Ketika Presiden Filipina Rodrigo Duterte memanggil para pejabat keamanan untuk rapat darurat suatu Minggu malam bulan lalu, keputusannya sudah bulat.
Para kepala militer dan penegak hukum saat itu tidak mengira apa yang akan terjadi: penangguhan peran polisi dalam memimpin kampanye ciri khasnya, yakni perang tanpa ampun melawan narkoba ilegal.
Hanya ada satu alasan untuk penangguhan itu, menurut tiga orang yang menghadiri pertemuan 29 Januari kepada Reuters. Duterte murka pasukan anti-narkoba polisi tidak hanya menculik dan membunuh seorang pengusaha Korea Selatan, mereka juga telah mencekiknya sampai mati di markas besar Kepolisian Nasional Filipina.
"Ia langsung ke pokok persoalan -- 'Saya perintahkan Anda untuk membubarkan unit-unit anti-narkoba, semua unit'," ujar Menteri Pertahanan Delfin Lorenzana, yang hadir dalam pertemuan di istana kepresidenan.
Duterte memutuskan bahwa Badan Penegakan Narkoba Filipina (PDEA) akan mengambil alih penumpasan narkoba, dengan bantuan militer.
Perubahan tersebut sesuatu yang luar biasa bagi Duterte, yang sampai saat itu mendukung polisi sepenuhnya di tengah tuduhan bahwa polisi bersalah melakukan pembunuhan ekstrayudisial dan berkolusi dengan para pembunuh bayaran, dalam kampanye yang telah menghabisi lebih dari 7.600 nyawa, sebagian besar pengedar dan pengguna narkoba, selama tujuh bulan.
Presiden yang blak-blakan itu telah berulang kali menepis seruan dari PBB, Amerika Serikat dan Uni Eropa untuk menghentikan perang anti-narkobanya, dengan menyebut mereka bodoh dan 'anak pelacur'. Para pembantu Duterte telah terbiasa dengan gayanya yang berubah-ubah, namun mereka terkejut karena pembunuhan seorang warga asing akan cukup menghentikannya.
Salah satu penjelasan adalah bahwa hubungan dengan Korea Selatan sangat penting bagi Filipina dalam hal bantuan pembangunan, pariwisata, tenaga kerja luar negeri dan perangkat keras militer.
Namun para pejabat keamanan mengatakan keberanian membunuh Jee Ick-joo dan upaya untuk menggunakan perang terhadap narkoba untuk menutup-nutupi penculikan dan penebusan telah memicu keputusannya.
"Ini tentang Korea. Sampai ini bisa terjadi benar-benar membuatnya berang," ujar Lorenzana kepada Reuters.
Direktur Jenderal PDEA Isidro Lapena, yang juga hadir dalam pertemuan itu, juga tidak memperkirakan hal itu. Ia mengatakan dalam sebuah wawancara bahwa presiden telah mengecam polisi dan mengatakan kepada mereka bahwa "deaktivasi" dan pembubaran unit-unit anti-narkoba polisi sekarang sama pentingnya dengan perang narkoba itu sendiri.
Kepala Kepolisian Jenderal Ronald dela Rosa mengatakan kepada Reuters bahwa Duterte "sangat marah" dengan insiden tersebut dan, setelah rapat tersebut, presiden secara publik menyebut pasukan polisi "korup ke akar-akarnya."
"Terlalu Jelas"
Penasihat hukum presiden, Salvador Panelo, mengatakan Duterte, yang bekas jaksa penuntut, membuat keputusan berdasarkan aturan hukum. Tuduhan-tuduhan para aktivis terhadap eksekusi-eksekusi tidak memiliki bukti, ujarnya, namun bagi Duterte, pembunuhan Jee tak terbantahkan, lancang dan memalukan.
"Tindak kejahatannya terlalu jelas," katanya.
Khawatir insiden itu dapat merusak citra Filipina di Korea Selatan, Duterte mengirim Panelo ke Seoul untuk meminta maaf kepada penjabat presiden Hwang Kyo-ahn.
Seoul adalah pemasok terbesar Manila untuk perangkat keras militer, menyumbang atau menjual jet-jet tempur, kapal patroli, frigata dan truk.
Sekitar 1,4 juta warga Korea Selatan mengunjungi Filipina dalam 10 bulan pertama 2016 -- seperempat dari seluruh kedatangan turis -- yang datang karena tertarik dengan pantai, golf dan industri seks. Turis-turis Korea membelanjakan rata-rata US$180-$200 per hari, dan keseluruhan pengeluaran mereka tiga kali lipat dari turis AS.
Korea Selatan adalah sumber terbesar ke lima Filipina untuk bantuan pembangunan dan pada 2015 menginvestasikan $520 juta untuk sektor-sektor pembangkit listrik, pariwisata dan manufaktur elektronik.
Sekitar 55.000 warga Filipina bekerja di Korea Selatan dan Filipina menarik warga Korea untuk belajar Bahasa Inggris, mencapai lebih dari 3.700 orang tahun lalu.
Seorang diplomat Korea Selatan di Manila mengatakan tidak ada ancaman atau tekanan terhadap pemerintah Filipina atas pembunuhan pengusaha itu, namun Seoul menginginkan jaminan keamanan untuk warga-warga negaranya dan iklim investasi yang aman.
Hoik Lee, presiden Kamar Dagang Korea di Filipina, mengatakan orang-orang Korea Selatan semakin merasa tidak aman di negara itu.
Keanggotaan organisasi tersebut telah meningkat dari 20 perusahaan tahun 1995 menjadi 500 perusahaan sekarang, termasuk Samsung Electro-Mechanics, Hanjin dan LG, namun Lee memperkirakan komunitas Korea telah menciut sekitar sepertiganya menjadi 100.000 orang sejak 2013 meskipun perekonomian Filipina diperkirakan cemerlang.
"Polisi seharusnya melindungi kami bukan membunuh kami," ujar Lee. "Itu sebabnya kami sangat kesal dan sangat terkejut."
Jumlah orang Korea yang dibunuh di Filipina rata-rata sekitar 10 orang setiap tahun, sepertiga dari semua warga Korea yang dibunuh di luar negeri, menurut kementerian luar negeri di Seoul.
Namun, warga Korea Selatan adalah pelaku kejahatan selain juga korban di Filipina, ujar Grup Investigasi dan Deteksi Kriminal di kepolisian, yang memiliki unit Korea untuk menangani kasus-kasus penculikan, pembunuhan, perampokan, pencurian, pemerasan dan penipuan, sebagian besar di komunitas-komunitas Korea, dimana mafia-mafia beroperasi. [hd]