Tautan-tautan Akses

Isu Iklim

G7 Bertekad Hentikan Penggunaan Bahan Bakar Fosil Lebih Cepat, Aktivis Skeptis

Para pemimimpin dunia berpose pada hari kedua KTT G7 di resor Borgo Egnazia, di Savelletri, Italia, 14 Juni 2024. (Foto: REUTERS/Guglielmo Mangiapane)
Para pemimimpin dunia berpose pada hari kedua KTT G7 di resor Borgo Egnazia, di Savelletri, Italia, 14 Juni 2024. (Foto: REUTERS/Guglielmo Mangiapane)

Para pemimpin Kelompok Tujuh atau G7, kelompok negara-negara demokrasi maju, akan berkomitmen mempercepat transisi energi bahan bakar fosil dalam dekade ini. Komitmen tersebut sejalan dengan rancangan pernyataan yang akan dikeluarkan G7 setelah pertemuan puncak mereka di Italia.

"Kami akan melakukan transisi dari bahan bakar fosil ke sistem energi secara adil, terstruktur, dan merata, mempercepat langkah-langkah di dekade kritis ini untuk mencapai net-zero pada 2050, sesuai dengan pemahaman ilmiah terbaik yang tersedia," kata rancangan tersebut yang dilihat oleh Reuters.

Dokumen tersebut mencakup komitmen "untuk secara bertahap menghentikan pembangkit listrik tenaga batu bara (Pembangkit Listrik Tenaga Uap/PLTU) yang ada dalam sistem energi kami selama paruh pertama 2030-an," sebagaimana disetujui oleh para menteri energi G7 pada April.

Namun, komitmen tersebut juga memiliki opsi untuk menghentikan PLTU secara bertahap "dalam jangka waktu yang konsisten dengan menjaga kenaikan suhu sebesar 1,5 derajat Celsius, sejalan dengan jalur emisi nol persen yang diikuti oleh negara-negara.” Komitmen tersebut juga memberikan fleksibilitas bagi negara-negara anggota, seperti Jerman dan Jepang, yang masih menggantungkan perekonomiannya terhadap bahan bakar tersebut.

Uap mengepul dari pembangkit listrik tenaga batu bara di Neurath, Jerman, 8 Juni 2023. (Foto: AP)
Uap mengepul dari pembangkit listrik tenaga batu bara di Neurath, Jerman, 8 Juni 2023. (Foto: AP)

Para aktivis iklim mengkritisi pertemuan tersebut dengan mengatakan KTT itu gagal menghasilkan komitmen yang konkret. Bahkan sebagian besar janji-janji yang digaungkan itu sebetulnya telah disepakati sebelumnya dalam pertemuan yang tingkatknya lebih rendah.

“Pada saat dunia membutuhkan kepemimpinan yang berani dari mereka, pertemuan para pemimpin tidak memberikan nilai tambah,” kata Friederike Roder, Wakil Presiden Global Citizen.

Mendekati konferensi iklim PBB COP29 yang akan dimulai pada November, pemimpin AS, Kanada, Jepang, Jerman, Prancis, Inggris, dan Italia menyatakan mereka akan mengajukan rencana iklim nasional yang "lebih ambisius," sesuai dengan rancangan tersebut.

Dokumen tersebut berkomitmen pada upaya kolektif untuk mengurangi emisi metana dari bahan bakar fosil, termasuk dari operasi minyak dan gas, sebesar 75% pada 2030.

Investasi Gas

Namun, para pemimpin menegaskan kemungkinan adanya investasi dalam sektor gas, yang merupakan salah satu bahan bakar fosil yang menyebabkan polusi.

"Dalam keadaan luar biasa yang mempercepat pengurangan ketergantungan kita pada energi Rusia, investasi publik dalam sektor gas dapat dianggap sebagai respons sementara, bergantung pada kondisi nasional yang jelas," kata rancangan tersebut.

Bagian ini membuat kesal para pemerhati lingkungan, yang mengharapkan adanya bahasa yang berbeda menjelang COP29.

