menjadi faktor terpenting yang mempengaruhi kebijakan kependudukan.
“Negara tak dapat bergerak secara efektif dalam mengatasi isu ini karena posisi yang keras dari hierarki gereja Katolik,” tulis sebuah kelompok beranggotakan 30 ekonom dari Universitas Filipina dalam sebuah makalah yang diterbitkan baru-baru ini.
Namun meski ada argumen dari gereja dan lawan politik yang menentang penggunaan dana negara untuk membiayai kontrasepsi, sebuah survei tahun lalu menunjukkan bahwa 70 persen penduduk mendukung RUU tersebut. Para pendukung berharap RUU itu disahkan selama periode kerja Kongres saat ini, yang berakhir Juni mendatang.
Para ekonom mengatakan bahwa jika Filipina ingin memanfaatkan “dividen demografi”, dimana sekelompok besar angkatan kerja muda meningkatkan jumlah simpanan dan investasi untuk mendorong ekonomi, negara tersebut harus menurunkan angka kelahiran.
Usia rata-rata di Filipina hanya 22,2, dibandingkan 25 di Malaysia, 25,1 di India dan 27,8 di Indonesia. Tidak seperti negara-negara semacam Jepang yang memiliki jumlah manula yang tinggi yang memberikan beban pada penduduk yang bekerja, di Filipina anak-anaklah yang menghabiskan sumber daya yang seharusnya bisa dialihkan ke tabungan dan investasi.
Ada 58 tanggungan untuk setiap 100 orang dengan usia bekerja di Filipina, menurut data World Bank, dibandingkan dengan 40 di Indonesia dan 29 di Thailand.
"Jendela demografi hanya akan terbuka jika angka kelahiran turun sehingga populasi usia muda tumbuh lebih lambat dibandingkan populasi usia kerja,” ujar Arsenic Balisacan, Menteri Perencanaan Sosioekonomi.
Dukungan Aquino terhadap kontrasepsi bebas adalah sesuatu yang mengejutkan. Almarhum ibunya, Corazon Aquino, naik ke tampuk kekuasaan dalam puncak revolusi kekuasaan rakyat, yang didorong oleh gereja dan menumbangkan diktator tua Ferdinand Marcos pada 1986.
Marcos membuah keluarga berencana sebuah prioritas mulai 1960an dan memasukkan program tersebut dalam konstitusi pada 1973. Namun Corazon Aquino, sadar akan bantuan gereja dalam gerakan demokrasi, menghapus klausa tersebut ketika konstitusi diamandemen pada 1987. (Reuters/Karen Lema)