Ketika para peneliti mengamati pendapatan warga kulit putih, kulit hitam, dan warga keturunan Amerika Latin yang telah memperoleh gelar sarjana antara tahun 1991 dan 2016, mereka melihat bahwa secara rata-rata orang kulit putih memperoleh sekitar AS$10.000 lebih besar per tahun daripada orang kulit hitam dan Latino. Padahal mereka memiliki tingkat dan jurusan pendidikan yang sama.
Dan pada 2016, lulusan perguruan tinggi kulit putih memegang 77% pekerjaan dengan aji baik. Pria dan wanita dari golongan ini merupakan 69% pemegang pekerjaan yang tersedia secara nasional.
Namun selama periode yang sama, orang kulit hitam dan Latino -warga yang berasal dari negara-negara di Amerika Selatan- yang memiliki gelar sarjana meningkatkan kemungkinan mereka untuk mendapatkan dan mempertahankan pekerjaan bergaji baik. Menurut para peneliti jumlahnya paling sedikit setidaknya mencapai AS$35.000 per tahun.
Anthony Carnavale, Direktur Pusat Pendidikan dan Tenaga Kerja Universitas Georgetown, menggambarkan temuan ini sebagai contoh lain dari sejarah Amerika dalam memperlakukan minoritas secara tidak adil. Hasil studinya diterbitan pada Oktober 2019.
Carnavale mengatakan warga Amerika berkulit hitam telah dirugikan sejak mereka tiba sebagai budak di Amerika Utara. Pada masa lalu, hukum memisahkan mereka secara praktis dalam bidang ekonomi dan pendidikan. Banyak di antara mereka dilarang masuk sekolah tertentu dan bidang pekerjaan tertentu. Walaupun kondisi untuk orang kulit hitam Amerika telah membaik selama bertahun-tahun, Carnavale mengatakan warga kulit putih telah mendapatkan keuntungan yang lebih besar.
Setelah Perang Dunia II, banyak orang kulit putih pindah dari kota-kota besar di Amerika ke pinggiran kota, yang dimungkinkan karena adanya bantuan untuk membeli rumah dan KPR dari pemerintah. Hal tersebut berfungsi sebagai imbalan untuk dinas militer yang mereka lakukan selama perang.
Mayoritas masyarakat kulit putih di pinggiran kota memberikan basis pajak yang besar, yang digunakan untuk membiayai sistem sekolah negeri yang kuat, ujar Carnavele. Dari sekolah-sekolah itu, sebagian besar siswa melanjutkan ke perguruan tinggi dan universitas.
Warga Latino, tambah Carnavale, menghadapi diskriminasi serupa dan tidak menjadi bagian utama ekonomi Amerika sampai akhir 1980-an. Pendidikan tinggi telah mengurangi hambatan untuk pendidikan tinggi bagi kaum minoritas. Namun menurut Carnavale, akses ke universitas-universitas elit sulit diperoleh bagi mahasiswa berkulit hitam, Latino, dan miskin yang sebagian besar mengikuti kuliah di sekolah tinggi dua tahun dan universitas empat tahun.
Sejak 1980-an pemerintah negara bagian telah mengurangi dukungan keuangan bagi perguruan tinggi negeri, kata Carnavale. Artinya banyak akademi dan universitas berjuang sebaik mungkin untuk mencari cara memberikan dukungan kepada mahasiswa yang memerlukan.
“Jadi, kita telah menciptakan lebih banyak akses ke pendidikan tinggi di Amerika, tetapi kita belum menciptakan lebih banyak kesuksesan,” kata Carnavale. “Keberhasilan, tingkat kelulusan sejauh ini jauh lebih tinggi bagi anak-anak kulit putih yang makmur.”
Walaupun Mahkamah Agung Amerika memutuskan 65 tahun lalu bahwa negara-negara bagian tidak boleh mencegah anak-anak kulit hitam untuk menempuh studi di sekolah yang sama dengan anak-anak kulit putih, seorang hakim di negara bagian New Jersey setuju untuk mempertimbangkan penyidangan kasus terkait tuntutan terhadap sistem pendidikan negeri di negara bagian itu tahun ini. Demikian dikatakan Victor Goode, Direktur Asosiasi Nasional untuk Kemajuan Orang Kulit Berwarna atau NAACP.
NAACP dan kelompok-kelompok lain menuduh adanya perbedaan berdasarkan ras dan pendapatan. Kelompok hak-hak sipil telah mengambil tindakan hukum untuk menuntut agar diberikan dukungan keuangan yang lebih besar bagi perguruan tinggi dan universitas negeri dari pemerintah negara bagian di Maryland, Delaware dan Minnesota.
Kyriaki Topidi, seorang peneliti di Pusat Eropa untuk Urusan Minoritas, mengatakan ketidaksetaraan itu ada di banyak negara.
Topidi menyarankan salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut adalah melalui kerja sama dengan pemerintah daerah untuk membuat kebijakan-kebijakan yang tidak diskriminatif. Dia juga mengatakan para pemimpin harus berusaha membuat anggota masyarakat dari berbagai ras dan tingkat ekonomi untuk saling memahami dengan lebih baik melalui berbagai acara dan pelatihan dalam rangka pembangunan masyarakat.
“Proses ini harus didasarkan pada penerimaan bahwa orang tidak hanya mewakili ‘etnis’ atau ‘ras,’ tetapi lebih merupakan makhluk kompleks yang juga berbeda menurut status sosial, minat, profesi, dan kepercayaan,” katanya.
Namun, Carnavale mengatakan kecuali orang kulit putih Amerika yang kaya bersedia mengeluarkan lebih banyak uang untuk membayar pajak guna mendukung pendidikan negeri, keadaan akan tetap sama selama 30 tahun ke depan. [lt/my]