Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Amir Syamsuddin kepada wartawan Selasa (16/10) di kantor Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan mengatakan pemberian grasi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada terpidana kasus narkotika adalah karena alasan kemanusiaan.
Beberapa waktu lalu, Presiden Yudhoyono telah memberikan grasi atau pengampunan terhadap dua terpidana mati kasus narkotika, yaitu Deni Setia Maharwan dan Merika Pranola alias Ola. Grasi tersebut menjadikan hukuman mereka menjadi hukuman
penjara seumur hidup.
Amir mengatakan bahwa Presiden sangat selektif dalam memberikan grasi dan melakukan pertimbangan yang komprehensif.
Menurut Amir, sejak 2004 hingga 2012, terdapat 128 permohonan grasi terkait kasus narkotika tetapi yang dikabulkan Presiden hanya 19.
Mereka adalah 10 anak di bawah umur yang dihukum dua sampai empat tahun penjara; seorang tuna netra yang dihukum 15 tahun penjara; tiga warga negara asing termasuk Schapelle Corby, warga negara Australia yang dikurangi hukumannya dari 20 tahun menjadi 15 tahun penjara; serta lima terpidana lainnya.
Dari 19 orang yang diberikan grasi ini, menurut Amir, mereka merupakan kurir dan bukan bandar narkotika. Jika mereka sebelumnya mendapatkan hukuman mati, maka kata Amir, pengampunan Presiden tersebut menjadi penjara seumur hidup.
Amir menjamin Presiden tidak akan pernah memberikan pengampunan terhadap bandar narkotika.
“Deni ini ditangkap pada saat pertama kali dia menjalankannya sebagai kurir karena tergiur suatu upah sekitar Rp 5juta dan dia ingin mencoba mengatasi permasalahan ekonominya dengan menjadi kurir. Dia benar-benar dari keluarga miskin,” ujar Amir.
“Tidak ada pelaku-pelaku pidana narkotika yang berkelas bandar atau pengedar besar atau otak atau produsen narkotika itu yang mendapatkan keringanan sekecil apapun dari Presiden.”
Di tempat yang sama, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa menjelaskan saat ini terdapat 298 warga negara Indonesia yang terancam hukuman mati di luar negeri, 136 orang diantaranya terlibat kasus narkotika.
“Empat puluh lima persen kurang lebih kasus warga negara Indonesia di luar negeri yang terancam hukuman mati adalah yang menyangkut tindak pidana narkoba. Sisanya pembunuhan 24 persen, lain-lain 30 persen,” ujar Marty.
“Jadi kalau kita bicara tindak pidana narkoba dan masalah pemberian grasi di luar negeri, kita juga ingat di luar negeri pun warga negara kita yang terancam hukuman mati.”
Sementara itu, juru bicara Badan Narkotika Nasional (BNN) Sumirat Dwiyanto menegaskan penegakan hukum yang tegas harus dilakukan terhadap mereka yang terlibat narkotika baik itu bandar maupun kurir.
Saat ini pihaknya, kata Sumirat, terus meningkatkan pemberantasan jaringan sindikat narkoba.
Hasil penelitian BNN pada 2011 menunjukkan ada sekitar 15.000 orang meninggal karena narkoba setiap tahunnya, atau sekitar 40 sampai 50 orang meninggal setiap hari. Sedangkan pencandu narkoba di Indonesia saat ini diperkirakan berjumlah 3,8 juta sampai 4,2 juta orang.
Beberapa waktu lalu, Presiden Yudhoyono telah memberikan grasi atau pengampunan terhadap dua terpidana mati kasus narkotika, yaitu Deni Setia Maharwan dan Merika Pranola alias Ola. Grasi tersebut menjadikan hukuman mereka menjadi hukuman
penjara seumur hidup.
Amir mengatakan bahwa Presiden sangat selektif dalam memberikan grasi dan melakukan pertimbangan yang komprehensif.
Menurut Amir, sejak 2004 hingga 2012, terdapat 128 permohonan grasi terkait kasus narkotika tetapi yang dikabulkan Presiden hanya 19.
Mereka adalah 10 anak di bawah umur yang dihukum dua sampai empat tahun penjara; seorang tuna netra yang dihukum 15 tahun penjara; tiga warga negara asing termasuk Schapelle Corby, warga negara Australia yang dikurangi hukumannya dari 20 tahun menjadi 15 tahun penjara; serta lima terpidana lainnya.
Dari 19 orang yang diberikan grasi ini, menurut Amir, mereka merupakan kurir dan bukan bandar narkotika. Jika mereka sebelumnya mendapatkan hukuman mati, maka kata Amir, pengampunan Presiden tersebut menjadi penjara seumur hidup.
Amir menjamin Presiden tidak akan pernah memberikan pengampunan terhadap bandar narkotika.
“Deni ini ditangkap pada saat pertama kali dia menjalankannya sebagai kurir karena tergiur suatu upah sekitar Rp 5juta dan dia ingin mencoba mengatasi permasalahan ekonominya dengan menjadi kurir. Dia benar-benar dari keluarga miskin,” ujar Amir.
“Tidak ada pelaku-pelaku pidana narkotika yang berkelas bandar atau pengedar besar atau otak atau produsen narkotika itu yang mendapatkan keringanan sekecil apapun dari Presiden.”
Di tempat yang sama, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa menjelaskan saat ini terdapat 298 warga negara Indonesia yang terancam hukuman mati di luar negeri, 136 orang diantaranya terlibat kasus narkotika.
“Empat puluh lima persen kurang lebih kasus warga negara Indonesia di luar negeri yang terancam hukuman mati adalah yang menyangkut tindak pidana narkoba. Sisanya pembunuhan 24 persen, lain-lain 30 persen,” ujar Marty.
“Jadi kalau kita bicara tindak pidana narkoba dan masalah pemberian grasi di luar negeri, kita juga ingat di luar negeri pun warga negara kita yang terancam hukuman mati.”
Sementara itu, juru bicara Badan Narkotika Nasional (BNN) Sumirat Dwiyanto menegaskan penegakan hukum yang tegas harus dilakukan terhadap mereka yang terlibat narkotika baik itu bandar maupun kurir.
Saat ini pihaknya, kata Sumirat, terus meningkatkan pemberantasan jaringan sindikat narkoba.
Hasil penelitian BNN pada 2011 menunjukkan ada sekitar 15.000 orang meninggal karena narkoba setiap tahunnya, atau sekitar 40 sampai 50 orang meninggal setiap hari. Sedangkan pencandu narkoba di Indonesia saat ini diperkirakan berjumlah 3,8 juta sampai 4,2 juta orang.