DPR Filipina hari Selasa (7/3) menyetujui rancangan undang-undang untuk memulihkan hukuman mati yang dilaksanakan dengan terpidana digantung, ditembak, atau disuntik untuk tindak kejahatan menyangkut narkoba, meskipun RUU ini ditentang Gereja Katolik dan kelompok-kelompok HAM.
DPR Filipina mengatakan 216 anggota mendukung RUU itu, 54 menentang, dan 1 abstain dalam pemungutan suara hari Selasa. Dengan demikian janji kampanye presiden Rodrigo Duterte untuk memulihkan hukuman mati untuk penjahat kelas berat, terutama bandar narkoba, semakin mendekati kenyataan.
Dalam versi RUU sebelumnya, hukuman mati dapat diterapkan untuk beberapa kejahatan termasuk kejahatan ekonomi di negara yang marak dengan skandal korupsi namun kemudian para legislator sepakat untuk hanya memberlakukannya untuk pelanggaran menyangkut narkoba, termasuk memproduksi dan memperdagangkan narkoba.
RUU yang disetujui DPR harus dipadukan dengan RUU yang masih dibahas Senat dan kemudian ditandatangani presiden sebelum berlaku sebagai undang-undang. Baik DPR maupun Senat Filipina dikuasai oleh sekutu-sekutu Duterte.
Para pendukung RUU itu berpendapat hukuman mati akan membantu memerangi ancaman narkoba, yang oleh Duterte telah diangkat menjadi ancaman keamanan nasional. Tindakan anti-narkoba yang dilancarkan Duterte telah membuat ribuan tersangka pelaku kejahatan narkoba tewas sejak ia memegang jabatan bulan Juni tahun lalu.
Para penentangnya yang dipimpin gereja Katolik yang memegang peran dominan di Filipina melancarkan protes anti hukuman mati yang diikuti lebih dari 10 ribu pengunjuk rasa di Manila tiga pekan yang lalu. Lebih dari 200 aktivis memrotes hukuman mati di depan gedung DPR sementara pemungutan suara mengenai RUU itu berlangsung hari Selasa.
Organisasi HAM Amnesty International mengatakan disetujuinya RUU itu oleh DPR menempatkan Filipina pada jalur berbahaya yang melanggar kewajiban hukuman internasional negara itu.
Amnesty Internasional mengemukakan bahwa Filipina menyetujui perjanjian tahun 2007 yang secara tegas melarang pelaksanaan hukuman mati dan berkomitmen pada penghapusan hukuman mati.
Isu ini sejak lama menimbulkan jurang perbedaan pendapat di Filipina, yang merupakan kubu agama Katolik di Asia yang juga menghadapi masalah kejahatan yang meluas. Hukuman mati dihapus di Filipina tahun 1987 tetapi diberlakukan lagi tahun 1993 untuk kejahatan-kejahatan berat seperti pembunuhan, penculikan, dan pemerkosaan anak-anak.
Presiden Gloria Macapagal Arroyo tahun 2006 kembali menghapus hukuman mati. Arroyo yang sekarang menjabat sebagai Wakil Ketua DPR mengatakan, ia memberikan suara menentang pemberlakuan kembali hukuman mati, meskipun Ketua DPR Pantaleon Alvarez, sekutu dekat Duterte, telah mengancam bahwa ketua Komisi atau pemegang kedudukan kunci lain dalam DPR akan dipecat dari jabatannya jika memberikan suara menolak RUU tersebut. [ds]