“Keengganan G7 untuk mengambil langkah berani untuk meninggalkan investasi minyak dan gas mencerminkan kegagalan yang lebih luas dalam memanfaatkan momen ini,” kata Oscar Soria, CEO Common, sebuah lembaga kajian kebijakan lingkungan dan keuangan.

Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni, yang menjadi tuan rumah pertemuan puncak di wilayah Puglia, Italia selatan, telah mencoba mengalihkan fokus G7 ke Mediterania dan Afrika. Ia meluncurkan inisiatif "Energi untuk Pertumbuhan di Afrika" bersama dengan tujuh negara Afrika.

Melalui inisiatif ini, G7 diharapkan akan mengalokasikan sejumlah investasi dalam energi yang ramah lingkungan ke benua tersebut, yang selama ini berfungsi sebagai sumber bahan bakar fosil dan mineral penting bagi negara-negara maju.

Namun, lembaga kajian perubahan iklim Italia, ECCO, mengatakan kurangnya pendanaan baru untuk Afrika mengurangi kredibilitas inisiatif tersebut. [ah/ft]

See all News Updates of the Day

Hutan Amazon Brasil Alami Kebakaran Terbanyak dalam 17 Tahun 

Wilayah hutan Amazon yang terbakar di area Jalan Raya Trans-Amazonian BR230 di Labrea, Amazonas, Brasil, dalam doto yang diambil pada 4 September 2024. (Foto: Reuters/Bruno Kelly)
Wilayah hutan Amazon yang terbakar di area Jalan Raya Trans-Amazonian BR230 di Labrea, Amazonas, Brasil, dalam doto yang diambil pada 4 September 2024. (Foto: Reuters/Bruno Kelly)

Terdapat 140.328 kebakaran yang terdeteksi oleh pencitraan satelit sepanjang tahun lalu, menurut Institut Nasional untuk Penelitian Luar Angkasa (INPE) Brasil

Hutan hujan Amazon Brasil mencatat jumlah kebakaran tertinggi dalam 17 tahun terakhir pada 2024, menurut data pemerintah yang dipublikasikan pada Rabu (1/1), setelah bioma yang luas itu mengalami kekeringan panjang selama berbulan-bulan.

Bioma adalah wilayah geografis yang luas yang memiliki kondisi lingkungan tertentu dan dihuni oleh komunitas flora dan fauna yang khas.

Terdapat 140.328 kebakaran yang terdeteksi oleh pencitraan satelit sepanjang tahun lalu, menurut Institut Nasional untuk Penelitian Luar Angkasa (INPE) Brasil.

Jumlah itu 42 persen lebih banyak daripada 98.634 kebakaran yang tercatat pada 2023 - dan yang terbanyak sejak tahun 2007, ketika 186.463 kebakaran hutan tercatat pada saat itu.

Meskipun jumlah kebakaran tinggi, ada indikasi bahwa total area yang mengalami deforestasi bisa menjadi yang terendah dalam beberapa tahun.

Pada awal November, INPE mengatakan deforestasi di wilayah tersebut dalam periode 12 bulan hingga Agustus 2024 telah turun lebih dari 30 persen, dari tahun ke tahun, dan berada pada jumlah terendah dalam sembilan tahun.

Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva telah menjadikan pelestarian Amazon sebagai prioritas bagi pemerintahannya, yang pada November tahun ini akan menjadi tuan rumah konferensi iklim COP30 PBB di Kota Belem, Amazon.

Pemantau iklim Layanan Pemantauan Atmosfer Copernicus Uni Eropa, mengatakan bulan lalu bahwa kekeringan parah telah memicu kebakaran hutan di seluruh Amerika Selatan pada 2024.

Gumpalan asap tebal terkadang menyelimuti kota-kota besar termasuk Brasilia, Rio de Janeiro, dan Sao Paulo tahun lalu, dengan polusi yang menyesakkan yang bertahan selama beberapa pekan.

Kekeringan telah melanda wilayah Amazon sejak pertengahan 2023, didorong oleh perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia dan fenomena pemanasan El Nino.

Situasi tersebut membantu menciptakan kondisi untuk kebakaran besar, tetapi para ahli mengatakan bahwa sebagian besar kebakaran sengaja dilakukan oleh petani untuk membuka lahan untuk pertanian.

