Qais Munhazim bangun hari Minggu dan mendapati berita mengenai pria Amerika keturunan Afghanistan yang menembaki sebuah klub malam gay di Orlando, Florida, sebuah serangan yang sepertinya dimotivasi oleh dukungan terhadap kelompok-kelompok Islamis militan.
Sedih dan berurai air mata, Munhazim, seorang pria gay dan Muslim yang berasal dari Afghanistan, berencana menghadiri doa bersama di University of Minnesota esok harinya untuk para korban.
Penembak di Orlando membunuh 49 orang dan melukai 53 lainnya -- penembakan massal paling mematikan dalam sejarah modern AS dan juga serangan terburuk di Amerika terhadap komunitas lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT).
"Saat saya memperkenalkan diri kepada seseorang yang juga bagian dari komunitas (LGBT), ia bertanya apa kebangsaan saya dan saya jawab, saya keturunan Afghanistan," ujar Munhazim, mahasiswa program doktor di universitas tersebut, pekan lalu.
"Langsung saja ia mengatakan, 'Ini bukan waktu dan tempat yang tepat untukmu.' Saya datang ke sana mencoba bergabung dengan komunitas saya, untuk berduka bersama dengan mereka. Bahkan rasa duka cita saya dipertanyakan karena identitas saya."
Pengalaman Munhazim menggambarkan kondisi terisolasi yang dirasakan beberapa Muslim dalam komunitas LGBT di AS.
"Datang (ke Amerika) saya menemukan kebebasan tapi pada saat yang sama saya selalu termarginalisasi dan mengalami diskriminasi karena keyakinan saya, karena Islamofobia telah didengung-dengungkan oleh politisi-politisi di AS," ujar Munhazim.
Ia mengacu kepada pernyataan-pernyataan beberapa politisi, terutama kandidat presiden Partai Republik Donald Trump, menyusul penembakan di Orlando dan penembakan-penembakan seperti itu sebelumnya, yang menanamkan kecurigaan terhadap para Muslim di Amerika.
Meskipun Islam memiliki ragam aturan dan tradisi yang luas dalam komunitas lebih dari 1,6 miliar Muslim, hubungan seks gay adalah ilegal di banyak negara dengan mayoritas penduduknya Muslim.
Menurut Hussain Turk, seorang pengacara Muslim keturunan Pakistan dari Los Angeles, yang membuat para Muslim kesulitan menjadi gay sekaligus religius adalah ide bahwa Islam adalah keyakinan monolitik dengan serangkaian aturan yang diambil dari Quran.
Namun ia berargumen, "Yang saya pelajari adalah bahwa Islam pada intinya merupakan agama yang dinamis. Islam tidak dimaksudkan untuk menjadi monolit anti-kemajuan."
Namun, Turk, seorang pria gay Muslim yang juga pemimpin redaksi Jurnal Islamic and Near Eastern Law, mengatakan ada Muslim, gay maupun non-gay, yang mengatakan bahwa resistensi Islam terhadap perubahan adalah yang membuatnya menarik sebagai agama.
Ada sekitar 3,3 juta Muslim segala umur yang tinggal di Amerika, menurut studi Pew Research Center tahun 2015. Tidak ada statistik mengenai berapa banyak Muslim LGBT di negara itu.
Mona Siam, seorang perempuan Muslim Yordania yang juga lesbian, mendapat suaka ke AS tahun 2011 setelah mengatakan ia terkena peluru nyasar yang ditembakkan polisi ketika mencoba menakut-nakuti tamu di sebuah bar gay di Beirut, Lebanon.
Meski sudah tinggal di Amerika, Siam mengatakan ia masih merasakan kebencian dari warga Amerika karena agama dan orientasi seksualnya.
"Saya merasa ada pertentangan di AS karena saya datang ke sini supaya selamat dan saya merasa setiap bagian identitas saya diserang," ujar Siam pekan lalu.
"Kami takut menjadi Muslim secara publik atau gay secara publik di negara tempat hal-hal itu seharusnya tidak terjadi. Ini negara berpikiran terbuka; ada ribuan budaya dan identitas. Ini Amerika."
Ingin membantu warga Amerika yang bergulat dengan agama dan seksualitasnya, Aliansi Muslim untuk Keragaman Seksual dan Gender (MASGD) telah mengadakan retret untuk Muslim LGBTQ dan pasangan mereka setiap tahun sejak 2011, menarik hampir 100 tamu untuk pembangunan spiritual.
Tynan Power, perwakilan MASGD, mengatakan identitas gender memiliki dukungan substansial dalam kelompok Sunni dan Syiah.
"Ada Muslim yang meyakini Quran melarang homoseksualitas, sama seperti Kristen yang meyakini bahwa Alkita juga melarangnya," ujar Power.
"Ada juga Muslim yang percaya bahwa menghormati kapasitas yang diberikan Tuhan untuk mencintai adalah bentuk pemujaan. Pada akhirnya, tidak ada perspektif yang dapat mendefinisikan agama untuk semua orang dari agama yang sama."
Garrett Fugate, pria Muslim keturunan Yunani yang mengaku queer -- kata yang menggambarkan Fugate sebagai seseorang yang berkencan dengan beragam orientasi seksual -- mengatakan bahwa Retret MASGD memungkinkannya menemukan tempatnya sebagai Muslim.
“Ketika saya mengaku gay, saya tadinya sangat diterima namun kemudian sangat dikucilkan dalam komunitas Muslim," ujar Fugate, mahasiswa S2 dari Boston University di Boston. “Ketika saya memikirkan komunitas, saya membayangkan retret itu." [hd]