Pukul 05.00, ketika masih banyak anak-anak terlelap, deru mesin pengasapan atau fogging sudah terdengar di kawasan Sariharjo, Sleman. Tidak hanya suara kencangnya yang membangunkan warga, tetapi juga bau asap menyebar masuk ke rumah-rumah. “Sudah diumumkan kalau memang mau fogging, karena sudah ada warga sini yang masuk rumah sakit,” kata Jono, ketua RT setempat.
Petugas fogging masuk ke setiap rumah warga, menyemprotkan asap ke kebun dan saluran air untuk memastikan setiap titik kampung terlewati. Cara ini diyakini mampu membantu melawan serangan nyamuk Aedes aegypti yang membuat salah satu warga masuk rumah sakit.
Namun, apakah keyakinan masyarakat itu benar?
Dr Riris Andono Ahmad menerangkan, tidak semua upaya fogging membawa dampak dalam memberantas nyamuk penyebab Demam Berdarah Dengue (DBD) itu. Bahkan, jika tidak cermat, tindakan fogging justru kontraproduktif. Riris adalah peneliti dalam World Mosquito Program di Pusat Kedokteran Tropis, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) UGM di Yogyakarta.
“Tergantung, saya tidak mengatakan efektif atau tidak karena memang ada syaratnya.
Tidak semua hal memerlukan fogging, karena fogging hanya membunuh nyamuk yang dewasa. Ketika orang banyak melakukan fogging secara mandiri, menggunakan insektisida secara bebas, maka ada kemungkinan nyamuk menjadi resisten. Nyamuk Aedes aegypti di Yogya hampir semua resisten terhadap insektisida komersial yang ada di pasaran. Ketika sudah resisten semua, maka fogging menjadi tidak efektif,” papar Riris.
Fogging Tindakan Bersyarat
Lalu, kapan fogging bisa dilakukan? Riris menyebut, fogging diperlukan ketika ditemukan kasus transmisi lokal atau penularan DBD setempat. Kegiatan ini diperlukan untuk membasmi nyamuk dewasa. Namun, catatan pentingnya, adanya transmisi lokal atau tidak harus merupakan hasil investigasi dari petugas kesehatan bukan keputusan masyarakat sendiri.
Jika salah dalam mengambil keputusan, lanjut Riris, nyamuk akan resisten terhadap insektisida. Dalam kondisi ini, ketika fogging dilakukan, nyamuk hanya pingsan, dan akan aktif kembali. Tahun ini kondisinya lebih memprihatinkan, karena fogging juga menjadi alat mencari simpati masyarakat dalam Pemilu. Banyak Caleg memfasilitasi fogging tanpa memahami betul sebab dan resiko yang ada.
Riris menyebut Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) adalah kegiatan yang lebih efektif mengendalikan serangan DBD. Namun, program ini tidak boleh dilakukan hanya ketika musim hujan saja. “ PSN jangan hanya ketika ada wabah. Nyamuk Aedes aegypti itu selalu ada. Penelitian kami di Yogya selama empat tahun terakhir, di musim kemarau maupun hujan nyamuk ini ada. Telurnya di musim kemarau tetap bisa bertahan sampai enam bulan tanpa air. Nah, dengan rutin melakukan PSN, populasi nyamuk bisa dikontrol,” tambah Riris.
Strategi “Perang” Baru
“Perang” melawan nyamuk DBD sebenarnya juga dilakukan melalui teknologi tinggi. Salah satu yang populer adalah Aplikasi Wolbachia dalam Eliminasi Dengue (AWED), yang dilakukan Pusat Kedokteran Tropis, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) UGM.
AWED dilakukan dengan memasukkan bakteri Wolbachia ke tubuh nyamuk. Wolbachia adalah genus bakteri parasit pada hewan artropoda. Infeksi Wolbachia akan menyebabkan partenogenesis atau produksi sel telur tanpa pembuahan, kematian pejantan, dan feminisasi. Dengan Wolbachia di dalam nyamuk, virus Aedes aegypti tidak mampu berkembang.
Penerapan AWED dimulai pada 2016 di sejumlah kecamatan di Kota Yogyakarta. Dalam satu tahun, upaya penyebaran nyamuk dengan Wolbachia di dalam tubuhnya, selesai dilakukan. “Dari hasil pemantauan yang dilakukan, diketahui saat ini lebih dari 90 persen nyamuk Aedes aegypti di Kota Yogyakarta sudah ber-Wolbachia,” kata Peneliti Utama dalam program ini, Prof. Adi Utarini.
Saat ini, proses penelitian dilakukan dengan keterlibatan pasien dengan gejala demam yang datang ke 18 Puskesmas di Kota Yogya dan 1 Puskesmas di Bantul, DIY. Ada 3.400 pasien yang berpartisipasi menjadi responden penelitian. Mereka berasal dari dua kawasan berbeda, yaitu kawasan dengan nyamuk ber-Wolbachia dan tidak. “Hasil studi baru bisa diketahui pada tahun 2020, tetapi setiap perkembangan selalu kita sampaikan ke Dinas Kesehatan,” tambah Adi Utarini.
Riris Andono Ahmad menyatakan, ada dua yang menentukan masa depan perang melawan nyamuk dengan teknologi Wolbachia ini. Pertama adalah hasil penelitian. Jika efektif, tentu langkah ini menjadi salah satu strategi pengendalian dengue di Indonesia. Faktor kedua adalah kesediaan pemerintah mengadopsi teknologi ini, karena dalam skala besar akan dibutuhkan pembiayaan yang tidak sedikit.
Pemetaan Gejala Serangan
Di sisi lain, Pemerintah Kota Yogyakarta saat ini sedang mengambangkan peta digital potensi demam berdarah. Heroe Poerwadi, Wakil Walikota Yogya menjelaskan, peta digital itu sudah masuk pada tahap awal permodelan. Yang dilakukan adalah mengumpulkan data-data terkait potensi munculnya kasus demam berdarah.
“Ini salah satu teknologi yang bisa dipakai untuk mengantisipasi. Peta ini akan menunjukkan wilayah-wilayah yang punya potensi tumbuh kembangnya nyamuk Aedes aegypti. Supaya kita tidak terlambat mangantisipasinya, sehingga muncul kasus. Dengan adanya peta ini, sebelum ada kasus kita sudah bisa minta ke masyarakat untuk melakukan tindakan pencegahan misalnya dengan pembersihan dan lainnya,” papar Heroe.
Peta digital ini akan memuat kondisi cuaca, suhu, kelembaban dan curah hujan di suatu kawasan pada periode tertentu. Jika angka-angka unsur tersebut mencapai titik tertentu, dan dianggap berpotensi memunculkan kasus demam berdarah, maka pemerintah setempat akan meningkatkan kewaspadaan. “Nanti kita bisa melihat, berdasar peta itu, wilayah mana saja yang punya potensi DBD. Kemudian di wilayah itu akan kita lakukan PSN dan peningkatan kewaspadaan,” tambah Heroe.
Pada 2016 di Kota Yogyakarta terjadi 1.705 kasus DBD dengan korban meninggal 13 orang. Setahun kemudian, terjadi 414 kasus dengan dua meninggal. Pada 2018 ada 113 kasus dan dua meninggal. Sementara hingga Januari 2019, dilaporkan telah terjadi 35 kasus DBD. [ns/ab]