Para ilmuwan memperingatkan bahwa penggundulan hutan yang terus berlanjut akan menempatkan Amazon berada di jalur menuju titik di mana dia akan mengeluarkan lebih banyak karbon daripada yang diserapnya, yang mempercepat perubahan iklim. [ns/uh]

Rencana  Energi Trump akan Hadapi Banyak Tantangan

Pompa angguk beroperasi di sebuah pengeboran minyak di lapangan minyak di Midland, Texas, 22 Agustus 2018. (Foto: Nick Oxford/Reuters)
Pompa angguk beroperasi di sebuah pengeboran minyak di lapangan minyak di Midland, Texas, 22 Agustus 2018. (Foto: Nick Oxford/Reuters)

Pendekatan yang berbeda terhadap energi merupakan inti dari janji Presiden terpilih Donald Trump untuk menurunkan biaya hidup masyarakat Amerika. Namunrencana Trump ini tidak akan mudah direalisasikan mengingat ketergantungan global yang kompleks terhadap pasokan minyak dan gas.

Trump yang akan dilantik pada 20 Januari menjanjikan biaya energi yang lebih rendah dalam kampanye kepresidenannya Agustus lalu.

“Upaya kita untuk menurunkan biaya hidup akan menjadi upaya habis-habisan untuk mengakhiri perang Biden-Harris terhadap energi Amerika. Kita akan mengebor, kita akan mengebor," kata Trump.

Trump berencana meningkatkan pasokan minyak dengan mempercepat izin pengeboran dan meningkatkan eksplorasi minyak di lepas pantai Amerika Serikat.

Beberapa analis mengatakan langkah tersebut akan mendapat penolakan dari perusahaan-perusahaan minyak.

James Coleman, pakar hukum energi dan infrastruktur di Universitas Minnesota, menjelaskan alasannya.

“Kita tidak memiliki cara untuk memaksa negara-negara, untuk memaksa perusahaan-perusahaan melakukan pengeboran minyak lebih banyak. Dan sering kali para investor memiliki kekhawatiran mereka sendiri soal 'Jika produksi minyak terlalu banyak, harga minyak mungkin akan turun,'" tutur Coleman.

Trump juga mengusulkan perluasan ekspor gas alam cair (liquefied natural gas/LNG).

Menteri Energi Qatar Saad Sherida al-Kaabi, mengatakan sebelumnya bulan ini bahwa dia tidak khawatir dengan janji Trump untuk mencabut pembatasan ekspor LNG.

“LNG tambahan, kompetisi tambahan, kami sambut baik. Bahkan jika Anda mencabut batasan ekspor LNG dan mengatakan kita akan mengekspor 300 juta ton lagi dari Amerika atau 500 juta ton dari Amerika. Semua proyek ini dikendalikan oleh perusahaan-perusahaan swasta yang mempertimbangkan kelayakan komersial dari proyek-proyek tersebut," kata al-Kaabi.

Christ Wright, pilihan Trump untuk Departemen Energi, tidak mempercayai bahwa dunia saat ini sedang menghadapi krisis iklim. Dalam sebuah dialog sebelumnya tahun ini, Wright, yang juga kepala eksekutif (CEO) perusahaan jasa lapangan minyak, diserang anggota Kongres dari Partai Demokrat Sean Casten terkait pernyataannya tentang perubahan iklim.

“Anda berkata, 'Tidak ada krisis iklim. Kita juga tidak berada di tengah-tengah transisi energi. Manusia dan kehidupan yang kompleks tidak mungkin terjadi tanpa karbon dioksida. Gagasan mengenai polusi karbon sungguh keterlaluan.' Anda setuju Anda mengatakan semua itu?" kata Casten.

Rencana Energi Trump akan Hadapi Banyak Tantangan
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:03:40 0:00

Menurut Coleman dari Universitas Minnesota, banyak rencana energi Trump tidak dapat terwujud tanpa kerja sama dari Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan produsen-produsen minyak lainnya.

