Aroma bawang putih yang begitu kuat menyambut kedatangan para tamu makan siang di balairung Gereja Trinity United Methodist, Greensburg, Pennsylvania.
Mereka tiba tepat tengah hari. Seusai melepas jaket musim dingin, mereka bergegas mengambil gelas berisi air atau cangkir kopi. Bagi sebagian di antara mereka, pasta rigatoni yang disajikan siang itu barangkali satu-satunya makanan yang mereka temui hari itu.
Sandy Cullen, ketua panitia acara makan siang untuk para tunawisma ini, menyambut angat mereka. Senyum tak pernah lepas dari wajahnya, dan sesekali ia mengatakan, “kita hanya melakukan apa yang Tuhan inginkan.”
Sudah hampir tiga tahun, dapur di Gereja Trinity United Methodist, sibuk menyiapkan acara makan siang gratis bagi orang yang kurang beruntung di komunitas di mana gereja itu berdiri. Sejumlah relawan sekali dalam seminggu disibukkan oleh kegiatan membuat pie, memanggang ikan, membuat pasta, atau sekadar membuat roti sandwich.
Kegiatan itu terkesan sederhana, namun membutuhkan cukup banyak uang. Cullen mengatakan, untuk menutupi kebutuhan itu, mereka secara rutin menyelenggarakan pesta teh untuk menggalang dana.
“Kami mengundang orang-orang untuk menikmati berbagai cemilan ringan yang disajikan di meja teh. Kemudian kami mengajak Anda untuk berbelanja barang-barang kerajinan yang dibuat jemaat gereja kami. Kami juga menjual rangkaian bunga. Yang tidak kalah penting kami juga menyelenggarakan lelang bisu untuk sejumlah karya seni berharga," kata Cullen.
Pesta teh itu dihadiri sedikitnya 50 orang setiap pekannya. Biayanya sekitar AS$15 per tamu. Semua keuntungan yang diperoleh dari kegiatan itu dialokasikan untuk kegiatan memberi makan siang gratis.
Bonnie Shuey, sekretaris gereja itu, mengatakan, ia senang kegiatan bersosialisasi itu memberi ia dan teman-teman gerejanya kesempatan untuk berbuat kebaikan kepada sesama.
“Kegiatan ini membantu kami menyediakan makanan bagi komunitas. Kami juga bekerja untuk pusat komunitas. Kami bersyukur banyak pihak yang bersedia membantu kami," kata Shuey.
Pesta teh dan makan siang gratis adalah prakarsa Cullen dan Shue. Kedua perempuan yang memiliki hubungan sepupu ini awalnya hanya mampu menerima tamu makan siang 5-10 orang setiap pekannya. Namun, karena berita kegiatan itu beredar dari mulut ke mulut, jumlahnya kian bertambah. Setiap pekannya, kini ada 50 hingga 70 orang datang ke gereja itu untuk menyantap makan siang gratis.
Menurut Cullen, makanan yang dibuatnya membutuhkan dana sedikitnya AS$250-350 per pekan. Namun mereka tidak ingin mengandalkan dana AS$5000 yang diterima gereja itu setiap tahunnya. Selain dari kegiatan pesta teh, dana untuk membuat makan siang bagi orang tak punya juga diperoleh dari sumbangan jemaat gereja dan sebuah organisasi nirlaba kemanusiaan yang disebut Community Living Care and Merakey.
Thomas Jackson, seorang tunawisa berusia 24 tahun, mengaku kegiatan makan gratis Gereja Trinity sedikit melegakan hidupnya.
“Saya tunawisma. Sesekali saya tinggal di rumah ibu baptis saya. Namun, ia juga orang tak punya. Saya sebelumnya mendengar tempat ini. Ini tempat yang memberi saya makan gratis. Saya sering datang ke sini. Di sini orang-orangnya ramah menyambut saya," kata Jackson.
June Orr, seorang perempuan berusia 84 tahun, merasa bersyukur bertemu Shuey dan Cullen. Ia bukan tunawisma, namun hidup sebatangkara. Ia mengatakan, bisa mencicipi hidangan yang dipersiapkan orang lain sekali seminggu sungguh merupakan keistimewaan baginya. [ab/uh]