China sedang mengekspor sesuatu yang baru untuk ekonomi dunia: ketakutan.
Para investor global terguncang akibat prospek merosotnya ekonomi terbesar kedua dunia tersebut. Dan mereka dengan cepat kehilangan keyakinan bahwa para pembuat kebijakan di China, yang terlihat stabil sebelumnya, tahu bagaimana mengatasi masalah.
Skenario terburuk adalah ambruknya ekonomi China akan menyeret semuanya di dunia, dari negara berkembang seperti Chile dan Indonesia sampai kekuatan-kekuatan industri seperti Amerika Serikat, Uni Eropa dan Jepang.
Jatuh bebasnya harga-harga di bursa saham dunia, menurut David Kelly, kepala strategis global di JP Morgan Funds, adalah sesuatu yang "Made in China."
Tahun ini, Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi China akan tumbuh 6,8 persen, yang merupakan nilai terendah sejak 1990.
China, yang mencatat angka pertumbuhan dua digit pada pertengahan 2000, mencoba untuk merekayasa transisi yang menakutkan, dari pertumbuhan yang didorong ekspor dan investasi yang seringkali mubazir untuk memperlambat pertumbuhan yang dibangun melalui belanja konsumen.
Angka-angka resmi menunjukkan bahwa ekonomi China tumbuh 7 persen dari Januari sampai Maret dibandingkan setahun sebelumnya. Namun ada kecurigaan yang meningkat bahwa statistik Beijing gagal menangkap batas perlambatan: Penjualan otomotif, konsumsi listrik dan aktivitas konstruksi "semuanya terlihat lemah," menurut Kelly.
Perusahaan-perusahaan Amerika besar seperti Caterpillar dan Chevron telah menyadari kerusakan yang disebabkan kesulitan di China. Masalah-masalah di China juga telah menekan beberapa saham teknologi. Saham-saham di Apple, yang telah menikmati kuatnya penjualan iPhone dan produk lainnya di China, turun hampir 20 persen dalam lima minggu terakhir.
Setidaknya di permukaan, kepanikan di Wall Street sepertinya berlebihan. Penurunan tahunan 1 persen pada ekonomi China diterjemahkan sebagai hanya penurunan 0,2 persen untuk ekonomi Amerika, menurut Mark Zandi, kepala ekonom di Moody's Analytics. Sementara angka itu akan memperlambat pertumbuhan tahunan 19 negara di zona euro hanya sebesar 0,10 sampai 0,15 persen, menurut UniCredit Research.
Perlambatan seperti itu tidak akan menjadi bencana besar. Jadi mengapa ada histeria?
Satu hal, kesulitan-kesulitan China memunculkan keraguan apakah para pembuat kebijakan memiliki alat untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi pada ritme yang sehat, sesuatu yang telah konsisten selama lebih dari dua dekade.
Belakangan ini, menurut analis, pemerintah China tidak dapat mengontrol ekonominya dan pasar keuangannya.
Beijing telah melindungi ekonominya pada krisis keuangan 2008-2009 dengan memerintahkan bank-bank pemerintah untuk memberi pinjaman-pinjaman pada perusahaan-perusahaan untuk membangun jalan, rumah dan pabrik. Hasilnya: eskalasi utang korporasi yang sekarang menimbulkan masalah.
Otoritas China juga telah membuat keputusan salah arah untuk mempromosikan harga-harga saham, mendorong investor tidak berpengalaman untuk membeli saham. Idenya adalah bahwa perusahaan dapat mengeluarkan saham ke dalam pasar yang tumbuh dan menggunakan hasilnya untuk mengurangi utang mereka.
Namun saham-saham naik ke tingkat yang tidak berkelanjutan dan jatuh. Pemerintah sejak itu melakukan upaya sia-sia untuk menanggulangi masalah.
Masalah terbaru mulai pada 11 Agustus, ketika Beijing tanpa diperkirakan melakukan devaluasi mata uang China, yuan. Otoritas menjelaskan bahwa mereka ingin mengejar sentimen investor, yang menyarankan bahwa yuan bernilai terlau tinggi karena terkait dengan peningkatan dolar AS.
Para pihak yang skeptis khawatir bahwa devaluasi menjadi langkah putus asa untuk membantu para eksportir China yang kesulitan: Melemahnya yuan memberi barang-barang China keuntungan di pasar-pasar asing.
Setelah itu, luka akibat melambatnya pertumbuhan China dan yuan yang melemah dapat menyebar. Oxford Economics menghitung bahwa penurunan yuan 10 persen tahun ini akan mengurangi pertumbuhan Korea Selatan tahun 2016 sebesar 1,16 persen dan Indonesia 0,32 persen.
Melambatnya hasil produksi industri dan konstruksi di China berarti berkurangnya permintaan akan tembaga Chile, batu bara Australia dan bijih besi Brazil. Hal itu juga menekan Taiwan dan Korea Selatan, yang membuat komponen-komponen yang digunakan pabrik-pabrik China untuk merakit produk elektronik, mobil dan produk-produk lainnya. Yang juga menderita adalah Jepang, yang mengirim seperlima dari ekspornya ke China.
Kemungkinan melemahnya ekonomi China yang lebih buruk dari perkiraan juga memicu kekhawatiran di Eropa, yang saat ini dalam pemulihan yang rentan. Dampaknya akan bergantung pada seberapa buruk perlambatan ini akan terjadi. Penurunan yang parah, katakanlah pertumbuhan tahunan 3 persen, dapat menurunkan hasil ekonomi 1-2 poin persentasi secara kumulatif dalam lima tahun mendatang.
Jerman kemungkinan besar akan menderita paling parah. Dalam satu dekade terakhir, pembuat mesin industri dan otomotif dari Jerman telah menikmati kenaikan laba berkat pertumbuhan kuat di China.
Tahun 2013, China mengambil alih AS sebagai pasar terbesar untuk mobil mewah BMW AG. BMW telah mengingatkan bahwa pasar China sedang mengalami "normalisasi" dan diperkirakan akan mengalami penurunan pertumbuhan.
Andreas Rees, kepala ekonom Jerman di UniCredit Research, mengatakan bahwa China hanya mencakup 6,5 persen dari ekspor-ekspor China. "Secara keseluruhan, saya kira kepanikan mengenai China ini berlebihan," ujarnya.
Namun beberapa analis mengatakan kalkulasi-kalkulasi ekonomi mungkin tidak cukup untuk mengukur risiko-risiko penurunan ekonomi di China. Aspek sosial dan politik juga dapat berpengaruh.
Bagaimana jika perlambatan di China terus mengurangi harga-harga minyak, memicu krisis ekonomi di Rusia sebagai eksportir energi? Akankah Presien Vladimir Putin berupaya mengalihkan perhatian rakyatnya dengan memicu lebih banyak masalah di Ukraina?
Yunani hanya mencakup dua persen dari ekonomi zona euro. Namun krisis anggaran Yunani telah memicu ketakutan bahwa negara itu akan meninggalkan euro, kemungkinan memecah zona itu.
"Negara yang dianggap tidak penting ekonominya ternyata dapat melumpuhkan pembuatan kebijakan Eropa," ujar ekonom dari Harvard University, Kenneth Rogoff.
Jika Yunani dapat mengancam persatuan Eropa, bayangkan kejatuhan akibat krisis di ekonomi terbesar kedua dunia. Tidak heran para investor menjadi panik.