WASHINGTON —
Pihak Gedung Putih membuka hasil-hasil riset yang dibiayai negara kepada publik secara gratis setelah setahun, memenuhi tuntutan publik atas akses seluas-luasnya terhadap artikel akademis dan materi lainnya yang dibiayai pembayar pajak.
“Warga Amerika seharusnya mendapat akses mudah terhadap hasil riset yang telah mereka dukung,” tulis John Holdren, direktur Kantor Gedung Putih untuk Kebijakan Sains dan Teknologi (OSTP), dalam laman Gedung Putih.
Sebuah petisi daring di laman Gedung Putih menuntut akses gratis di Internet atas artikel-artikel jurnal ilmiah yang didanai pajak masyarakat telah menarik lebih dari 65.000 tanda tangan.
Para ilmuwan telah lama menerbitkan hasil kerja mereka di jurnal-jurnal akademis, dan banyak dari publikasi tersebut memperingatkan bahwa akses terbuka akan menghancurkan mereka dan fungsi yang mereka berikan untuk komunitas ilmu pengetahuan.
Langkah Gedung Putih ini diambil enam minggu setelah bunuh dirinya aktivis keterbukaan Internet Aaron Swartz, yang dikenal karena membuat harta karun informasi tersedia secara gratis untuk publik.
Swartz menghadapi masalah pada 2011 ketika dituduh mencuri jutaan artikel dan jurnal akademis dari arsip digital di Massachusetts Institute of Technology.
Aktivis tersebut, yang menyatakan diri tidak bersalah untuk semua tuduhan, menghadapi hukuman penjara yang panjang dan denda yang besar jika didakwa dalam sidang pengadilan yang dijadwalkan tahun ini.
Keluarga dan pendukung Swartz menyalahkan para penuntut karena melampaui batas dalam kasusnya, dan tindakan bunuh dirinya membuat banyak pihak mempertanyakan undang-undang tahun 1984 mengenai penipuan komputer, yang sebagian besar ditulis sebelum Internet muncul.
Holdren mengatakan keputusan untuk menyediakan akses yang lebih besar juga turut mempertimbangkan kekhawatiran para jurnal ilmiah.
“Kami ingin menyeimbangkan manfaat publik dengan membuka akses terhadap riset ilmiah yang dibiayai negara dan kebutuhan untuk menjamin kontribusi berharga industri penerbitan ilmiah tidak hilang,” ujarnya.
Badan-badan federal mengizinkan waktu embargo 12 bulan sebelum menawarkan akses dan petisi untuk perpanjangan waktu.
Keterbukaan tersebut berlaku untuk lembaga-lembaga tersebut dengan pengeluaran riset dan pengembangan lebih dari US$100 juta. Badan-badan tersebut harus membuat rencana untuk membuka data kepada publik dalam enam bulan, dan rencana-rencana tersebut harus disetujui oleh Gedung Putih.
Sebuah kelompok industri mengatakan pendekatan Gedung Putih itu merupakan solusi “beralasan dan berimbang” karena menyadari nilai para penerbit.
“OSTP mengambil jalan tengah yang akan meningkatkan akses publi, memahami perbedaan antara lembaga dan disiplin keilmuan serta menyadari peran penting penerbit dalam menyetujui, memproduksi, membuat dan menjaga integritas karya ilmiah,” ujar Tom Allen, kepala eksekutif Asosiasi Penerbit Amerika, dalam pernyataan tertulis.
Namun para kritik juga mengatakan nilainya untuk publik dan ilmuwan dilemahkan oleh embargo 12 bulan.
“Kami bekerja dalam sains terdepan. Saya ingin membaca makalah baru SEKARANG, bukan dalam waktu satu tahun,” ujar Vittorio Saggiomo, ahli kimia di University of Groningen di Belanda. (Reuters/Mark Felsenthal)
“Warga Amerika seharusnya mendapat akses mudah terhadap hasil riset yang telah mereka dukung,” tulis John Holdren, direktur Kantor Gedung Putih untuk Kebijakan Sains dan Teknologi (OSTP), dalam laman Gedung Putih.
Sebuah petisi daring di laman Gedung Putih menuntut akses gratis di Internet atas artikel-artikel jurnal ilmiah yang didanai pajak masyarakat telah menarik lebih dari 65.000 tanda tangan.
Para ilmuwan telah lama menerbitkan hasil kerja mereka di jurnal-jurnal akademis, dan banyak dari publikasi tersebut memperingatkan bahwa akses terbuka akan menghancurkan mereka dan fungsi yang mereka berikan untuk komunitas ilmu pengetahuan.
Langkah Gedung Putih ini diambil enam minggu setelah bunuh dirinya aktivis keterbukaan Internet Aaron Swartz, yang dikenal karena membuat harta karun informasi tersedia secara gratis untuk publik.
Swartz menghadapi masalah pada 2011 ketika dituduh mencuri jutaan artikel dan jurnal akademis dari arsip digital di Massachusetts Institute of Technology.
Aktivis tersebut, yang menyatakan diri tidak bersalah untuk semua tuduhan, menghadapi hukuman penjara yang panjang dan denda yang besar jika didakwa dalam sidang pengadilan yang dijadwalkan tahun ini.
Keluarga dan pendukung Swartz menyalahkan para penuntut karena melampaui batas dalam kasusnya, dan tindakan bunuh dirinya membuat banyak pihak mempertanyakan undang-undang tahun 1984 mengenai penipuan komputer, yang sebagian besar ditulis sebelum Internet muncul.
Holdren mengatakan keputusan untuk menyediakan akses yang lebih besar juga turut mempertimbangkan kekhawatiran para jurnal ilmiah.
“Kami ingin menyeimbangkan manfaat publik dengan membuka akses terhadap riset ilmiah yang dibiayai negara dan kebutuhan untuk menjamin kontribusi berharga industri penerbitan ilmiah tidak hilang,” ujarnya.
Badan-badan federal mengizinkan waktu embargo 12 bulan sebelum menawarkan akses dan petisi untuk perpanjangan waktu.
Keterbukaan tersebut berlaku untuk lembaga-lembaga tersebut dengan pengeluaran riset dan pengembangan lebih dari US$100 juta. Badan-badan tersebut harus membuat rencana untuk membuka data kepada publik dalam enam bulan, dan rencana-rencana tersebut harus disetujui oleh Gedung Putih.
Sebuah kelompok industri mengatakan pendekatan Gedung Putih itu merupakan solusi “beralasan dan berimbang” karena menyadari nilai para penerbit.
“OSTP mengambil jalan tengah yang akan meningkatkan akses publi, memahami perbedaan antara lembaga dan disiplin keilmuan serta menyadari peran penting penerbit dalam menyetujui, memproduksi, membuat dan menjaga integritas karya ilmiah,” ujar Tom Allen, kepala eksekutif Asosiasi Penerbit Amerika, dalam pernyataan tertulis.
Namun para kritik juga mengatakan nilainya untuk publik dan ilmuwan dilemahkan oleh embargo 12 bulan.
“Kami bekerja dalam sains terdepan. Saya ingin membaca makalah baru SEKARANG, bukan dalam waktu satu tahun,” ujar Vittorio Saggiomo, ahli kimia di University of Groningen di Belanda. (Reuters/Mark Felsenthal)