Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Prof. Siti Musdah Mulia mengatakan perkawinan anak adalah sumber masalah. Betapa tidak, dari perkawinan anak muncul berbagai persoalan kompleks seperti putus sekolah yang membawa dampak pengangguran, dan b kemiskinan. Tidak hanya itu, perkawinan anak juga mengakibatkan tingginya tingkat perceraian.
"Perkawinan anak itu adalah isu yang sangat krusial karena dari perkawinan ini muncul berbagai problem sosial yang saling berkelindan (berkaitan: red) satu sama lain di masyarakat. Karena penelitian saya selama bertahun-tahun, bagaimana trafficking, bagaimana pekerja anak, bagaimana buruh migran itu semua muncul karena dia menikah muda, cerai muda, karena menikah muda dia tidak sempat mendapatkan pendidikan, tidak sempat mendapatkan keterampilan, emang dia mau jadi apa? Apa yang kita harapkan dari anak-anak seperti ini? Bagaimana kita berharap mereka akan jadi orang yang berguna di masyarakat , kalau dia mengurus dirinya sendiri saja tidak bisa," kata Musdah.
Hal tersebut disampaikannya dalam acara Peluncuran Buku “Marrying Young in Indonesia: Voices, Law & Practice” di ruang Soemadipradja & Taher, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Senin (26/11).
Menurutnya, faktor yang melatarbelakangi tingginya angka perkawinan anak di Indonesia, adalah budaya yang melekat di masyarakat, bahwa makna menikah itu adalah sesuatu yang membahagiakan. Selain itu, faktor agama juga berperan kuat, khususnya dalam agama Islam, di mana perkawinan anak dilakukan untuk mencegah zinah. Padahal, menurut sejumlah pakar, ketika seorang anak yang masih dibawah umur menikah, secara fisik dan mental, ia belum siap.
Pemerintah juga, kata Musdah, selama ini melakukan pembiaran, sehingga kasus perkawinan anak ini terus terjadi berulang kali. Hal tersebut, katanya, paling tidak, terlihat dari batas minimal usia anak perempuan untuk menikah di UU perkawinan yaitu 16 tahun. Musdah menyerukan reformasi UU Perkawinan, mengingat banyak negara Islam sudah menaikkan batas minimal usia menikah.
"Karena pemerintah membiarkan ini terjadi, dia tahu bahwa anak-anak itu menikah sebelum umurnya tapi dibiarkan saja. Jadi buat saya, pemerintah jangan membiarkan terjadinya perkawinan anak, disamping pemerintah melakukan reform UU, ya harus memperketat urusan pencatatan, karena kalau pemerintahnya. Selain reformasi UU Perkawinan, Musdah juga mengungkapkan pentingnya rekonstruksi budaya. Upaya tersebut bisa dilakukan melalui pendidikan yang seluas-luasnya, terutama pendidikan di keluarga. Menurutnya, ini sangat penting untuk dilakukan , karena kalau tidak, Indonesia akan mengalami keterbelakangan pemikiran.
Ia juga menyerukan reintrepretasi ajaran agama apapun. Musdah mengatakan dengan melakukan ini bukan berarti mengubah ajaran agama, namun menyesuaikan dengan kondisi sekarang ini. Ia mengatakan, pemahaman ayat-ayat suci seharusnya lebih manusiawi, humanis dan lebih relevan dengan kondisi kehidupan masyarakat pada masa sekarang ini yang lebih dinamis dan rumit.
Dalam Kesempatan yang sama, Afwah Mumtazah dari Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) mengatakan, telah terjadi pergeseran makna atau pandangan di kalangan anak muda tentang pernikahan.
Dia menjelaskan, beberapa tahun silam, perkawinan anak terjadi karena adanya relasi kuasa, di mana para orang tua atau keluarga memerintahkan anaknya untuk segera menikah. Namun pada masa sekarang ini, justru anak muda itulah yang mau melaksanakan pernikahan tersebut, karena ajaran agama dan contoh perkawinan anak yang tersebar luas di media sosial.
"Medsos, mereka tidak kenal perspektif, ilmu juga belum dapat, terus wawasan juga masih kurang. Tapi ketika melihat ada contoh, apalagi publik figur yang menggunakan resepsi nikah mewah, tanpa pacaran, label Islam, itu mereka sangat tertarik. Makanya kitanya juga harus berjuang di situ, di medsos juga," jelasnya.
Afwah menambahkan, selain keinginan anak muda tersebut untuk menikah juga ada pembiaran dari para orang tua. Menurutnya, banyak orang tua yang kaku mengintrepretasikan ajaran agama. Mereka, katanya, membiarkan terjadinya perkawinan anak semata untuk menghindari terjadinya perzinahan dan pergaulan bebas. [gi/ab]