Sebuah kelompok kemanusiaan multi-etnis, The Free Burma Rangers (FBR), membantu kelompok etnis yang tertindas, terutama di Myanmar. Kelompok itu juga melaporkan konflik selama lebih dari 25 tahun dan meningkatkan bantuan di wilayah perbatasan negara bagian Karen, tempat terjadinya serangan udara oleh tentara Myanmar belum lama ini. Free Burma Rangers telah bekerja di negara lain termasuk Sudan, Suriah, Irak, dan Kurdistan.
Di negara bagian Karen, Myanmar, ribuan pengungsi dalam negeri atau IDP, putus asa untuk mencari makanan, tempat berlindung dan bantuan medis, menyusul meningkatnya serangan pemerintah dalam beberapa pekan terakhir, termasuk serangan udara.
Bagi David Eubank, pendiri dan Direktur Free Burma Rangers (FBR), lebih dari 30 tim kini berada di negara bagian Karen, dan upaya mereka menghadapi tantangan yang sangat besar. “Tim kami bergerak ke tempat pertempuran dan kini tim kami mendampingi setiap kelompok pengungsi, memberi perawatan medis, membantu orang yang terluka atau sakit. Juga berkoordinasi untuk membawa makanan dan terpal untuk berteduh karena pengungsi bersembunyi di hutan. Mereka menceritakan pengalaman mereka dan berusaha menyebarkan berita itu sehingga orang-orang di dunia tahu apa yang sedang terjadi,” ujarnya.
Banyak di antara anggota FBR adalah etnis Karen termasuk Wakil Direktur grup itu, Ka Paw Say, yang dikenal dengan nama akrabnya, Monkey.
Sebagai seorang mantan pejuang tangguh di daerah Karenni di Myanmar, Ka Paw Say menyaksikan banyak kesedihan dan penderitaan selama bertahun-tahun di tanah airnya yang dilanda perang. Kini ia membantu mendokumentasikan pelanggaran HAM dengan mengambil foto dan video, bertujuan membantu teman dan kerabat yang masih tinggal di negara itu.
“Sekarang ini penduduk desa sedang bermasalah. Tim medis FBR kami membantu menyelamatkan mereka dari kekerasan. Pada waktu yang sama, keluarga, istri, dan anak-anak kami harus lari dan bersembunyi di hutan dan gua-gua,” ujar Ka Paw.
Ini adalah pengalaman traumatis bagi pengungsi dalam negeri (IDP), yang banyak di antaranya telah berulang kali menghadapi pergolakan pada masa lalu, dalam konflik yang berlangsung lebih dari 70 dasawarsa.
Namun, salah satu perkembangan yang paling buruk menurut Eubank, adalah metode baru serangan udara yang digunakan oleh pasukan Myanmar. “Selama lebih dari 25 tahun bekerja di negara bagian Karen, saya belum pernah menghadapi pemboman dari udara. Kini kami menghadapinya tiap hari. Hal mengejutkan lain adalah pemboman ini tidak pandang bulu. Kebanyakan menewaskan warga sipil. Tetapi itulah yang mereka lakukan di Rangoon dan kota-kota lain. Mereka membunuh warga sipil," tambahnya.
Sementara, krisis di Myanmar tidak menunjukkan tanda-tanda akan mereda, kelompok kemanusiaan baik di dalam maupun luar negeri diharapkan meningkatkan upaya bantuannya untuk semua warga sipil. [ps/jm]