“Kita mengekspor banyak produk energi ke Kanada dan Meksiko. Jika ada tarif balasan dari negara-negara tersebut, itu dapat berdampak negatif pada produsen-produsen kita. Jadi saya kira sebagian besar industri energi berharap ini hanya semacam gertakan," kata Coleman.

Berbeda sekali dengan pemerintahan Biden yang memprioritaskan energi terbarukan dan memerangi perubahan iklim, Trump juga diperkirakan akan memotong kredit pajak untuk kendaraan listrik. [ab/uh]

China Berencana Bangun Bendungan PLTA Terbesar di Tibet

Peta Tibet, China, India dan Bangladesh.
Peta Tibet, China, India dan Bangladesh.

Bendungan PLTA itu diperkirakan akan mempengaruhi kehidupan jutaan orang di hilir sungai di India dan Bangladesh.

China telah menyetujui pembangunan bendungan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) terbesar di dunia. Hal itu menandai dimulainya proyek ambisius di tepi timur dataran tinggi Tibet yang dapat berdampak pada jutaan orang di hilir India dan Bangladesh.

Menurut perkiraan yang diberikan oleh Power Construction Corp of China pada 2020, bendungan yang akan berlokasi di bagian hilir Sungai Yarlung Zangbo tersebut, dapat menghasilkan 300 miliar kilowatt-jam (kWh) listrik setiap tahunnya.

Kapasitas PLTA itu lebih dari tiga kali lipat kapasitas bendungan Tiga Ngarai (Three Gorges Dam) di China tengah, yang saat ini merupakan bendungan terbesar di dunia dengan kapasitas pembangkitan sebesar 88,2 miliar kWh.

Proyek tersebut akan memainkan peran utama dalam memenuhi tujuan puncak karbon dan netralitas karbon di China, menstimulasi industri terkait seperti teknik, dan menciptakan lapangan kerja di Tibet, kata kantor berita resmi Xinhua, Rabu (25/12).

Salah satu bagian dari air terjun Yarlung Zangbo memiliki ketinggian dramatis sekitar 2.000 meter dalam jarak pendek 50 kilometer, menawarkan potensi pembangkit listrik tenaga air yang sangat besar dan tantangan teknis yang unik.

Pengeluaran untuk pembangunan bendungan, termasuk biaya teknik, juga diperkirakan melebihi biaya pembangunan bendungan Tiga Ngarai, yang menelan biaya 254,2 miliar yuan, atau sekitar Rp 564,7 triliun. Angka itu termasuk pemukiman kembali 1,4 juta orang yang terpaksa mengungsi dan jumlah ini empat kali lipat dari perkiraan awal sebesar $7,8 miliar (setara Rp 126 triliun).

Pihak berwenang belum memberi perkiraan berapa banyak orang yang akan tergusur oleh proyek Tibet dan bagaimana hal itu akan berdampak pada ekosistem lokal, salah satu ekosistem terkaya dan paling beragam di dataran tinggi tersebut.

Namun menurut para pejabat China, proyek pembangkit listrik tenaga air di Tibet, tidak akan berdampak besar terhadap lingkungan atau pasokan air di hilir. Menurut China, proyek itu memiliki lebih dari sepertiga potensi pembangkit listrik tenaga air di China,

Meskipun demikian, India dan Bangladesh telah menyampaikan kekhawatirannya mengenai bendungan tersebut, karena proyek tersebut berpotensi mengubah tidak hanya ekologi lokal tetapi juga aliran dan arah aliran sungai di hilir.

Yarlung Zangbo menjadi sungai Brahmaputra saat meninggalkan Tibet dan mengalir ke selatan menuju negara bagian Arunachal Pradesh dan Assam di India dan akhirnya ke Bangladesh.

China telah memulai pembangkit listrik tenaga air di hulu Yarlung Zangbo, yang mengalir dari barat ke timur Tibet. Negara itu merencanakan lebih banyak proyek di hulu. [ft/es]

Sawit Indonesia Dicermati Pasca Penundaan UU Anti-Deforestasi Uni Eropa

Sawit Indonesia Dicermati Pasca Penundaan UU Anti-Deforestasi Uni Eropa
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:03:28 0:00

Usai penundaan pemberlakuan UU Anti-Deforestasi Uni Eropa (EUDR) hingga akhir 2025, organisasi lingkungan mengkhawatirkan berlanjutnya penggundulan hutan di Indonesia. Mereka pun mendorong perbaikan tata kelola sawit di Indonesia, mengikuti standar Uni Eropa.

