Menteri Pertahanan Filipina, Selasa (23/11), menuduh pasukan penjaga pantai China melakukan "intimidasi dan pelecehan" setelah sejumlah personel Angkatan Laut Filipina difilmkan dan difoto sedang menurunkan barang di Laut China Selatan yang disengketakan.
Ketegangan di perairan yang kaya sumber daya alam itu telah meningkat dalam sepekan terakhir setelah kapal penjaga pantai China menembakkan meriam air ke kapal-kapal Filipina yang mengirimkan pasokan ke pasukan marinirnya di Dangkalan Thomas Kedua di Kepulauan Spratly yang diperebutkan.
Manila menyatakan kemarahannya atas serangan yang memaksa kapal-kapal Filipina itu untuk membatalkan misi mereka. Namun Beijing mengatakan kapal-kapal itu telah memasuki perairannya tanpa izin.
China mengklaim hampir semua jalur perairan itu. Klaim China atas perairan yang dilintasi perdagangan bernilai triliunan dolar setiap tahunnya itu bersaingan dengan klaim-klaim dari Brunei, Malaysia, Filipina, Taiwan, dan Vietnam.
Beijing telah mengabaikan putusan Pengadilan Arbitrase yang berbasis di Den Haag pada 2016 yang menyatakan bahwa klaim historis China tidak berdasar atas jalur perairan itu.
Dua kapal sipil yang diawaki oleh personel Angkatan Laut Filipina melakukan upaya lain untuk mencapai pasukannya di Dangkalan Thomas Kedua, dan tiba di lokasi "tanpa insiden yang tidak diinginkan" pada hari Selasa, kata Menteri Pertahanan Filipina Delfin Lorenzana.
Namun tiga orang di perahu karet yang dikerahkan oleh kapal penjaga pantai China di dekatnya mengambil foto dan video saat "personel dan kargo" turun dari kapal-kapal itu, kata Lorenzana.
"Saya telah berkomunikasi dengan duta besar China bahwa kami menganggap tindakan ini sebagai bentuk intimidasi dan pelecehan," tambahnya.
Kedutaan China di Manila belum menanggapi permintaan komentar dari kantor berita AFP.
Setelah China menduduki karang Mischief pada pertengahan 1990-an, Filipina menempatkan kapal Angkatan Lautnya di dekat Dangkalan Thomas Kedua untuk menegaskan klaim teritorial Manila. Sejumlah anggota pasukan marinir Filipina di tempatkan di sana.
Insiden pada Selasa (23/11) terjadi sehari setelah Presiden Filipina Rodrigo Duterte mengecam gejolak terbaru di laut itu pada KTT regional Asia yang diselenggarakan oleh Presiden China Xi Jinping.
"Kami membenci kejadian baru-baru ini di Dangkalan Ayungin dan mengamati perkembangan serupa lainnya dengan keprihatinan serius," kata Duterte dalam pertemuan tersebut, menggunakan nama Filipina untuk dangkalan tersebut. "Ini tidak baik untuk hubungan antara negara kita dan kemitraan kita."
Pernyataan Duterte luar biasa kuat untuk seorang pemimpin yang telah memupuk hubungan yang lebih hangat dengan Beijing sejak mengambil alih kekuasaan pada 2016 dengan harapan mendapatkan investasi dan perdagangan yang dijanjikan. [ab/uh]