Penggunaan Batu Bara Capai Rekor Baru pada 2024

Sebuah tongkang yang mengangkut batu bara sedang bersandar untuk menurunkan muatan batubara di PLTU Suralaya, Cilegon, Banten, 31 Oktober 2023. (Foto: Ronald Siagian/AFP)
Sebuah tongkang yang mengangkut batu bara sedang bersandar untuk menurunkan muatan batubara di PLTU Suralaya, Cilegon, Banten, 31 Oktober 2023. (Foto: Ronald Siagian/AFP)

Penggunaan batu bara bergantung pada China, yang selama seperempat abad terakhir telah mengonsumsi batu bara 30 persen lebih banyak dibandingkan gabungan negara-negara lain di dunia.

Badan Energi Internasional (International Energy Agency /IEA) mengatakan pada Rabu (18/12) bahwa penggunaan batu bara dunia akan mencapai titik tertinggi sepanjang masa pada 2024, tahun yang pasti akan menjadi tahun terpanas dalam sejarah.

Meskipun ada seruan untuk menghentikan pembakaran bahan bakar fosil paling kotor yang menyebabkan perubahan iklim, badan pengawas energi tersebut memperkirakan permintaan batu bara global akan mencapai rekor tertinggi selama tiga tahun berturut-turut.

Para ilmuwan telah memperingatkan bahwa gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global harus dikurangi secara drastis untuk membatasi pemanasan global guna menghindari dampak bencana terhadap Bumi dan umat manusia.

Sebelumnya pada Desember, pemantau iklim Uni Eropa Copernicus mengatakan 2024 “pasti” akan menjadi tahun terpanas yang pernah tercatat – melampaui rekor yang dicetak tahun lalu.

Diterbitkan pada Rabu, laporan “Batu bara 2024” IEA memperkirakan penggunaan batu bara dunia akan mencapai puncak pada 2027 setelah mencapai 8,77 miliar ton pada tahun ini.

Namun hal ini bergantung pada China, yang selama seperempat abad terakhir telah mengonsumsi batu bara 30 persen lebih banyak dibandingkan gabungan negara-negara lain di dunia, kata IEA.

Meningkatnya permintaan listrik di China merupakan pendorong paling signifikan di balik peningkatan tersebut, dengan lebih dari sepertiga batu bara yang dibakar di seluruh dunia dikarbonisasi di pembangkit-pembangkit listrik di negara tersebut.

Permintaan China Tembus Rekor Baru

Meskipun Beijing telah berupaya melakukan diversifikasi sumber listriknya, termasuk perluasan besar-besaran penggunaan tenaga surya dan angin, IEA mengatakan permintaan batu bara China pada tahun masih akan mencapai 4,9 miliar ton – yang merupakan rekor baru.

Meningkatnya permintaan batu bara di China, serta di negara-negara berkembang seperti India dan Indonesia, mengimbangi penurunan yang terus terjadi di negara-negara maju.

Namun penurunan tersebut melambat di Uni Eropa dan Amerika Serikat. Penggunaan batu bara di kedua wilayah itu diperkirakan akan menurun masing-masing sebesar 12 dan lima persen, dibandingkan dengan 23 dan 17 persen pada 2023.

Dengan kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih dalam waktu dekat banyak ilmuwan khawatir bahwa kepemimpinan Trump yang kedua akan melemahkan komitmen iklim negara dengan ekonomi terbesar di dunia. Trump berulang kali menyebut perubahan iklim adalah "hoaks."

Penambangan batu bara juga mencapai tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya dengan mencapai produksi sebesar sembilan miliar ton untuk pertama kalinya, kata IEA. Produsen utama batu bara dunia, yaitu China, India dan Indonesia semuanya mencatat rekor produksi baru. [ft/rs]

Tunjukkan lebih banyak

XS
SM
MD
LG